Mysha duduk di tribun sambil menonton anak-anak yang bermain futsal di lapangan. Di balik kacamatanya, Ia memperhatikan wajah-wajah penghuni sekolah seusai jam belajar. Kini setelah empat bulan Ia bersekolah di SMA Bhakti Budaya dan menghabiskan banyak waktu dengan menongkrong di tribun depan lapangan, semua wajah anak-anak yang biasa nongkrong saat jam pulang sekolah pun sudah lebih familiar. Tiba-tiba Mysha ingat kejadian di kantin tadi. Meskipun sindiran Ibu nasi uduk terhadap pasangan yang baru buka stand nasi rames itu tidak dianggap begitu serius oleh yang lain, akan tetapi Mysha merasa gerutuan Ibu nasi uduk penuh dengan ancaman. Ada kebencian yang tidak wajar di dalamnya dan Mysha bisa melihat bagaimana khawatirnya pasangan penjual nasi rames saat si Ibu nasi uduk mengancam meskipun pada akhirnya berkata bahwa Ia sedang bercanda. Mysha khawatir pada pasangan penjual nasi rames.
Sebelum lupa, Mysha pun mengeluarkan buku jurnalnya dan mulai menulis pikirannya itu. Mysha kini mulai terbiasa terang-terangan menulis di depan umum setelah menyadari bahwa kegiatan tersebut bukanlah sesuatu yang aneh di mata orang-orang. Kebanyakan malah tidak peduli karena mereka punya urusan masing-masing.
“Elo suka nulis ya, Mys?” tanya Damar, sahabat Mysha yang sudah beberapa kali melihat Mysha menulis jurnalnya. Damar adalah teman nongkrong Mysha di tribun. Mereka biasa menghabiskan waktu bersama kalau tidak ada pekerjaan rumah yang menumpuk.
“Lumayan… buat iseng aja.”
“Kenapa ngga gabung klub jurnal?”
“Ngga ah”
“Kenapa?” Mysha diam saja. Damar pun tidak memaksa Mysha untuk menjawab.
“Mau gue coba kasih liat tulisan lo ke Rio ngga?”
“Ngga ah!” Mysha buru-buru menolak
“Kenapa emang??”
“Habisnya dia ketua OSIS.”
“Loh, emang kenapa kalo ketua OSIS?”
“Ketinggian.”
“Tinggian juga gue daripada Rio! Kok lo santai aja ngomong sama gue?”
“Garing lo ah, Mar…” Keduanya tertawa kecil.
“Gue males ngomong sama orang populer… mereka sibuk.” Kata Mysha berbohong demi menjaga harga diri. Tentu saja alasan sebenarnya adalah karena dia mudah merasa terintimidasi oleh orang yang jauh lebih hebat darinya. Apalagi Kak Rio, laki-laki sempurna idaman semua wanita. Halah. Eh, tapi benar. Bagi Mysha, berkomunikasi dengan Kak Rio pasti akan membuatnya malu sendiri. Dengan kemampuan komunikasi Mysha yang tidak bisa dibilang baik dan kecuekan Mysha, Ia merasa minder kalau harus mengajak diskusi orang sekelas Kak Rio. Siapa sih Mysha sampai berani merepotkan ketua OSIS sekaligus ketua klub jurnalistik demi tulisannya?
“Rio baik tau, Mys…” Damar mencoba meyakinkan Mysha.
“Kok lo tau?”
“Lah, lo gimana sih? Gue kan sekelas sama dia.”
“Oh ya?”
“Kan dulu Fadil pernah bilang…” Damar mulai sewot. Ia membawa-bawa nama teman sekelasnya yang sering duduk bersama di tribun juga.
“Kapan?”
“Sebelum Rio jadi ketua OSIS kali… udah lama pokoknya! Lo gimana sih?!”
“Aduh, maaf gue ngga ngeh! Lagian emang ngga pernah cerita-cerita lagi kan abis itu? Ngga salah juga dong kalo gue lupa… weeee…”
“Udah salah, ngeles pula!”
“Biarin, yang penting gue ngga suka sok kecakepan kayak lo, weeekkk..”
“Dih, kebangetan banget! Udah salah, ngeles, ngatain lagi! Sini jitak dulu!” karena gemas dengan Mysha yang cuek dan bebal, Damar pun menjitak pelan kepala Mysha. cukup membuat Mysha mengaduh sedikit, lalu mengelus-elus kepalanya sendiri sambil menatap Damar dengan waspada. Seketika pembicaraan tentang minat tulis Mysha terkubur dengan obrolan lain bersama Damar.