Read More >>"> Sebuah Musim Panas di Istanbul (Tentang Dia yang Tak Pernah Pulang) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sebuah Musim Panas di Istanbul
MENU
About Us  

Rin sangat berterima kasih pada jarum jam dinding yang berdenting di angka jadwal makan siang. Tepat di saat kepalanya yang terbungkus dengan jilbab berbahan satin hitam itu menoleh bosan. Berharap waktu bergerak cepat dan perkuliahan segera selesai.

Dosen pun mengakhiri perkuliahan dan kabar gembiranya tidak ada tugas personal atau kelompok yang tertitip. Sebuah kebahagiaan yang layak untuk dirayakan sebab hati Rin maupun penghuni kelas lainnya tak berhenti memekik girang.

Kakinya bergegas melangkah melewati area koridor lantai dua kampus kebanggaannya sejak dua semester lalu. Tanpa peduli, kain rok denimnya menimbulkan efek bunyi yang cukup ribut, seolah bisa menyapa mahasiswa yang lalu lalang dan sedikit melotot di sekelilingnya. Well, Rin tidak punya waktu yang cukup tadi pagi untuk memadu padankan outfit yang pas dan pantas.

Katakanlah, gadis itu cukup terburu-buru sembari sesekali memeriksa layar ponsel imutnya. Benar, seseorang sedang menunggunya di sebuah kafe tak jauh dari bangunan kampus. Ada janji penting yang harus dipenuhinya kali ini. Hanya untuk hari ini. Sebab, Rin tak yakin di hari esok maupun lusa, seseorang itu akan punya waktu luang untuk sekadar menyapa atau menemani acara makan siangnya.

Di sinilah Rin berhenti. Matanya menatap sekeliling halaman parkiran dengan senyum yang sedikit menawan. Usai melepas helmnya, gadis itu berjalan santai menuju ruang dalam kafe yang dipenuhi kursi dan meja yang nyaman untuk sekadar nongkrong. Konsep vintage minimalis siap menyambutnya layaknya pelukan seorang ibu. Terasa nyaman dan aman. Firasatnya mengatakan, orang yang menunggunya tidak akan merasa bosan meski sudah sejak satu jam yang lalu ia duduk manis menanti sang waktu.

 “Mbak Gea, boleh foto berdua?” seorang bocah cowok yang baru puber sedang menawarkan kamera ponselnya untuk mengambil gambar bersama sang idola.

Lihatlah, betapa sibuknya Gea meladeni kerumunan para fans. Mereka sedang antre demi sesuatu yang berhubungan dengan tanda tangan dan foto bersama.  Rin sudah menduga ini akan terjadi. Sejak semalam, dia protes pada sahabatnya agar tak memilih kafe biasa sebagai tempat reunian mereka berdua. Bagaimana bisa Gea teledor kali ini? Gadis berpipi gembul itu seperti lupa jika baru sepekan yang lalu namanya berhenti menjadi trending di dunia maya. Efek ajang pencarian bakat yang diikutinya.

“Wah, gak nyangaka Gea yang aslinya lebih cantik!” Kali ini, seorang mahasiswi berjilbab mendekatinya sebagai upaya modus untuk selfie bareng.

“Gea, plis! Satu kali lagi boleh, ya!” Lucunya, ada lagi cowok gondrong yang memohon untuk difoto bersama dengan penuh harap. Ekspresi Gea tetap menyambut ramah. Sepertinya, ia sudah biasa berhadapan dengan fans tipikal gahar.

Permintaan kian ramai jika saja Gea tidak menyudahi jumpa fans mendadak itu dengan permohonan undur diri penuh hormat dan sopan. Sebab, ia menyadari kedatangan Rin saat tanpa sengaja bertemu pandang di seberang meja. Jarak yang terbentang di antara  mereka sekitar empat meter.

Rin tersenyum ringan melihat attitude luar biasa yang Gea tunjukkan sebagai seorang public figure. Ah, betapa bangganya Rin pada sahabatnya.

‘Cepatlah ke sini. Mama ingin memelukmu, Nak!’

Jeritan dalam hati itu mengiringi ketukan jari-jari gendut Rin di atas meja. Menatap betapa anggunnya cara berjalan Gea yang menghampiri bangkunya.

“Riiiiiiiin Sayaaaaang!” seketika Gea memekik tipis nan panjang bersamaan dengan rengkuhannya yang begitu ketat di tubuh Rin.

“Geeaaaa! Kangennn!” Rin yang tadinya megap-megap pun tak tahan membalas pekikan dan pelukan sahabat kentalnya. Ah, rindunya!

“Maaf membuatmu menunggu. Harusnya, aku yang menunggumu,” ucap Gea berpura-pura menyesal.

“Tidak masalah. Kau sudah menanggung resikonya sendiri,” jawab Rin dengan asal.

Gea meninju pelan lengan sahabatnya.

“Simpel saja, aku tidak berpikir bahwa aku adalah orang yang terkenal. Makanya, aku mengajakmu bertemu di kafe dekat kampus. Supaya temanku ini tidak kejauhan mendatangiku.” Gea berkata sembari mengusap-usap bahu temannya.

“Terima kasih atas perhatiannya. Barusan, aku mendengarmu sedang rendah hati atau sombong, ya? Tipis sekali perbedaannya.” Rin menjawab dengan asal lagi.

“Rin memang tidak berubah dari dulu. Lidahnya setajam pisau cutter,” bisik Gea.

“Aku anggap itu pujian,” tanggap Rin dengan kalem.

Mereka tergelak bersama. Bisa dipastikan saat ini tatapan iri tengah menghujani Rin. Beruntungnya si orang biasa itu bersahabat dengan artis millenial yang sempat bikin hati seorang Ari Las doki-doki.

Obrolan mereka mengalami jeda sesaat. Seorang pelayan menyodorkan menu yang telah Gea pesan sebelumnya.

“Lalu, bagaimana kabar Bunda dan Ayah?” tanya Gea sembari mengaduk jus wortelnya. Mata berlensa abu-abu itu menunjukkan nutrisi vitamin A memang sedang dibutuhkannya.

Saking dekatnya, Gea memanggil orangtua Rin dengan panggilan akrab.

“Alhamdulillah, baik. Kau tidak ingin tahu kabarku dulu? Jahat!” protes Rin. Dibalas dengan cekikikan Gea yang menyebalkan.

“Tunggu! Bagaimana dengannya? Apa kabarnya sekarang?” Gea bertanya tanpa peduli dengan aksi protes temannya yang baru saja dilayangkan.

“Maksudmu, dia?” Rin bertanya ingin memastikan. Gea mengangguk antusias.

“Aku pikir, kamu sudah move on. Rupanya, belum.” Tentu saja, Rin kesal.

“Salahkan dirinya yang penuh dengan pesona itu menjerat mata hatiku sampai sekarang.” Gea menjawab tak kalah kesal.

“Rasanya bohong jika para pria yang berkolaborasi denganmu selama pertunjukan tidak ada satu pun yang menarik hati.” Rin berkomentar sedikit sinis.

Gea tertawa anggun sembari menutup mulutnya dengan punggung jari-jari gembulnya. “Itu beda cerita.”

“Kau boleh menyusulnya ke Turki jika sudah tak mampu menahan kangen.” Rin menawarkan solusi yang cukup bagus.

“Secepat itukah dia berangkat?” Gea bertanya dengan sorot mata kecewa.

Jatuh cinta itu memang ajaib. Sejauh apapun jarak yang memisahkan, segel perasaan itu bukannya melemah. Ia malah menguat sampai membuat orang lain repot.

“Ya, katanya, dia sudah menemukan apa yang dia cari selama ini. Berselang dua hari keberangkatanmu ke Jogja, dia juga sudah tidak di sini.” Rin menjelaskan dengan jari yang tak berhenti menggoyangkan sedotan.

“Walaupun aku tidak tahu apa yang dia cari, semoga kebahagiaan selalu menyertainya. Betewe, kamu tahu?” Gea bertanya lagi.

Rin menggeleng. Tanpa sadar, kesedihan dan rasa tertekan berpendar dari air mukanya. Gea menatap curiga dan bertanya, “Kalian masih hobi bertengkar sampai sekarang?”.

Terang saja Rin kaget. “Tentu saja tidak!” Jawabannya seperti maling yang baru saja ketahuan. Bagaimana bisa mereka bertengkar jika komunikasi yang terjalin selama setahun terakhir pun nihil?

“Baiklah, semoga saja begitu. Meski aku sahabatmu, sepertinya banyak hal penting yang aku lewatkan bersama kalian. Tapi, tidak masalah. Pesanku, kalian adalah saudara yang besar bersama dan melalui banyak hal yang kurang lebih sama. Sadarilah, semakin banyak kalian bertengkar, sebanyak itu juga kalian saling memahami.” Gea berucap bijak.

Rin terkekeh pelan. “Ternyata, masa karantina di ajang bergengsi itu tak hanya membuat fisikmu dewasa.” Rin menyahut senang karena punya celah untuk mengalihkan pembicaraan.

Tolonglah, untuk kali ini saja jangan membicarakan tentang ‘dia’. Sebab, hatiku pun tiba-tiba terasa padat dan memberat. Rin menggumam sembari menampilkan wajah yang berkebalikan dengan situasi dalam hati.

“Jangan pikir aku hanya pintar berdandan dan bernyanyi. Tenang saja, nasehatku barusan berasal dari perkataan mentorku di sana.” Gea menjelaskan sembari mengemasi barang-barang di mejanya. Sinyal menunjukkan pertemuan mereka harus berakhir secepatnya.

“Baiklah. Lalu, mau kemana setelah ini?” tanya Rin dengan heran.

“Tentu saja pulang. Aku punya waktu dua pekan sebelum berangkat kembali ke Jakarta. Bagaimana kalau kita mengulang kesuksesan video kita seperti dulu? Kau masih ingat caranya menggesek biola, ‘kan?” tanya Gea sedikit menantang.

Dulu, mereka memang pernah berkolaborasi membuat sebuah video pertunjukan dengan konsep yang unik. Padahal, itu hanyalah tugas sekolah.

“Hei, jangan remehkan mahasiswa yang sedang mendalami ilmu musik! Kau bisa pingsan jika melihat performaku nanti. Jangan menyesal!” sahut Rin, impulsif.

Tawa Gea berderai seumpama botol kaca yang jatuh ke lantai. Memang tidak senyaring kaca yang dilempar ke dinding secara sengaja. Namun, itu cukup membuat perhatian sekelilingnya terpusat pada kedua gadis yang tengah dimabuk reuni. Betapa beruntungnya si orang biasa itu bicara dengan leluasa bersama artis yang tengah naik daun. Begitulah kira-kira isi pikiran mereka.

“Baik, malam nanti tunggu pesan dariku, ya! Kita bicarakan konsepnya. Yuk, kita ke atas! Pulang lewat tangga di sana aja. Nanti aku rempong di sini,” bisik Gea di ujung kalimatnya.

Rin mengangguk paham dan membiarkan Gea berjalan menuju kasir. Berpasang-pasang mata menatapnya seakan minta disapa. Untungnya, Gea mengerti dan pamit undur diri. Manajer kafe pun sempat mengumumkan akan mengundang Gea dalam acara Charity Day di pekan kedua bulan selanjutnya. Kafe tersebut memiliki area panggung besar di sebelahnya. Rin kini paham Gea punya urusan lebih dari sekadar reuni saat memilih Sweet17 sebagai tempat hangout mereka.

Sebuah mobil abu-abu sudah terparkir manis bersama seorang penyetir di tepi jalan yang bersisian dengan bangunan kafe. Ternyata, Gea sudah menghubungi taksi online kala menuruni tangga. Padahal, sang sahabat sudah menawarkan tumpangan dengan baik hati. Gea menolak dengan halus. Mengingat kondisi sekarang, memang wajar saja gadis itu memilih roda empat sebagai kendaraannya.

Tidak hanya suaranya yang bernilai mahal, seluruh outfit yang dikenakan dari ujung kepala sampai kaki juga tak bisa dibilang murah. Riasannya jangan sampai luntur hingga konsep innosence-nya kabur entah ke mana. Kulit halus itu juga harus berjaga-jaga dengan momen equinox. Khatulistiwa tak pernah bertoleransi pada September. Hangatnya akan semakin menguar terlebih memasuki akhir bulan.   

Mereka berpisah dan berjanji akan bertemu lewat dunia maya di malam harinya. Rin pun memilih pulang pada akhirnya. Baru saja ada pesan dari teman sekelasnya. Perkuliahan diganti ke jadwal senin depan.

“Sempurna. Tubuhku juga lelah. I’m coming, my room!” teriaknya dalam hati.

Sesampainya di rumah, Rin mengeluarkan kunci. Ayah dan bunda pasti belum pulang. Rin sudah tahu sebab hari ini adalah hari rabu. Hari kunjungan bagi sepasang kekasih yang selalu mengumbar keromantisan itu ke jaringan bisnis mereka. Sofa empuk di ruang tengah menyambut tubuhnya dengan ramah. Perasaan nyaman menyebar ke seluruh area punggung kecilnya.

Gadis yang belum melepas jilbab itu menatap lurus ke arah pintu kamar yang sengaja tidak dikunci. Meski penghuninya sudah pergi lama sekali, ruangan seukuran 9 x 9 meter itu tetap punya udara segar. Bunda sendiri yang senantiasa merapikan barang-barang di dalam atau sekadar menyapu lantainya hingga minim debu.

Tatapan Rin beralih ke tas ransel hijau botol di sampingnya. Isinya dirogoh sampai oleh-oleh dari Gea menampakkan diri. Ada empat kotak berlapis pita merah marun. Padahal, penghuni di rumahnya hanya ada tiga. Rin memutar mata bosan. Sebaiknya, dia segera menyarankan Gea untuk mengirimkan sisa buah tangan dalam kotak itu lewat jasa kurir dengan tujuan Istanbul.

Setelah puas berpose setengah berbaring, Rin segera melangkah ke kamarnya sendiri. Aroma lavender serta merta melewati rongga hidungnya hingga menimbulkan efek rindunya pada bantal. Seketika tubuh dengan tinggi 157 cm itu berganti pakaian dan menjatuhkan diri ke permukaan kasur dengan motif polkadot warna-warni. Tangannya bergerak tidak sabar hendak membuka kotak dari Gea.

Namun, hal yang terjadi justru tidak relevan. Sinkronisasi pikiran dan tindakannya sedang bermasalah. Jarinya malah mengusap-usap kotak yang rencananya akan segera didepak ke luar negeri.

“Reo, tidak bisakah kau pulang saja? Malah menyiksaku dengan rasa bersalah seperti ini?” ucap Rin pasrah dan menunduk hingga jidatnya bertabrakan dengan permukaan kotak yang diajaknya bicara.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Time Travel : Majapahit Empire
413      112     0     
Fantasy
Sarah adalah siswa SMA di surabaya. Dia sangat membenci pelajaran sejarah. Setiap ada pelajaran sejarah, dia selalu pergi ke kantin. Suatu hari saat sekolahnya mengadakan studi wisata di Trowulan, sarah kembali ke zaman kerajaan Majapahit 700 tahun yang lalu. Sarah bertemu dengan dyah nertaja, adik dari raja muda Hayam wuruk
Forever Love
30      13     0     
Romance
Percayalah cinta selalu pulang pada rumahnya. Meskipun cinta itu terpisah jauh bermil-mil atau cinta itu telah terpisah lama. Percayalah CINTA akan kembali pada RUMAHNYA.
Sherwin
4      3     1     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Persapa : Antara Cinta dan Janji
66      18     0     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
63      22     0     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Forbidden Love
64      22     0     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
Metamorfosis
23      16     0     
Romance
kehidupan Lala, remaja usia belasan monoton bagaikan air mengalir. Meskipun nampak membosankan Lala justru menikmatinya, perlahan berproses menjadi remaja ceria tanpa masalah berarti. Namun, kemunculan murid baru, cowok beken dengan segudang prestasi mengusik kehidupan damai Lala, menciptakan arus nan deras di sungai yang tenang. Kejadian-kejadian tak terduga menggoyahkan kehidupan Lala dan k...
ONE SIDED LOVE
7      4     0     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Mr. Kutub Utara
5      5     0     
Romance
Hanya sebuah kisah yang terdengar cukup klasik dan umum dirasakan oleh semua orang. Sebut saja dia Fenna, gadis buruk rupa yang berharap sebuah cinta datang dari pangeran berwajah tampan namun sangat dingin seperti es yang membeku di Kutub utara.
Sejauh Matahari
4      4     0     
Fan Fiction
Kesedihannya seperti tak pernah berujung. Setelah ayahnya meninggal dunia, teman dekatnya yang tiba-tiba menjauh, dan keinginan untuk masuk universitas impiannya tak kunjung terwujud. Akankah Rima menemukan kebahagiaannya setelah melalui proses hidup yang tak mudah ini? Happy Reading! :)