Read More >>"> Amherst Fellows (Gadis Saigon) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Amherst Fellows
MENU
About Us  

Seseorang bisa disebut dewasa ketika memenuhi tiga hal. Pertama, ia bisa memilih. Kedua, ia memahami bahwa setiap pilihan mengandung konsekuensi. Ketiga, ia mau menanggung konsekuensi itu. Bara sangat sadar, ketika ia mengaku sebagai Tirta, itu berarti ia akan menggantikan Tirta dalam semua perannya, baik sebagai pejabat organisasi kampus, mahasiswa berprestasi, sampai anak yang dibanggakan Mama dan Papa.

Bisa dibilang, itu adalah dua bulan paling berat dalam hidupnya. Apa yang lebih berat daripada berperan sebagai orang lain setiap waktu? Ia harus menanggalkan identitas aslinya di depan publik. Apalagi yang digantikannya adalah sang superstar, Tirta Mahesa Wibawa, yang standar kinerjanya sangat tinggi. Namun, sampai titik ini, ia tak mungkin mundur. Ia telah mengambil keputusan. Keputusan singkat yang berbuntut panjang. Akan menggegerkan kalau di tengah jalan tiba-tiba ia mengaku sebagai Bara dan membongkar semuanya.

Seiring berjalannya waktu, Bara menyadari bahwa yang terberat dari menjadi orang lain bukanlah saat menggantikan peran orang tersebut. Melainkan saat ia mendengar orang lain berkata ini itu tentang dirinya di depan mata kepalanya sendiri. Ternyata banyak orang yang bersyukur bukan ‘Tirta’ sang juara yang mengalami koma, tapi ‘Bara’ si biasa saja. Ia bisa membaca semua pesan yang masuk ke ponsel Tirta yang kini dibawanya. Bahkan, teman-teman yang menjenguk ‘Bara’ pun tak banyak. Hanya beberapa teman kuliah. Itu pun perwakilan. Bara akhirnya tahu, betapa ia tak punya sahabat karib di luar sana. Sahabat setianya hanyalah buku harian yang senantiasa ia bawa ke mana-mana.

Bara sedikit mendapat hiburan ketika visa Amerika J1-nya keluar dan tertempel di paspornya yang baru. Untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan, Bara memang langsung menguruskan perpanjangan paspor Tirta yang kebetulan mau habis. Strateginya tepat. Ia bisa berangkat ke Amerika tanpa hambatan apapun.

Setelah lolos imigrasi di Bandara Internasional Los Angeles (LAX), Bara akhirnya merasa lega. Ia tak perlu lagi berperilaku layaknya Tirta. Tidak ada yang mengenal Tirta di Amerika. Ia bisa menjadi dirinya sendiri meskipun menyandang nama lain. Bahkan, ia juga tak perlu bercerita kalau Tirta yang sebenarnya adalah sosok pemuda yang sangat aktif dan sudah berkali-kali pergi ke luar negeri. Berbeda dengan dirinya yang anak rumahan, lebih suka mengurung diri di kamar, membaca buku, atau menulis catatan harian.

“Tirta!”

Bara mendengar seseorang memanggil nama Tirta. Tentu saja ia tahu kalau yang dimaksud adalah dirinya.

“Ah, ternyata kau, Mai,” ucapnya ketika melihat sesosok gadis berwajah Indocina dan berperawakan sedang—tak terlalu kurus dan juga tak terlalu gemuk—datang menghampirinya. Gadis itu langsung duduk satu meja dengannya di sudut favoritnya di Franklin.

“Sudah lama menunggu?” tanya gadis bernama lengkap Pham Quang Mai tersebut.

“Tidak. Baru sepuluh menit yang lalu.”

“Sepertinya kau sedang melamunkan sesuatu.”

“Ah, tidak. Aku hanya teringat rumah.”

“Padahal baru dua hari.”

“Aku jarang meninggalkan rumah soalnya. Hahaha....”

“Aku juga sebenarnya. Tapi aku sangat antusias mengikuti program ini. Jadi, aku berusaha untuk menekan rasa rinduku pada rumah. Aku ingin seratus persen berada di sini. Di negeri yang luar biasa besar ini.”

“Sepertinya aku harus belajar banyak darimu, Mai,” kata Bara sambil tersenyum.

“Eh, aku ambil makan dulu ya,” kata Mai. “Kamu nggak makan?”

“Aku sudah habis sereal satu mangkuk,” kata Bara sambil menunjuk mangkuknya yang sudah kosong. “Setelah ini aku mau ambil salad buah. Tapi kamu duluan saja. Aku yang menjaga mejanya agar tidak ada yang menyerobot.”

“Oke deh.” Mai pun beranjak dari duduknya untuk mengambil makanan.

Sebagai seorang debutan pada sebuah ajang internasional, apalagi yang bereputasi tinggi seperti Amherst Fellowship, Bara merasa gugup luar biasa. Tangannya sering berkeringat dingin ketika bertemu orang baru. Padahal agendanya belum resmi dimulai. Panitia memberi waktu istirahat sehari kepada para peserta untuk memulihkan tenaga pasca perjalanan udara sekitar tiga puluh jam. Ia tak tahu bagaimana jadinya jika ia harus bertemu delegasi lain yang orang-orangnya mungkin setipe dengan Tirta. Karena mereka adalah para aktivis kampus yang terpilih lewat seleksi ketat. Sementara dirinya berangkat dengan ‘wild card’.

Bisa dibilang pertemuannya dengan Mai kemarin malam adalah keberuntungan. Anak itu bisa membuatnya lebih tenang. Saat itu, ia baru saja bangun setelah tidur sejak sore hari. Karena kelaparan, ia pun turun ke lobi hotel untuk mengambil kue keringmirip choco chips tapi lebih besar dan memiliki beberapa varian rasa—yang memang tersedia gratis di meja resepsionis. Tiba-tiba seorang gadis menyapanya.

Fellow?” tanya gadis itu. Fellow adalah sebutan untuk para delegasi Amherst Fellowship.

“Betul,” jawab Bara.

“Ah, syukurlah!”

“Kamu juga fellow?”

“Iyaaaa. Aku Mai dari Vietnam,” gadis itu mengenalkan diri.

“Aku Bar... Ehm... Tirta dari Indonesia.”

“Hai Tirta! Senang bertemu denganmu.”

“Senang bertemu denganmu juga, Mai. Kau baru sampai?”

“Sudah dari tadi siang. Tapi aku langsung tertidur dan baru bangun beberapa menit lalu. Sekarang aku lapar karena melewatkan jam makan malam. Kamu tahu tempat makan yang masih buka?”

Sorry, aku nggak tahu. Aku juga baru sampai tadi pagi. Tadi siang aku makan di Franklin. Tapi aku nggak yakin Franklin masih buka jam segini,” jawab Bara setelah melirik jam dinding di lobi hotel. Sekarang sudah lewat pukul sembilan malam.

“Ah, sayang sekali.”

“Bagaimana kalau kita tanya resepsionis?” inisiatif Bara.

“Boleh.”

Bara pun bertanya kepada seorang petugas di meja resepsionis. Yang bertugas saat itu adalah seorang pria Afro bertubuh tinggi besar dengan setelan jas lengkap. Bara melirik tanda pengenal di dada sebelah kirinya. Tertulis ‘Haroon’. Tanpa basa-basi Bara langsung bertanya apakah di sekitar hotel ada tempat makan yang buka. Haroon menjawab tidak ada—yang belakangan diketahui ternyata informasi dari ‘Haroon’ salah. Ia menyarankan mereka pergi ke Downtown.

“Apakah lokasinya jauh?” tanya Bara.

“Tidak.” Haroon lalu mengambil selembar kertas di laci meja dan menunjukkannya kepada mereka. Kertas itu berisi denah kampus UMass beserta wilayah sekitarnya.

“Kalau jalan, sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Dari jalan raya terdekat, kalian tinggal lurus saja mengikuti jalan. Begitu bertemu bundaran, belok kanan. Jalan terus dan kalian akan sampai di Downtown,” jelas Haroon sambil mencoret-coret petanya.

“Terima kasih, Haroon,” kata Bara.

“Sama-sama,” balas Haroon. “Bawalah peta ini. Pasti akan sangat membantu.”

“Oh, oke. Terima kasih.”

Bara langsung melirik Mai. “Bagaimana? Mau ke Downtown?”

“Terserah kamu. Aku ikut aja,” jawab Mai.

“Tapi jalan agak jauh lho.”

No problem,” katanya sambil tersenyum.

Ok. Let’s go!

Mereka pun berjalan berdua ke Downtown atau pusat Kota Amherst. Malam semakin larut dan jalanan sudah sangat sepi. Namun, rumah-rumah milik fraternity[1] Pi Kappa Alpha dan sorority[2] Iota Gamma Upsilon di pinggir jalan North Pleasant yang mereka lewati justru semakin ramai dengan mahasiswa dan mahasiswi yang bercampur baru dan berpesta pora. Bara dan Mai terus berjalan tanpa mengindahkan keberadaan mereka.

Selama perjalanan, Bara mengajak Mai berdiskusi banyak hal tentang Vietnam, mulai dari pemain bola legendaris Lee Cong Vinh, seniman dan pelukis Nguyen Thanh Binh, peran penting Kota Dalat terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia, persahabatan tokoh revolusioner Vietnam Ho Chi Minh—yang biasa dipanggil Paman Ho—dengan Ir. Sukarno, sampai soal nama ‘Nguyen’ yang begitu menarik perhatian.

“Orang asing yang datang ke Vietnam selalu bertanya soal Nguyen,” kata Mai mengomentari. “Nguyen adalah marga terbesar di Vietnam. Hampir 40% orang-orang kami menyandang nama itu. Memang lucu sih, ketika dalam pertandingan sepak bola misalnya para pemain memiliki nama yang mirip. Nguyen, Nguyen, dan Nguyen. Hampir semuanya Nguyen. Hahaha...”

Bara pun tergelak dibuatnya.

Obrolan itu membuat mereka cepat akrab. Bagi Bara, Mai adalah teman bicara yang menyenangkan. Sikapnya begitu hangat dengan pembawaan yang ceria. Keberadaan Mai membantunya mengurangi rasa gugup yang terus mendera sejak tadi. Di sisi lain, Mai terkejut dengan pengetahuan ‘Tirta’ tentang Vietnam. Ini baru pertama kalinya ia bertemu orang asing yang cukup paham tentang negaranya.

“Kau melamun lagi!” Mai memergoki Bara. Ia kembali ke meja dengan membawa sepiring makaroni dan telur dadar.

“Ah, tidak,” Bara mengelak.

“Jujur saja, apa yang barusan kau pikirkan?” todong Mai.

Bara tersenyum. “Aku hanya merasa beruntung bertemu denganmu kemarin malam. Terima kasih, Mai.”

“Aku yang seharusnya berterima kasih kepadamu karena kau mau menemaniku ke Downtown untuk mencari makan malam. Meskipun akhirnya kita tidak makan apa-apa, aku senang bisa jalan-jalan ke kota. Kau adalah teman pertamaku di sini.”

Bara tersenyum lagi. Ia mulai nyaman dengan gadis yang sejak kemarin mengucir kuda rambut hitam lurusnya itu.

“Apakah temanmu dari Vietnam sudah datang juga?” tanya Bara.

“Sudah,” jawab Mai sambil menyantap makanannya. “Tapi penerbangan kami berbeda. Aku berangkat dari Ho Chi Minh City, sementara dia dari Hanoi. Dia baru tiba kemarin malam, sesaat setelah kita kembali ke hotel. Bagaimana dengan delegasi dari Indonesia?”

“Seorang lagi namanya Grace. Tapi penerbangannya juga berbeda denganku. Dia dari Jakarta, aku dari Surabaya. Seharusnya dia sudah datang kemarin. Tapi aku belum bertemu dengannya sama sekali.”

“Sama. Aku juga belum bertemu dengan Brian.”

“Brian itu nama temanmu dari Hanoi?”

“Iya. Itu nama panggilannya. Nama aslinya Nguyen Hoang Binh.”

“Nguyen lagi?”

“Iya.”

“Benar katamu, Mai. Nguyen, Nguyen, dan Nguyen. Hampir semua orang Vietnam bernama Nguyen,” kata Bara menirukan kata-kata Mai kemarin. “Untung margamu bukan Nguyen.”

Ganti Mai yang tak bisa menahan tawanya.

Mereka berdua asyik bercengkerama layaknya dua orang yang sudah bersahabat lama. Bara merasa senang karena ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun ia memiliki teman ngobrol yang menyenangkan. Ia sudah lupa dengan rasa khawatir yang kemarin sempat mendera. Sampai ia tak sadar kalau tak jauh dari tempatnya duduk, ada seseorang yang sedang mengamati dirinya. []

 

[1] Perkumpulan mahasiswa

[2] Perkumpulan mahasiswi

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bintang Biru
86      48     0     
Romance
Bolehkah aku bertanya? Begini, akan ku ceritakan sedikit kisahku pada kalian. Namaku, Akira Bintang Aulia, ada satu orang spesial yang memanggilku dengan panggilan berbeda dengan orang kebanyakan. Dia Biru, ia memanggilku dengan panggilan Bintang disaat semua orang memanggilku dengan sebutan Akira. Biru teman masa kecilku. Saat itu kami bahagia dan selalu bersama sampai ia pergi ke Negara Gingsen...
No, not love but because of love
44      33     0     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
My Andrean
217      128     0     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
Kyna X Faye
131      89     0     
Romance
Keiko Kyna adalah seorang gadis muda pemilik toko bunga. Masa lalu yang kelam telah membuat gadis itu menjauhi dunia keramaian dan segala pergaulan. Namun siapa sangka, gadis pendiam itu ternyata adalah seorang penulis novel terkenal dengan nama pena Faye. Faye sama sekali tak pernah mau dipublikasikan apa pun tentang dirinya, termasuk foto dan data pribadinya Namun ketika Kenzie Alcander, seo...
always
30      22     0     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...
Pilihan Terbaik
142      82     0     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Warna Warni Rasa
32      25     0     
Romance
Rasa itu warna. Harus seperti putih yang suci. Atau seperti hijau yang sejuk. Bahkan seperti merah jambu yang ceria. Rasa itu warna. Dan kau penentunya. Banyak gradasi yang harus di lalui. Seperti indahnya pelangi. Bahkan jika kelabu datang, Kau harus menjadi berani seperti merah. Jangan seperti biru yang terlihat damai, Tapi jika marah akan menghancurkan bumi seperti tsunami. R...
Our Tears
68      50     0     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan
Utha: Five Fairy Secret
34      26     0     
Fantasy
Karya Pertama! Seorang pria berumur 25 tahun pulang dari tempat kerjanya dan membeli sebuah novel otome yang sedang hits saat ini. Novel ini berjudul Five Fairy and Secret (FFS) memiliki tema game otome. Buku ini adalah volume terakhir dimana penulis sudah menegaskan novel ini tamat di buku ini. Hidup di bawah tekanan mencari uang, akhirnya ia meninggal di tahun 2017 karena tertabrak s...
a Little Braver
12      12     0     
Romance
Ketika takdir yang datang di setiap kehidupan membawanya pada kejutan-kejutan tak terduga dari Sang Maha Penentu, Audi tidak pernah mengerti kenapa Dia memberikannya kehidupan penuh tanya seperti ini?