Sempat aku meragu tentang diriku sendiri. Berkali-kali menjelajah ke sana ke mari sekadar mencari keberadaan seseorang yang ku nanti. Duduk diam menjenuhkan, ku putuskan tak tinggal diam dalam kesunyian. Rindu-rindu berganti, rasa kian meresap—menjalar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba saja, gelap malamku terang benderang. Senyum merekahmu yang bersinar memberikan petunjuk jalan pulang. Kembalilah aku pada rumah—denganmu yang singgah. Kembalilah aku dengan luka yang kian membaik dengan genggamanmu. Sebelas dua belas, aku menghitung dalam batin, terdiam. Menyadari kamu menghilang. Begitu saja, melupakan ucapan sampai jumpa yang akan meredakan lara. Kukira kamu berbeda. Parahnya, lebih menyesakkan. Kali ini, tak akan ada tangis yang membanjiri langitku yang kelabu. Karena, aku tak akan menyakiti hatiku dengan membencimu. Rasa yang subur biarlah tinggal, biarlah terkikis oleh waktu yang kadang juga menyandang peran antagonis. Lagipula, apabila dipikir-pikir, perkataan sampai jumpa darimu untukku tak ada gunanya jika direalisasikan. Faktanya, kamu yang kehilangan aku, bukan aku yang kehilangan kamu. Bukankah terdengar menyenangkan?