Deru mesin mobil suaranya pergi dari gerbang rumah dengan satu kali klakson berbunyi. Lambaian tangan saya turunkan untuk Jem. Malam ini cukup melelahkan saya. Hampir seharian saya di luar rumah mulai pagi hari Minggu hingga malam. Saya pun melangkah masuk ke dalam rumah. Di bahu saya menggelendot gitar kesayangan.
Ruangan keluarga sepi. Sepertinya Ayah Ibu sudah masuk kamar tidur sejak sejam lalu. Hanya Mbok Yus yang melongok dari pintu yang menuju dapur. Mbok Yus tersenyum tipis sedang saya sekali mengangguk tersenyum. Saya melanjutkan menapak pada anak tangga menuju kamar.
Selepas menutup pintu kamar, saya meletakkan gitar di tempat biasa pada satu sudut kamar tepat di bawah dinding ber-wallpaper Joe Satriani. Satu saat, barangkali, J. Satriani berganti menjadi H. Satriani. Itu masih sekadar angan-angan saya saja walau mungkin saja terjadi. Siapa tau?
Langkah kaki saya mengantarkan tubuh untuk duduk di meja. Kursi menjadi tumpuan dua kaki saya. Persis tiga meter di depan saya, tempat tidur dengan bantal guling rapi bersisian dengan nakas di sisi kanan tempat tidur. Remote multiplayer tak sengaja tersentuh ujung beberapa jemari saya. Sebagai peneman saya di dalam kamar, saya menekan tombol play. Ah, H. Satriani rupanya yang memainkan lagu "Cry" J. Satriani. Saya mengulum senyum sedang mata saya memejam, menikmati lengkingan gitar.
Saya kembali membayangkan bagaimana rasanya saat pertama kali mencekik leher gitar akustik bersenar. Perih. Berdarah. Namun Iwan, sahabat sekaligus guru, yang mau mengajarkan pelbagai macam chord gitar justru bersemangat mengajarkan saya. Kebetulan saat itu letak rumah saya dan Iwan masih satu blok kompleks, hanya terjarak tiga rumah. Tak kenal waktu sekalipun pagi, siang, sore, malam buta, saya berguru di teras rumah Iwan setiap ada kesempatan. Meskipun Iwan sekadar mengajarkan chord-chord gitar sederhana yang dia tau beserta beberapa contoh lagu, pengajaran Iwan begitu membekas dalam ingatan saya, juga jari-jemari saya. Ungkapan guru kencing berdiri, murid kencing berlari sepertinya tepat untuk pola guru-murid, Iwan-saya. Tak berselang lama waktu kemudian, kurang lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, saya bermain gitar di hadapannya dengan berlari sedang dia masih begitu-begitu saja, bermain gitar masih berdiri. Waktu itu Iwan sempat terbengong-bengong, sebab lagu yang susah dia ulik chord-nya berikut petikan gitar yang cukup jelimet, nyatanya saya bisa mainkan dengan sempurna di hadapannya. Lagu "Sepasang Mata Bola" yang saya mainkan dengan versi intrumentalia serta-merta membuat kedua mata Iwan membola, sedangkan saya tersenyum membagikan rasa bangga saya untuknya. Sejak itu, Iwan memohon pada saya supaya mau mengajarkannya bagaimana cara kencing berlari.
Satu kesan yang terpatri dalam benak pikiran saya sejak itu: janganlah melupakan jasa guru yang sudah mengajarkan bagaimana cara kencing berlari. Senantiasa doakan guru-guru yang sudah tulus ikhlas memberikan pengajaran.
Mata saya yang tadi memejam perlahan membuka serta menyisakan dua rintik air mata di hulu sepasang mata. Di mana engkau, Iwan, sahabat sekaligus guru? Saya benar-benar menangis ditemani lagu "Cry" H. Satriani walau merupakan cover instrumentalia buah rekaman saja.
Saya gontai turun dari meja lalu melangkah, merebah tengkurap di tempat tidur. Lelah dan sedih begitu mencengkeram saya. (°.°)
terimakasih ^^
Comment on chapter Si Biru yang Menjadi Abu