Dua orang lelaki berpostur tubuh bak pentinju sedang berdiri di atas ring halusinasi mereka.
Mereka berada di ruang pribadi, di mana tidak akan ada orang lain yang bisa masuk tanpa sandi.
"Lawan gue kalo bisa."
"Cih, buat apa? Lu itu bagai kapas pembalut yang sekali injek langsung kempes."
Mereka sama-sama menggeram, "Lu buat gue sakit hati, Rez!"
"Gue baru kali ini buat orang sakit hati. Ternyata gini ya, rasanya? Bahagia, wasyukurillah," Arez tertawa terbahak-bahak.
Hengky semakin panas. Sikap kawan karibnya seolah-olah meremehkannya. Kini seharusnya menjadi persaingan sengit antara dua sahabat kencur dan bengle demi mendapatkan sang pujaan hati. Tapi Arez malah menganggap sama halnya dengan candaan di siang hari.
"MANDA MILIK GUE..!!"
Arez memilih duduk, menyilangkan salah satu kakinya, masih menatap Hengky dengan datar.
"LU NGGA PANTES BUAT MANDA."
Masih. Dokter Ganteng terus memandang kawan karibnya dengan tatapan dingin. Ia masih sabar. Setidaknya Arez bisa menghembuskan nafas secara teratur.
"RADEN AKAN MENIKAHI MANDA!"
Omong kosong, Arez tetap tenang. Mengabaikan keseriusan hati Hengky.
"DENGAN KETEGUHAN HATI DAN JIWA, DEWI KERANG AJAIB TELAH MERESTUI RADEN HENGKY DAN MANDA AGAR CEPAT BERSATU."
Gebleg. Perkataan Hengky membuat Arez mengantuk, ia menguap sangat lebar sembari memainkan ponsel.
Hengky mulai kehilangan akal. Dadanya mengembang dan akan meledak, "Manda ngga boleh buat lu, karena.. ARSENIO AREZ FERLANDO SUDAH TIDAK PERAWAN..!!"
Duak.
Arez melotot, "GUE BANTAI KALO LU NGOMONG ITU LAGI!"
***
Jam dinding berbentuk strawberry di atas meja menjadi korban penganiayaan. Jam itu dijadikan sandra untuk jaminan.
"Balikin anak gue!"
"Emang lu punya istri?! Ye, kalo punya ngelahirinnya gimana?"
"Namanya anak pasti bisa dilahirin pake cara apapun!"
"Goblok lu emang! Ini jam dinding yang kucel ngapain lu jadiin anak, hah? Situ Waras?"
Hengky beringsut duduk sambil menendang bagian sensitif Arez. Bukannya kesakitan, Arez malah menyeringai licik.
"Usaha lu sia-sia, Belek Onta! Gue pake pengaman, ngga bakal bisa putus nih otong."
"CURANG BANGET LU, REZ! YANG ADIL DONG..!!"
***
"Cie, dianterin sama beybiihh..," ejek Manda pada Dheya.
"Omongan lu bikin gue ngga fokus ujian kelulusan."
"Ekhem, lumayan nih pacarnya satpam. Selain bisa jaga hati, bisa jagain lu juga 'kan?"
Manda melambai-lambaikan tanganya pada Dheya agar mau duduk di dekatnya. Walaupun merasa kesal, temannya itu tetap mau bertemu dengannya.
Sekarang Dheya sudah kelas XII, ia butuh dukungan dari siapapun untuk mendapatkan semangat dan mood demi kelulusan nanti. Manda berpikir, sedikit memberi hadiah akan membuatnya senang.
Kalian tahu apa hadiah yang diberikan Manda pada Dheya?
Ya, seorang satpam muda yang tampan.
Memang agak aneh jika ia berpacaran dengan satpam itu. Karena ternyata satpam itu lelaki yang lebih tua empat tahun darinya. Dheya tidak suka pria dewasa. Lebih baik pria yang seumuran tapi masih bisa diajak seru-seruan. But, takdir sungguh tidak bisa ditebak.
Sepanjang perjalanan pulang kemarin, Dheya mengutuk Manda berkali-kali. Mengoceh tidak jelas sampai orang-orang di perpus terus menerus memaki mereka. Jika kalian mengerti apa alasan Dheya meledak seperti kemarin..
"Gimana rasanya setiap hari diboncengin satpam pake vespa? BHAHAHAHA!"
"Curang lu, Kak. Masa gue pulang dari perpus dianterin dia! Segala koar-koar pake toa kalo gue tunangannya, ASEMM KECUTT!"
Manda semakin tertawa, mengocok perutnya, "Halah, ngga usah sok rahasia.. Sekarang lu ke sekolah anter jemput sama dia terus 'kan? Ok, ok, no prob. Asalkan kau bahagia dengannya."
"SIAL! MAMAAA.. PAPAAA.. KENAPA NGERESTUIN DHEYA SAMA SATPAM SIIH?! JAHAT KALIAANN."
Dheya menangis meraung-raung di kantin. Manda yang duduk di berhadapan dengannya hanya cuek, lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Selagi masih ada waktu istirahat, shift-nya di perpus masih aman.
Sebenarnya Dheya kesal saat melihat Manda hampir setiap hari di sekolahnya. Di mana-mana ada Manda. Bosan? Entah mengapa jika ia bertemu dengan Manda, tidak pernah merasa bosan. Kata Manda, "Gue 'kan manis, ngga akan ngebosenin."
Pelayan datang, siapa lagi kalau bukan Bu Narsih. Manda mulai menuliskan beberapa menu pesanannya. Ia bertanya pada Dheya, tapi temannya itu masih saja mengemut ibu jarinya--tanda ia sedang badmood. Kemudian Manda memesan makanan yang sama untuk Dheya.
Kemarin memang salah Dheya.
Semuanya salah Dheya.
Manda tidak salah apapun.
Sampai satpam itu tiba di rumah Dheya, orang tuanya justru menyambut mereka dengan senang. Anak mereka yang melipat-lipat wajahnya malah tidak dihiraukan.
"Nak, kau pulang membawa surprise ternyata," kata papanya.
"Sejak dulu kamu belum pernah bawa cowok ke rumah. Sekali bawa cowok, langsung satpam gini. Wahh hebat, Dheya-nya mama.."
"MATI-MATI MENDING GUE MATI."
***
Musik yang menyebar ke seluruh sudut ruangan kantin membuat Manda memainkan tangannya sesuai irama.
Sup daging, ayam goreng, bahkan jus jambu milik Dheya ia yang habiskan. Padahal Manda sudah punya sendiri. Itu berarti ia sama saja memakan porsi dua orang. Dasar perut gentong.
Dheya sudah pergi sejak tadi. Saat makanannya datang, ia buru-buru bangkit dan berpamitan dengan Manda. Tanpa menyentuh makanan dan hanya menyeruput sedikit jus jambunya. Namun Manda tidak melepaskan temannya begitu saja. Ada syaratnya jika Dheya ingin pergi meninggalkannya sendiri.
"Gue ngga bawa dompet, Nyet."
Dheya yang membayar semuanya.
Dheya yang pasrah dan terlalu baik hati melenggang pergi setelah membayar paket makanan itu.
Dasar panda gemuk tidak tahu diri. Panda perut karet, memakan yang bukan mangsanya.
"Dengan begini gue bakal tahan dua hari tanpa makan. Whuahaha."
Boneka mochi di atas meja yang sengaja dipasang untuk hiasan kini menjadi mainan Manda. Ia menusuk-nusuk mochi itu sampai mengempes ke dalam dan timbul berbentuk bulat lagi, persis seperti pipinya.
Sedapnya masakan yang ia makan masih berbekas di perutnya. Memang benar-benar khas jika yang membuat masakan adalah Bu Narsih.
Eits, tunggu dulu. Manda melupakan sesuatu.
Kemana Si Udang pergi?
Manda menghampiri Bu Narsih yang sedang berkutat dengan minyak panas.
"Bu.. Sendiri aja?"
Bu Narsih membalikkan badan, "Eh? Iya, Nda. Dari dulu sendiri, perawan tua."
"Ah, bercanda atau curhat nih?"
"Haha, dua-duanya. Si Bobby lagi ngga masuk, Nda."
"Kok..?"
"Kan ngga setiap hari dia masuk. Kamu udah kenal dia beberapa bulan 'kok selalu lupa sih."
Wanita itu tertawa, "Ehehe. Mungkin Dheya benar, Bu, kalo Manda pelupa. Tapi ngga pikun, ya!"
Mereka berbicara seolah tidak ada orang lain yang mendengar. Bu Narsih tetap tertawa meskipun Manda sudah berhenti melawak. Namun setelah Manda mengundurkan diri dari kantin, ia segera menutup rapat pintu dapur, menumpahkan kekesalannya di sana.
"Iya.. Manda.. Engga lupa.. Manda ngga akan pernah lupa sama Bobby.."
"Jangan lupakan Bobby.."
***
Semua debu sudah diterjunkan ke jurang. Rak-rak buku telah tertata rapi. Bahkan semua pengunjung juga sudah keluar dari perpus.
Manda bersiap-siap mengemas barangnya. Sudah pukul 5 sore, waktunya ia pulang.
Jalan terasa sepi, karena ia melewati jalur desa. Lautan padi yang mulai tumbuh lebat bisa dilihat dengan dekat. Desa ini sungguh memiliki banyak persediaan bahan pokok. Pohon jagung juga mulai meninggi.
Sempat tersirat di hatinya..
Dulu saat ia masih SMK, setiap sore Arez selalu mengajaknya ke sini. Ditambah Hengky, lelaki itu tidak akan absen pada hal yang menyenangkan bersama Manda.
Ketika bersama Arez mengelilingi desa, entah mengapa Manda merasa tidak asing. Mungkinkah dulu Arez pernah menanamkan kenangan bersamanya di sini?
Keraguan hatinya tidak bisa disembuhkan. Sulit sekali mengembalikan seperti wujud semula. Karena segala sesuatu berubah membutuhkan proses, perjuangan.
Manda menekan-nekan ponselnya, mencari kontak yang ingin ia hubungi.
"Halo," ia menempelkan ponselnya di telinga saat suara beep menyapa.
"Oh? Gitu, ya. It's OK. Manda bisa telpon lagi besok. Maaf ganggu," suaranya melemah pada kalimat terakhir.
Kecewa.
Wanita mungil itu menghembuskan nafas kasar diikuti dengan bahunya yang naik turun.
Dia merindukan seseorang.
"Sudah bertahun-tahun kamu jauh dari Manda. Tidakkah kamu rindu Manda?"
"Tolong lihatlah Manda yang sekarang. Sebentar saja.."
Kemudian ia menghapus riwayat panggilannya tadi dengan seseorang.
Bukan Arez.
Bukan Hengky.
Bukan ibunya.
Bukan siapapun, tapi dia adalah sosok yang Manda sayangi sampai saat ini. Bahkan sebelum Arez menjadi dokter pribadinya.
***
#10
"Gue ngga blo'on, Rez. Tapi O'on.
Ya, sama aja sih. Eh, ngga! Gue ngga suka disama-samain!
Pokoknya masih ada banyak cara buat menakhlukan seorang Manda. Gue ngga ngerasa takut sedikit pun.
Walau nantinya lu bakal jungkir balik, koprol, bunuh diri, kalo Manda jadi milik gue."
-Handsome Bad Doctor-
Hengky
@atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau
Comment on chapter Satu