Read More >>"> Love Rain ([12]) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Rain
MENU
About Us  

Ketimbang bangunan-bangunan di sekitarnya yang menjulang, rumah yang ditempati Ahn Tae Young yang berada di Munseong-ro 38-gil, Sillim-dong, tampak amat sederhana dengan bangunan yang tak bertingkat. Dindingnya menggunakan bata yang sebagiannya bercat merah dan sebagiannya lagi bercat putih untuk di area pintu masuk. Jendelanya terpasang terali. Ada tanaman seperti perdu yang dipangkas rapi mengelilingi halaman depan rumahnya. Pohon-pohon yang tak begitu tinggi pun menghiasi sisi kiri-kanan pagar pembatas halamannya.

Tanganku menggenggam erat kantong plastik yang berisi sekotak ayam goreng sewaktu menunggu pintu berwarna putih itu dibuka. Rasa gugup kian menjalari sekujur tubuhku, sampai-sampai ujung-ujung jemariku terasa sejuk.

Aku tak tahu reaksi macam apa yang diberikan oleh kakeknya Ahn Tae Young saat melihatku. Tapi, memikirkannya membuat kegugupanku semakin kentara. Bukan tanpa alasan aku bersikap berlebihan seperti ini. Setahun yang lalu, aku pernah pergi kencan dengan seorang pemuda yang kukenal lewat kencan buta bersama Minju. Pemuda itu membawaku ke rumah orangtuanya, dan aku tak bisa melupakan reaksi mereka kala itu; mereka menganggapku dengan tak acuh setelah tahu bahwa aku bukanlah gadis yang mempunyai masa depan cemerlang. Orangtuanya, terutama ibunya, bahkan pernah berkata seperti ini: kuharap hubungan kalian tak jauh dari kata teman.

Meski aku dan Ahn Tae Young tidaklah berkencan, bagaimana jika ternyata kakekknya mempunyai reaksi yang sama seperti itu?

Oh, tidak. Lagi-lagi aku memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Kakekku orangnya baik kok.” Bisik Ahn Tae Young, seakan sedang membaca pikiranku.

Pintu pun tertarik ke belakang, memunculkan sosok pria tua yang agak tambun dengan tungkai yang bergerak lamban. Seluruh rambut pria tua itu berwarna putih, ada kacamata yang tersanggah di hidungnya. Sesaat ia membenarkan letak kacamatanya, menatapku dan Ahn Tae Young secara bergantian. Begitu, ia langsung tersenyum. Meski keriput di mana-mana, senyumnya amat cerah, menandakan bahwa pria tua itu memiliki keramah-tamahan yang tak terkira.

“Oh, Tae Young-ah, kau ternyata!” sambut kakeknya. Sekali lagi ia melirikku dengan senyum yang masih mencekah. “Siapa gadis cantik yang kau bawa ini?”

“Ah, dia temanku.” Ahn Tae Young memperkenalkanku pada kakeknya. “Han Yuna.”

Aku pun sesaat menundukkan kepala, memberikan salam kepada kakeknya Ahn Tae Young. Ia tersenyum ramah, seolah menerima salamku.

“Han Yuna-ssi… Ayo, masuk.” Ajaknya. Ia pun membuka lebar pintu berwarna putih itu, mempersilahkanku dan Ahn Tae Young masuk.

Saat melepaskan sepatu di depan undakan, aku berpikir: agaknya, kakeknya Ahn Tae Young tak seburuk yang kukira.

“Jarang sekali Tae Young-ah membawa temannya ke rumah, terlebih perempuan.” Pria tua itu membuka suara saat menuntun kami menuju ke ruangan yang ia sebut sebagai ruang bersantai.

Sesaat ia menoleh kami, senyum ramahnya masih terpatri di wajahnya. Aku hanya tersenyum canggung, sementara Ahn Tae Young mendengus sebal.

“Ini tak seperti yang Kakek pikirkan.”

Kakeknya pun terkekeh. “Memangnya apa yang aku pikirkan?”

Lalu, kakeknya pun berbicara padaku.

“Biasanya, seseorang yang dibawa Ahn Tae Young-ah ke rumah, merupakan orang yang istimewa baginya.”

“Nah, itu dia maksudku! Kakek pasti akan berpikiran seperti itu!” Kesal Ahn Tae Young.

“Tapi aku benar, kan?” ujar kakeknya. Ahn Tae Young pun tak berkata-kata lagi, membuat kakeknya kembali terkekeh. “Ayo, Yuna-ssi, duduk di sini.”

Di ruang bersantai itu terdapat televisi yang menyala—agaknya kakeknya Ahn Tae Young sedang menonton acara memasak sebelum kami datang—yang menempel di dinding. Ada meja pendek berwarna krem di tengah-tengah ruangan, berikut sofa panjang berwarna oranye. Di belakang sofa terdapat sepasang pintu kaca yang dapat kulihat secara jelas pekarangan belakang rumahnya yang sederhana namun sejuk dipandang; selain karena hamparan rumput pendek berwarna hijau di tanahnya, pohon-pohon yang pendek nan lebat menghiasi sisi-sisi pagar pekarangan tersebut. Lalu, ada kursi goyang yang menghadap ke pekarangan, begitu pula dengan phonograph kuno dengan pengeras suaranya yang berbentuk seperti bunga terompet berada di atas nakas di samping kursi tersebut. Tak lupa juga sebuah rak panjang menempel di dinding yang berisikan buku-buku dan piringan hitam yang ditata secara rapi, kemudian piano yang tutsnya tak memiliki pelindung.

Mengikuti Ahn Tae Young, aku pun duduk di lantai di dekat meja pendek. Kuletakkan kantong plastik berisi sekotak ayam goreng di atas meja tersebut. Begitu, Ahn Tae Young pun berucap kepada kakeknya.

“Yuna membawakan ini untuk Kakek.”

Kakeknya duduk di hadapan kami, lalu membongkar isi kantong plastik. Tak lama ia mengangkat kepala dan tersenyum padaku. “Bagaimana Yuna-ssi tahu bahwa aku sangat menyukai ayam goreng? Terlebih ayam goreng yang dijual di Haengun-dong.”

“Ah… kalau itu, Tae Young-ssi yang memberitahu.” Ujarku sembari melirik Ahn Tae Young. Ia mengangkat bahu, sudut bibirnya tertarik.

Jinjja? Aku pikir Yuna-ssi pandai meramal.” Canda pria tua itu. Aku pun tertawa dibuatnya. “Kalau begitu, sebagai teman makan ayam goreng, kita harus mempersiapkan jus jeruk.”

Baru saja pria tua itu mengangkat pinggang, Ahn Tae Young menghentikannya. Kakeknya pun menatapnya.

“Aku membelikan ini untuk Kakek.” Katanya.

Ia pun bangkit dari duduknya, lalu menyerahkan sebuah piringan hitam berbungkuskan kantong plastik berwarna putih gading dengan logo milik toko yang terpampang di tengah-tengahnya. Kakeknya menyambut benda itu, lalu mengeluarkan piringan hitam dari kantong tersebut.

Omo…” gumam kakeknya setelah lama menatap benda tersebut. Kini ia berganti menatap Ahn Tae Young dengan raut wajah gembira sekaligus terharu. “Aku pernah bilang padamu, kau tak perlu mencari piringan hitam ini. Tapi, gomawo, cucuku.”

Kakeknya pun memberikannya pelukan, tak lupa menepuk-nepuk punggung pemuda itu. Dari apa yang kusaksikan, Ahn Tae Young mengulas senyum dari bahu kakeknya. Tampak sekali bahwa ia sangat menyayangi kakeknya. Aku pun tersenyum.

Jarang sekali aku melihat seorang pemuda sesayang ini pada kakeknya.[]

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
Similar Tags
Intuisi Revolusi Bumi
29      22     0     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
selamatkan rahma!
268      203     0     
Short Story
kisah lika liku conta pein dan rahma dan penyelamatan rahma dari musuh pein
Salju yang Memeluk Awan [PUBLISHING IN PROCESS]
351      193     0     
Romance
Cinta pertamaku bertepuk sebelah tangan. Di saat aku hampir menyerah, laki-laki itu datang ke dalam kehidupanku. Laki-laki itu memberikan warna di hari-hariku yang monokromatik. Warna merah, kuning, hijau, dan bahkan hitam. Ya, hitam. Karena ternyata laki-laki itu menyimpan rahasia yang kelam. Sebegitu kelamnya hingga merubah nasib banyak orang.
You Are The Reason
57      45     0     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
I'M
273      183     0     
Romance
"Namanya aja anak semata wayang, pasti gampanglah dapat sesuatu." "Enak banget ya jadi anak satu-satunya, nggak perlu mikirin apa-apa. Tinggal terima beres." "Emang lo bisa? Kan lo biasa manja." "Siapa bilang jadi anak semata wayang selamanya manja?! Nggak, bakal gue buktiin kalau anak semata wayang itu nggak manja!" Adhisti berkeyakinan kuat untuk m...
Foodietophia
294      242     0     
Short Story
Food and Love
Bloody Autumn: Genocide in Thames
290      170     0     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Million Stars Belong to You
6      6     0     
Romance
Aku bukan bintang. Aku tidak bisa menyala diantara ribuan bintang yang lainnya. Aku hanyalah pengamatnya. Namun, ada satu bintang yang ingin kumiliki. Renata.
Tak Pernah Memiliki
14      14     0     
Short Story
Saling menunggu seseorang, dalam diam. Berakhir tak indah, berujung pisah. Kita yang tak pernah bisa untuk saling memiliki.
Summer Rain
10      10     0     
Fan Fiction
Terima kasih atas segala nya yang kamu berikan kepada aku selama ini. Maafkan aku, karena aku tak bisa bersama dengan mu lagi.