Sampai nanti bukan jaminan, bahwa kau dan aku akan bertemu dengan saling merindu.
“Woooaahhh... Ckckck...” Tiara berdecak kagum memandangi gambar dirinya di cermin panjang yang menempel di pintu lemarinya. Ia memutar badannya ke kanan, kemudian ke kiri, dan memutar tiga ratus enam puluh derajat dengan pelan, seolah-olah dirinya sedang berdiri di panggung Asia’s Next Top Model.
“Kereeennn... Keren bangeeett!!!” Tiara melompat-lompat kecil dengan bahagia, tapi kemudian berhenti sambil merapikan roknya yang kencang dan licin karena Tiara memaksa Mama untuk menyetrikanya lima kali. Jika ada orang yang melihat tingkah Tiara pasti langsung berpikir kalau Tiara itu punya penyakit narsis akut. Bagaimana tidak, sudah satu jam Ia berdiri di depan cermin sambil senyam-senyum dan bergaya ini-itu. Sesekali Ia berdecak kagum, menghela nafas panjang, atau berputar-putar senang, sementara senyum lebar nggak pernah lepas dari bibirnya. Seolah-olah Tiara bangga dan kagum berat akan penampilannya sampai nggak bosan-bosannya Ia memandangi wajahnya sendiri.
Walaupun dugaan itu sebenernya nggak jauh-jauh banget dari kata salah, soalnya Tiara emang orangnya rada narsis, tapi hari itu beda. Itu hari spesial. Hari yang bener-bener spesial karena untuk sejenak saja Tiara nggak mengagumi wajahnya sendiri, atau rambut hitamnya yang ikal dan jadi dambaan teman-teman ceweknya. Untuk hari itu, Tiara mengaggumi pakaian yang dikenakannya. Pakaian yang udah lama diidam-idamkannya. Pakaian yang akan membawanya selangkah lebih dekat ke satu-satunya cowok yang Ia sukai.
Pakaian yang memiliki kekuatan seperti itu, tentu saja, tidak lain dan tidak bukan......
Seragam putih abu-abu.
“KAK TIARAAAAA!!! UDAH BELOM SIH DANDANNYA?! CEPETAN DOOONG NTAR TELAT!!!” Tommy, adik Tiara yang baru kelas 2 SMP meneriakinya dari halaman depan.
“IYA BENTAR!! I’M COMIIINGG!!!” Tiara balas berteriak sambil duduk di kasur untuk mengenakan kaos kaki dan sepatu hitam barunya. Gara-gara kelamaan mandangin seragam putih-abunya Tiara jadi lupa kalo Ia belum memakai kaos dan sepatu.
“KALIAN BERDUA BISA NGGAK SIH NGGAK PAKE TERIAK-TERIAK??!! BERISIK TAU!” Kali ini kakak Tiara yang udah kuliah, Tamara, teriak entah dari sudut rumah yang mana.
Kalo hari biasa sih Tiara bakal bales teriak lagi, “KAKAK SENDIRI JUGA TERIAK-TERIAK! HUUUHHH!!” Kontes teriak-teriak itu pada akhirnya akan ditutup oeh teriakan maut Mama dari dapur, “SEMUANYA DIAM! DIAAAAAMMMM!!!” Rumah Tiara memang pagi-pagi persis kayak hutan hujan tropis. Semua penghuni rumah berasa bak tarzan yang harus selalu ngomong dengan suara kenceng karena takut orang yang diajak ngomong nggak bakal denger. Padahal pendengaran mereka baik-baik aja. Cuman, masalahnya, Papa pagi-pagi suka dengerin berita dari radio yang suaranya disetel maksimum. Alhasil, kalo ngomongnya dengan volume normal, suara radio bakal tetep menang, pesan pun nggak akan tersampaikan dengan sempurna. Untung jarak antarrumah di kompleks tempat tinggal Tiara masih agak renggang karena kompleks itu lumayan baru. Masih banyak tanah kosong di sana-sini. Kalo enggak, kayaknya keluarga Tiara udah diusir rame-rame sama warga RT karena telah menganggu ketentraman dan kedamaian pagi hari yang indah.
Tapi, karena hari itu hari yang spesial, Tiara males bales teriakan Tamara. Ia nggak mau menghabisi stok suaranya karena hari ini Ia pasti membutuhkannya.
Hari pertama sekolah setelah MOS. Kelas baru. Teman baru. Seragam baru. Semangat baru.
“Beres!” Tiara berdiri dan mengambil tas gendong yang isinya Cuma satu buku catatan, botol minum dan kotak pensil. Tiara bergegas berlari menuju halaman depan sebelum Tommy punya kesempatan untuk meneriakinya lagi.
Ahh! Hari yang indah! Tiara terus tersenyum sambil berlari kecil menghampiri Papa dan Tommy yang menunggunya di depan. Jantung Tiara juga ikut berdebar dengan bersemangat. Tampaknya jiwa dan raga Tiara sudah siap menyongsong lembaran hidup yang baru.
* * *
Tiara menarik nafas dalam-dalam sebelum memasuki gerbang sekolah barunya yang besar dan kokoh. Jantungnya yang sedari tadi ber-aerobik ria sekarang berdetak makin kencang. Tapi rasa deg-degan yang Ia rasakan pagi itu bukan deg-degan karena takut, tapi lebih karena perasaan nervous sekaligus penasaran akan cerita apa yang akan disulamnya selama tiga tahun mendatang.
“Woy!” Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Tiara dari belakang. Tiara yang sedang mengagumi gedung sekolah impiannya itu terpaksa harus menoleh.
“Eh, Rini!” Tiara tersenyum lega karena bertemu satu orang yang dikenalnya. Tapi sebenernya Tiara nggak perlu khawatir tentang hal itu. Cuma ada beberapa sekolah di kota kecil tempat Tiara tinggal. Otomatis sebagian besar siswa-siswa yang sebaya akan satu sekolahan nyaris dari TK hingga SMA. Dan Rini ini adalah salah satu teman Tiara yang sudah dikenalnya semenjak masih unyu-unyu di TK dulu.
Rini balas tersenyum dengan lebar. Rambutnya yang dikuncir tinggi bergoyang-goyang dengan semangat seolah-olah menyuarakan isi hati Rini saat itu.
“Nggak nyangka ya kita sekarang udah pake seragam putih-abu! Rasanya baru kemarin kamu hampir mati keracunan gara-gara minum air yang dicampur serbuk kapur warna-warni!” Rini mengusap-usap roknya dengan bangga sambil bernostalgia mengenang masa-masa TK mereka yang penuh tragedi unik. Mereka berdua kini berjalan berdampingan menuju kompleks bangunan kelas X.
Tiara yang diingatkan lagi akan kejadian konyol sepuluh tahun yang lalu itu berusaha memasang wajah datar sambil berkata, “Lah, kita kan dulu juga udah pake seragam putih-abu kali! Biasa aja dong!”
“Huh? Ngaco ah! Jelas-jelas ini hari pertama kita jadi murid SMA resmi!”
“Kamu lupa ya, Rin, seragam kita waktu TK dulu kan juga putih abu!” Tiara menyahut jayus.
Rini yang baru nyadar kalo Tiara lagi ngisengin dirinya kontan menjitak kepala Tiara gemas. “Putih abu sih putih abu, tapi kan abu-abunya beda! Waktu TK dulu abu-abu seragam kita kan tua banget, Ti! Trus dasi kita dulu juga bentuknya kupu-kupu unyu. Jangan disama-samain dong!”
Ngeliat Rini yang dongkol Tiara malah terkikik geli. Kembali teringat masa-masa TK mereka yang begitu tanpa beban. Kekhawatiran terbesar mereka dulu adalah nggak dapet giliran main ayunan pas jam istirahat. Nah sekarang, ngomongin soal rasa khawatir bakal perlu waktu berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan lamanya. Ada begitu banyak hal yang membuat remaja seperti mereka khawatir. Mulai dari masalah penampilan, pacar, ujian sampai konflik dengan orangtua masalah kebebasan.
Ah, tapi Tiara nggak mau khawatir-khawatiran dulu. Ada 365 hari dalam setahun dan hari ini bukanlah hari untuk rasa khawatir.
“Ganteng bangeeeetttt... Liat deh Ti!” Tiba-tiba Rini merapat ke samping Tiara sambil berbisik dan mencubit lengan Tiara pelan untuk menarik perhatian cewek itu.
“Aww! Apaan sih, Rin?” Tiara mengusap-usap lengannya sambil mengikuti arah pandangan Rini yang menuju arah jam 1.
Tapi Rini nggak menjawab pertanyaan Tiara. Ia malah sibuk memandangi sekumpulan cowok-cowok senior yang entah kelas XI atau XII, Tiara nggak yakin, yang sedang duduk-duduk di taman sekolah menunggu jam bel masuk berbunyi. Tiara nggak mau memandangi grup itu lama-lama. Kan malu juga kalo ketahuan lagi ngeliatin kakak kelas, ntar disangka yang caper agi!
“Siapa yang ganteng, Rin?” Tiara berusaha melihat dari sudut matanya sampai rasanya matanya bakal juling permanen. Nggak kayak Rini yang terang-terangan berhenti dan berdiri menghadap cowok-cowok itu, Tiara Cuma berhenti sejenak tapi badannya tetap lurus ke depan.
Tapi Rini malah masih tidak menggubrisnya. Kalo gini mah bisa-bisa mereka nggak nyampe-nyampe kelas masing-masing nih! Akhirnya Tiara terpaksa menyeret Rini untuk mulai berjalan lagi. Entah siapa yang Rini bilang ganteng, Tiara nggak peduli. Tiara sendiri belum ngeliat ada cowok ganteng selama tiga hari MOS.
“Jangan cepet-cepet ah, Ti! Biarkan aku menikmati momen yang indah ini...” Rini berusaha menahan tangan Tiara sambil sok-sok puitis.
“Bentar lagi bel loh, Rin! Ayok cepetan!” Tiara jadi makin nggak sabar. Dirinya kan juga penasaran ingin melihat ruang kelas barunya plus penghuni-penghuninya. Kira-kira ada berapa mantan teman sekelasnya ya kali ini? Sepuluh? Dua puluh? Atau semuanya merupakan teman sekelasnya waktu SMP dulu? Mungkin juga sih...
“Itu, Ti.. Kak Baskara! Ganteng banget ya? Apalagi pas MOS. Widihhh wibawanya!” Akhirnya Rini mulai berjalan dengan fase normal lagi sambil berbisik-bisik di dekat Tiara, takut kalo-kalo ada senior cewek yang denger obrolan mereka.
Kak Baskara? Masa Kak Baskara ada di kumpulan cowok-cowok tadi sih? Nggak mungkin Tiara nggak ngeliat cowok itu kalo dia ada di sana! Nggak mungkin! Tiara berusaha melihat ke belakang, ke taman sekolah tempat senior cowok-cowok tadi nongkrong. Tapi sayang, pandangan mereka tertutupi semak-semak yang mengelilingi taman. Jantung Tiara kini berdegup makin kencang lagi. Gelisah. Perasaan yang udah nggak asing lagi untuk Tiara karena inilah yang selalu dirasakannya tiap kali Ia mendengar nama Baskara atau bertemu dengan cowok itu.
“Kamu juga ngerasa Kak Baskara ganteng ya? Iya kan!!! Dia ganteng, baik, keren, T-O-P deh pokoknya!!” Rini masih dengan semangat ngoceh di samping Tiara. Kompleks kelas X kini sudah terlihat, Cuma tinggal beberapa meter lagi, tapi Tiara jadi nggak pengen cepet-cepet masuk kelas. Rasanya Ia ingin berbalik lagi ke arah taman sekolah supaya Ia bisa memastikan kalau Baskara ada di sana. Kalau mulai hari ini, mereka berdua resmi berada di satu sekolah yang sama, lagi. Walaupun Tiara sering melihat Baskara saat MOS berhubung Baskara adalah pengurus OSIS, tapi itu semua masih terasa seperti mimpi yang berlalu dengan cepat. Rasanya terlalu indah untuk jadi kenyataan. Setelah penantian yang panjang, akhirnya Tiara bisa melihat Baskara lagi setiap hari.
Mulai hari ini.
* * *
“Bas! Woi! Helloooo Earth to Baskara? Anybody there?” Rinto menjentikkan jarinya di depan muka Baskara.
“Eh?” Baskara yang kaget cuma membalas singkat sambil memalingkan mukanya dari arah gerbang sekolah dan menatap Rinto.
“Pagi-pagi udah melamun aja! Ntar ayam tetangga pada mati semua!” Ujar Rinto sambil menepuk pundak Baskara. Teman-teman sekelas mereka yang lain yang udah berkali-kali mendengar perkataan yang sama keluar dari mulut Rinto cuma mesem-mesem sambil menatap Baskara dengan pandangan bertanya-tanya, seolah-olah sedang menunggu jawaban Baskara.
“Eh? Ada apaan sih? Kok pada ngeliatin gitu?” Baskara menatap teman-temannya satu per satu dengan wajah bingung.
“Makanya, kalo temen lagi pada diskusi tuh jangan bengong aja! Nggak denger kan tadi kita-kita pada bilang apa?” Bukannya menjawab pertanyaan Baskara, Ia malah melanjutkan omelannya.
“Iya! Iya! Sori deh, sori. Emang ada apaan sih?”
“Nanti sore kita-kita mau main futsal, mo ikut nggak?”
“Oh itu...” Baskara menarik nafas lega sambil pura-pura berpikir. Ia kira dirinya telah melewatkan sesuatu yang penting, ternyata cuma ajakan untuk main futsal. Baskara kembali melirik ke arah gerbang sekolah. Hilang. Cewek itu udah nggak ada di sana lagi. Sial! Baskara merutuk dalam hati. Hatinya terasa mencelos. Kecewa karena telah melewatkan kesempatan yang jarang datang padanya. Sial! Baskara mengumpat lagi dalam hati, kali ini untuk dirinya sendiri. Harusnya perasaan kecewa itu nggak boleh Ia rasakan lagi. Apa gunanya selama ini berlari menjauh kalau setiap Ia melihat cewek itu hatinya selalu bergetar, berharap dan akhirnya berujung pada kekecewan?
Selalu begitu.
“So?” Rinto menaikkan alisnya, menunggu jawaban Baskara yang tak kunjung datang.
“Oke. Tapi mungkin agak telat, ada rapat OSIS.” Baskara menyahut tanpa bersemangat. Yang ada di pikirannya kali ini hanya satu. Satu nama.
* * *
“Tiara!!! Kita sekelas lagi, asiiiiikkk!” Shasa yang merupakan teman sebangku Tiara dari kelas 5 SD sampai kelas 3 SMP menyambutnya di pintu ruang kelas mereka yang baru.
“Yesss!!” Kedua cewek itu kemudian toss dengan bahagia. Nggak ada yang lebih membahagiakan daripada sekelas lagi dengan orang yang udah kita anggap seperti saudara sendiri.
“Sayangnya kita nggak bisa duduk sebangku lagi, Ti.” Kebahagiaan di wajah Shasa sedikit meredup. Di SMA mereka itu, tiap siswa duduk sendiri-sendiri, jadi nggak bakal ada yang punya teman sebangku kayak di SD atau SMP dulu.
Tiara menepuk-nepuk pundak Shasa menenangkan sambil tersenyum lebar, “Nggak pa-pa kali, Sa.. Kita duduk sebelahan aja!”
Shasa mengangguk kecil. “Mudah-mudahan aja Wali Kelas kita ngaturnya begitu. Denger-denger Wali Kelas kita kali ini orangnya galak! Dia suka ngatur-ngatur tempat duduk muridnya!” Shasa bergidik ngeri. Tiara Cuma tertawa kecil mendengar perkataan sahabatnya itu. Baru hari pertama aja udah ada kabar burung kayak gitu. Tiara yakin nggak satupun dari teman sekelas barunya itu pernah bertemu dengan Wali Kelas mereka. Boro-boro tau beliau galak atau nggak! Haha!
“Udah! Udah! Nggak usah khawatir soal itu dulu. Aku udah nggak sabar pengen masuk kelas nih!” Tiara menarik tangan Shasa ke dalam kelas baru mereka yang ramai dipenuhi huru-hara.
Tiara mengedarkan pandangannya ke seisi kelas yang sedang sibuk mengobrol dalam kelompok-kelompok kecil. Tiara bisa mengenali hampir sebagian besar teman-teman sekelasnya itu. Antara mereka pernah menjadi teman sekelas Tiara dulu, atau Tiara pernah melihat mereka saat di SMP atau SD dulu.
Tiba-tiba Tiara menangkap sosok yang begitu familiar di salah satu pojok kelas mereka. Rangga? Tiara mengucek-ucek matanya nggak percaya. Itu beneran Rangga atau dirinya cuma sedang berhalusinasi?
“Sa, itu Rangga bukan sih?” Tiara menepuk lengan Shasa tapi matanya nggak lepas dari satu sosok yang dari samping benar-benar mirip dengan Rangga, takut-takut kalau dipalingkan wajahnya, sosok itu akan menghilang. Puff!
“Iya lah, Ti. Itu Rangga, siapa lagi?” Shasa menjawab santai.
“Sialan! Aku kena tipu!” Tiara menggerutu gemas. Sama seperti Shasa, Rangga adalah teman yang telah dikenalnya sejak SD dulu. Tiara sih sebenernya ogah mengakui Rangga sebagai sahabatnya, karena cowok itu lebih sering bikin dongkol daripada bikin seneng. Tapi apa boleh dikata, Tiara terlanjur terbiasa dengan kehadiran cowok itu di kelas. Cowok yang selalu duduk di belakangnya itu memang ngeselin, tapi apalah daya, Tiara merasa aneh kalua Rangga tidak ada. Dan kemarin cowok iseng itu bilang kalo kelas dia itu nggak sama dengan kelas Tiara. Tiara hampir nangis saking sedihnya mendengar kabar itu. Syukurlah ternyata itu semua bohong.
Walaupun kesal karena sempat kena tipu, Tiara bernafas lega juga. Paling nggak di kelas baru itu, ada dua orang terdekatnya di sampingnya. Tiara nggak usah takut, apalagi khawatir bakal kesepian.
Kayaknya hari pertama sekolah memang hari yang indah untuk dirinya. Sebuah senyuman kembali menghiasi bibir Tiara.
* * *
“Ti, Kak Aldo nggak sekolah ya hari ini? Kok nggak nyamperin sama sekali sih?” Shasa bertanya dengan hati-hati sambil mengaduk jus jeruknya. Tiara yang sedang asik menikmati baksonya itu Cuma mengangkat kedua bahunya cuek.
“Kamu nggak tau ya, Sa? Mereka kan udah putus.” Rangga menyahut dengan tampang yang dipolos-poloskan, seolah-olah itu berita lama yang udah basi dan usang, nggak layak lagi untuk dibicarakan.
Plaakk! Tiara memukul lengan Rangga yang duduk di samping kanannya itu. Mulutnya masih sibuk mengunyah bakso. Rangga memang suka asal ngomong. Walaupun Shasa dan Tiara tau kalau perkataan Rangga jarang bisa dipercaya, apalagi kalau tentang putus nggak putunya hubungan antara Tiara dan Aldo, tetep aja Tiara nggak bisa nggak melempari Rangga dengan pandangan bete atau mukul lengannya dengan gemas tiap kali cowok itu bilang kalau Tiara dan Aldo sudah putus.
Sejak awal hubungan Tiara dan Aldo hampir satu tahun yang lalu, Rangga adalah satu-satunya orang yang bersiteguh menentang hubungan dua sejoli itu. Entah apa alasannya, Rangga nggak pernah repot-repot mau menjelaskan. Yang penting Ia nggak suka Aldo. Harga pas nggak pake nego ya sist.
“Kalian berdua nggak lagi berantem kan?” Shasa kembali bertanya. Aneh, masa di hari pertama Tiara resmi jadi murid SMA, Kak Aldo nggak menghampirinya sama sekali. Bilang “welcome” kek, atau paling nggak traktir di kantin gitu. Kan Shasa dan Rangga juga bakal kecipratan rejeki!
Tiara yang tau kalau babak interogasi akan segera dimulai Cuma mengangkat kedua bahunya sambil meraih jus jeruk Rangga dan menyeruputnya hingga amblas alias ludes alias bersih tak bersisa. Rangga yang kehilangan minumannya cuma bisa pasrah. Udah biasa terjadi, nggak ada gunanya marah-marah.
“Ya udah nggak pa-pa kalo nggak mau cerita sama aku.. Aku ini apa atuh.. Aku Cuma cewek biasa yang ga punya temen, yang ga pernah denger cerita apa-apa karena ga punya temen…” kata Shasa kalem mengutip lirik lagu dangdut yang sering di dengarnya sambil melanjutkan menikmati soto ayamnya dengan wajah yang disedih-sedihkan. Taktiknya memang selalu menggunakan reverse-psychology. Tujuannya biar Tiara ngerasa nggak enak, terus akhirnya cerita deh.
Walaupun Tiara udah kenal betul taktik licik Shasa, dirinya tetep ngerasa nggak enak. Tapi memang kali ini nggak ada yang bisa diceritain. Pertengkarannya kali ini dengan Aldo memang nggak jelas ujung-pangkalnya. Tiara memang tiba-tiba aja pengen cuek. Selama MOS, Tiara nggak pernah bales SMS atau angkat telpon dari Aldo. Selain karena banyak tugas dan kelelahan, Tiara memang lagi nggak ingin berbicara dengan Aldo. Entah kenapa. Tiara cuma nggak bisa memaksa dirinya untuk berbicara dengan Aldo walaupun sebentar saja.
Bukan, bukan karena Tiara udah ga sayang sama Aldo. Tapi…
Apakah aku pernah benar-benar sayang sama Aldo atau cuma…
Ah, bodo! Tiara berdebat dalam hati sambal meremas-remas tisu di tangannya.
Satu-satunya orang yang ingin diajaknya bicara cuma Baskara. Tapi cowok itu malah nggak meliriknya sama sekali. Dengan Baskara, harapan hanya akan tetap menjadi harapan. Tiara tahu betul tentang itu, tapi ia tidak bisa mencegah dirinya sendiri.
Pada akhirnya, setelah hamper 1 minggu dicuekin, Aldo yang ngambek. Alhasil, hari ini Aldo nggak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Tapi sejak kemarin Tiara nggak mau ambil pusing. Malahan Tiara nggak mikirin Aldo sama sekali sampai Shasa mengungkitnya barusan. Tiara nggak mau merusak kebahagiaan hari pertamanya dengan pikiran atau perasaan negatif.
“Yah biasa lah, Sa. Salah paham kecil doang, palingan besok juga udah baikan. Santai...” Tiara menjawab enteng sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin yang ramai dipenuhi oleh anak-anak kelas X yang hari pertamanya penuh dengan jam kosong dan segelintir anak-anak kelas XI atau XII yang kebetulan juga sedang di anugerahi jam kosong. Hati kecil Tiara berharap dirinya bisa menemukan sosok yang selalu ditunggu dan dicarinya. Tapi nihil. Baskara tampaknya sedang mengikuti pelajaran di kelas.
“Udah selesai belom? Balik yuk!” Rangga berdiri dari meja mereka dan bersiap membayar makanan-makanan mereka. Seperti biasa, Rangga yang uang sakunya lebih sering berwarna biru atau merah itu akan membayar makanan mereka terlebih dahulu. Nanti Shasa dan Tiara baru membayar Rangga dengan uang kecil. Itu pun kalau ingat!
Tiara yang berjalan sambil menunduk mengagumi sepatu hitam barunya yang berkilau terkena cahaya matahari tiba-tiba merasa ada sepasang mata yang sedang memerhatikannya. Ketika Ia mengengadahkan kepalanya, matanya bertemu dengan sepasang mata hitam yang tajam dan dipenuhi dengan ekspresi yang Tiara tak bisa kenali pasti. Baskara. Cowok itu sedang berjalan ke arah kantin bersama teman-temannya, berlawanan arah dengan Tiara dan kedua temannya.
Tiara tertegun sejenak. Kaget. Senang. Bingung. Semuanya bercampur menjadi satu. Baskara sedang menatapnya! Jantung Tiara mulai berdebar dengan cepat, bibirnya terasa kaku dan lidanya terasa kelu. Tanpa sadar Ia meremas rok abunya. Apa yang harusnya Ia lakukan? Haruskah Ia tersenyum? Menyapa? Hati dan otaknya sibuk berdebat sampai tanpa disadarinya momen yang tepat telah lewat. Baskara tidak lagi memandangnya. Sekarang cowok itu malah asik bercanda-canda dengan teman-teman sekelasnya dan lewat di samping Tiara tanpa menoleh sedikit pun, seolah-olah mereka tidak pernah saling menatap. Seolah-olah mereka tidak pernah kenal satu sama lain. Seolah-olah Tiara hanya angin lalu, yang kehadirannya disadari tapi kemudian terlupakan.
Tiara menggigit lidahnya untuk mencegah dirinya dari mengeluarkan protes pada Shasa dan Rangga karena kejadian aneh yang baru saja Ia alami. Kedua sahabatnya itu nggak pernah tahu tentang Baskara. Dan Tiara nggak berniat mulai memberitahu mereka sekarang. Bisa-bisa semua jadi makin runyam.
Tapi Tiara nggak bisa berhenti mengulang kejadian itu di pikirannya. Tiara senang, sangat sangat senang, karena Ia baru saja berpapasan dengan Baskara. Tetapi hatinya juga jadi gundah gulana. Pertemuan itu terlalu cepat, terlalu pendek. Dan terlalu penuh dengan tanda tanya. Apa arti tatapan Baskara itu? Apa cowok itu berusaha mengingat-ingat jika Ia mengenali Tiara? Apa cowok itu sudah melupakan Tiara sepenuhnya? Apakah waktu perpisahan 2 tahun bisa sekejam itu?
Tiara menarik nafas dalam-dalam. Mungkin. Itu satu-satunya jawaban yang masuk akal. Kalau Baskara masih mengingat Tiara, tentu cowok itu sudah menghampirinya saat MOS atau menyapanya tadi saat mereka berpapasan. Tapi semua itu tidak dilakukannya. Baskara menatapnya seolah-olah Tiara adalah orang asing yang pernah ditemuinya di satu tempat dan satu waktu yang lama sekali.
Ya. Sorot mata itu... Itu sorot mata kebingungan, dan keraguan. Tiara mengangguk pada dirinya sendiri. Akhirnya bisa menginterpretasi sorot mata yang Baskara berikan padanya tadi walau karena itu hatinya jadi makin nelangsa. Seandainya Ia bisa memilih, Ia nggak mau mengingat cowok itu lagi. Tapi sepertinya hati dan pikirannya berkonspirasi untuk menentangnya, dan menyandera Baskara dalam ruang hati dan ruang pikiran yang tidak bisa terjamah oleh siapapun, atau termakan oleh waktu.
“Eh, itu Kak Aldo lagi turun tangga, Ti!” Shasa menyikut Tiara yang lagi-lagi berjalan sambil menunduk. Kali ini bukan untuk memandangi sepatu barunya, tapi untuk berpikir keras dan meratapi hatinya yang nelangsa.
“Huh? Mana? Mana?” Tiba-tiba Tiara menjadi panik. Jantungnya berdebar-debar khawatir dan nervous. Ia nggak ingin menemui Aldo sekarang. Nggak sebelum dirinya bisa meenangkan hatinya yang kacau setelah bertemu Baskara.
“Itu, Ti! Turun tangga dari kelasnya! Tapi kayaknya dia nggak liat kamu deh! Aku panggil ya! Kak... Hmmpfff.. Hmpppfff...!!!” Tiara cepat-cepat membekap mulut Shasa sebelum cewek itu menarik perhatian yang tidak diinginkan.
“Aku nggak mau ketemu dia, please!” Tiara memberikan tatapan memelasnya yang paling sengsara pada Rangga dan Shasa. Tangannya masih membekap mulut Shasa walau bekapannya sudah Ia longgarkan.
Rangga yang tentu saja paling mendukung permintaan Tiara yang satu ini dengan tanggap menarik tangan Shasa dan Tiara, dan mengajak kedua cewek itu berlari kecil menuju ruang kelas mereka.
* * *
“Nggak mesen makanan nih Bas? Diet yaaaaa?” Rinto menyikut Baskara sambil menaik-naikkan alis kanannya.
“Enak aja! Emang cewek!” Baskara meninju lengan Rinto yang mengambil tempat di sampingnya sambil menaruh semangkuk soto panas di meja.
“Eh, pelan-pelan dong, Bas! Hampir tumpah nih!” Rinto protes karena tinjuan Baskara pada lengannya tadi membuatnya kaget.
Bukannya menyesal karena hampir menumpahkan soto Rinto, Baskara malah terkekeh geli.
“Eh, tapi serius deh, Bas. Kan kamu sendiri yang ngajak kita-kita ke kantin. Katanya laper?” Rinto lanjut bertanya sambil menyuapkan sesendok penuh soto ayam ke mulutnya dan mengunyah dengan rakus.
“Udah nggak laper lagi. Lagian jam kosong juga kan, suntuk di kelas mulu.” Baskara menjawab sekenanya sambil memainkan sebuah pipet plastik di tangannya.
Nafsu makannya menguap sudah lenyap. Kakinya masih terasa agak lemas dan telapak tangannya berkeringat dingin. Jantungnya masih berdegup kencang sampai Ia heran kenapa Rinto nggak bisa mendengarnya.
Kali pertamanya berpapasan dengan Tiara yang kini resmi menjadi murid SMA terjadi jauh lebih cepat dari dugaannya. Dan dirinya nggak siap sama sekali. Kalimat-kalimat yang ingin Ia sampaikan masih belum tersusun dengan sempurna. Ia bahkan belum memutuskan harus bagaimana saat bertemu cewek itu. Selama MOS dirinya cuma bisa mengawasi cewek itu dari jauh, dan berusaha mati-matian untuk meminimalisasi kontak dengannya. Dan sepertinya takdir berada 100% di pihaknya karena Ia sama sekali nggak memiliki kesempatan berhadapan langsung dengan Tiara saat MOS kemarin, membuat dirinya lega, sekaligus kecewa.
Akhirnya Baskara melakukan satu-satunya hal paling sederhana yang bisa ia lakukan saat berpapasan tadi, menatap cewek yang sedang menunduk itu lekat-lekat. Merekam setiap detail yang ada pada cewek itu, takut kalau itu adalah kesempatan terakhirnya. Rambut bergelombangnya yang dikuncir di belakang, anting kecil bulatnya yang berkilau tertimpa sinar matahari, jam tangan kulit cokelat yang melingkar manis di tangan kirinya, seragam putih-abunya yang masih begitu bersih dan baru serta.... matanya yang bulat dan penuh keramahan, yang tanpa peringatan tiba-tiba menatapnya balik dengan kaget, dan juga bingung.
Apa Tiara masih mengingat dirinya? Setelah dua tahun berpisah tanpa kontak, apakah gadis itu masih bisa mengenalinya? Terkadang pubertas memang memiliki dampak yang cukup besar pada seseorang sampai membuat orang itu sulit dikenali. Tapi… Baskara nggak yakin dirinya berubah begitu banyak sejak SMP dulu selain tinggi badannya yang mencuat. Tapi sorot mata itu... Tiara seperti tidak mengenalinya lagi. Ada begitu banyak kebingungan. Dan dengan berat hati Baskara memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kekecewaannya dari gadis itu dengan tertawa pada entah lelucon apa yang Rinto lontarkan tadi.
Apapun yang Baskara lakukan, Ia nggak bisa memaksa Tiara untuk menyukainya. Dan Ia tidak boleh terus menerus menyakiti hatinya sendiri. Apalagi kini Tiara sudah ada yang punya. Baskara tidak ingin menempatkan dirinya pada posisi yang akhirnya akan menyakiti hatinya lebih daripada siapapun.
Baskara menarik nafas dalam-dalam. Hari yang dinanti-nantikannya sekaligus ditakutinya akhirnya datang juga. Hari dimana Tiara menjadi adik kelasnya lagi. Lagi. Hari yang menandai awal pertemuan-pertemuannya dengan Tiara kembali.
Bertahanlah, Bas. Tinggal satu tahun lagi. Setelah ini kamu bakal lulus SMA, dan bisa pergi jauh-jauh dari Tiara. Pergi jauh ke tempat dimana cewek itu nggak akan bisa mengusikmu lagi. Ke tempat dimana cewek itu nggak akan berpikiran untuk menyusulmu. Ke tempat dimana akhirnya kamu bisa memaafkan takdir dan bener-bener move on.
Satu tahun lagi.
* * *
nice story :)
Comment on chapter Prolog