18
Terry berjalan menghampiri Ceria yang tengah berdiri menghadap arah barat di bawah pohon cemara. Warna lembayung telah memenuhi langit di mana gadis itu memakukan pandangannya. Seperti halnya hampir seluruh manusia di muka bumi ini, gadis itu tampaknya juga senang menyaksikan matahari terbenam. “Hai!” ia menyapa dan melihat gadis itu terlonjak kaget. “Maaf, tak bermaksud mengejutkanmu,” ujarnya ketika sang gadis memalingkan wajah ke arahnya.
Gadis itu tersenyum. “Tidak apa-apa,” ujarnya. “Aku memang gampang kaget.”
“Hm…” Terry mengangguk paham. “Menikmati sunset, eh?”
Gadis itu mengangguk. “Aku suka melihat matahari terbit dan terbenam. Indah,” akunya, dan kembali mengulas senyum di wajah cantiknya sebelum kembali menatap arah barat.
Terry balas tersenyum dan ikut melemparkan matanya ke arah yang dipandang Ceria. “Jadi, bagaimana menurutmu tempat ini?” tanyanya.
“Menyenangkan,” jawab Ceria cepat, kembali menatap Terry. “Aku belum pernah mengunjungi peternakan sebelumnya. Ini kali pertama aku melihat sapi, domba, dan kuda sebanyak itu. Mengagumkan.” Bibirnya kembali melengkungkan senyuman. Dan tak bisa Terry pungkiri bahwa senyuman itu sangat mempesona. Pantas saja Jamie menyukainya.
“Bagaimana latihan berkudamu?” Terry kembali bertanya.
“Ah, ya, aku sudah bisa menunggang kuda sendiri. Tapi hanya berjalan-jalan di dalam lapangan berkuda saja,” jawab Ceria.
“Hm… sepertinya Jamie mengajarimu dengan baik.”
“Ya, begitulah. Dia sangat sabar mengajariku meski aku begitu penakut,” ujar Ceria. “Aku masih belum berani menunggang kuda di luar arena berkuda. Meski sangat ingin sebenarnya.”
“Oh, kau sudah cukup baik langsung bisa berkuda dalam dua hari,” balas Terry. “Hanya perlu membiasakan diri saja untuk bisa mahir.”
Ceria kembali tersenyum dan mengangguk. Lalu kembali memalingkan wajahnya menatap matahari yang tampak begitu besar di balik bukit.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” Terry kembali mengajukan pertanyaan.
“Silakan,” sahut Ceria, kali ini tanpa mengalihkan matanya ke arah Terry. Panorama matahari yang turun perlahan-lahan di balik bukit lebih menyita perhatiannya.
“Berapa lama kau dan Jamie saling mengenal?”
“Ehm…” Ceria tampak berpikir sembari berpaling menatap Terry, “aku tak tahu pasti.”
Terry menelengkan kepalanya. “Eh?”
“Kami bertemu kali pertama di sebuah pesta—entah pesta apa atau siapa aku tak ingat. Theo yang mengajakku dan dia juga yang memperkenalkan kami,” jelas Ceria. “Tentu saja sebelumnya aku sudah sering melihatnya di televisi atau majalah. Saat itu kami hanya berkenalan dan lumayan ngobrol banyak hal, karena dia dan Joshua bisa dibilang teman dekat Theo. Tapi setelah itu kami nyaris tak pernah berkomunikasi. Kami tak bertukar nomor telepon atau apa pun. Hanya saling menyapa jika kebetulan bertemu atau berada di event yang sama. Kami baru benar-benar berteman setelah aku bergabung dengan The Hunters.”
“Berteman sangat dekat,” ralat Terry.
Ceria tertawa kecil. “Kalau menurutmu begitu.”
“Kelihatannya seperti itu,” ujar Terry. “Dan kau satu-satunya teman dekat wanita Jamie. Setahuku dia belum pernah punya sahabat wanita sebelumnya.”
Yeah, benar, sahabat, batin Ceria getir. Hanya sahabat.
“Ada apa?” tanya Terry setelah memperhatikan perubahan ekspresi wajah Ceria. “Apa ada yang salah?”
Ceria menggeleng cepat. “Tidak ada.” Sekulum senyum kembali tersungging di bibirnya.
Terry mengangkat sebelah alisnya, lalu mengedikkan bahu. “Jadi, bagaimana menurutmu Jamie?”
“Dia baik,” sahut Ceria. “Dia teman yang sangat menyenangkan.”
“Teman ya,” gumam Terry. “Tak ingin lebih?”
“Huh?”
Terry tersenyum. “Kurasa kalian cocok menjadi pasangan,” ujarnya tanpa ragu.
Ceria terbelalak. Sesaat jantungnya berhenti berdetak, tapi kemudian ia menggeleng dan tersenyum. “Aku bukan tipe Jamie,” katanya. “Kami hanya cocok sebagai sahabat, tak lebih.” Meski sebenarnya aku menginginkan lebih, batinnya kembali miris.
“Hm… memangnya seperti apa tipe Jamie menurutmu?”
“Cantik, tinggi, seksi, pirang, bertungkai panjang, dada besar, mata seindah langit. Seperti Natasha,” jawab Ceria. “Kau tahu kan Jamie sangat mencintai Natasha.”
“Ah, wanita yang mencampakkannya itu,” balas Terry. “Dia bukan orang yang tepat untuk Jamie. Aku senang akhirnya dia pergi.”
“Eh? Kau jahat sekali.”
“Tidak, aku tidak jahat,” Terry menggeleng. “Aku tahu wanita itu tak pernah sungguh-sungguh mencintai Jamie. Mungkin menyakitkan bagi Jamie saat dia pergi, tapi kurasa itu lebih baik daripada Jamie dimanfaatkan lebih lama lagi. Sudah waktunya Jamie menyadari apa yang terbaik baginya.”
Ceria diam. Memang ada benarnya juga perkataan Terry. Kecuali Jamie, rasanya semua orang juga tahu siapa sebenarnya Natasha. Baik teman-teman dekat Jamie maupun seluruh kru yang terlibat dalam serial The Hunters hampir tak ada yang menyukai Natasha. Ia terlalu angkuh. Lagaknya seperti ratu, begitu kata mereka. Tapi menurut Ceria, itu hal yang wajar. Natasha cantik dan seorang supermodel. Ia berhak bersikap angkuh karena ada yang patut disombongkan dari dirinya.
“Saat ini mata Jamie hanya disilaukan oleh kilau permata yang terbuat dari kaca sehingga dia tak bisa melihat berlian yang sesungguhnya,” kata Terry lagi. “Tapi aku yakin dia akan segera menyadari kesalahannya. Sebentar lagi matanya akan segera terbuka. Tak ada yang bisa mengalahkan kemilau berlian asli.”
Ceria mengernyitkan keningnya. Tak terlalu paham dengan perkataan Terry. Tapi tampaknya sang pengacara tak berniat menjelaskan lebih.
“Eh, apa itu?” Terry tiba-tiba bertanya sambil matanya tertuju pada kerah baju Ceria.
“Apa?” Ceria yang tak tahu-menahu balik bertanya.
“Ada sesuatu di kerah bajumu. Tunggu, jangan bergerak!” ujarnya sembari melangkah semakin dekat hingga jarak diantara mereka hanya terpaut beberapa sentimeter.
Ceria hanya diam saat Terry menundukkan kepalanya untuk melihat sesuatu entah apa itu yang menempel di kerah bajunya. “Oh, ternyata hanya ul—”
Bugh!
“—ouch!” Belum juga Terry menyelesaikan kalimatnya dan tangan kanannya masih separuh jalan menuju kerah baju Ceria, sebuah batang kayu menghantam punggungnya. Ia pun berbalik dan mengumpat, “Damn it, Jamie! Apa yang kaulakukan?!”
Ceria terkesiap, dan melihat Jamie berdiri beberapa meter di belakang Terry—tepatnya di samping gudang tempat penyimpanan kayu bakar—dengan tumpukan kayu bakar di tangannya. Menatap mereka dengan rahang mengeras, kening berkerut, dan tatapan membunuh. Wajahnya benar-benar tidak enak dilihat.
“Kau yang sedang apa?” balas Jamie dingin. Tatapannya tetap tajam menusuk.
“Apa? Aku hanya mengobrol dengan Ceria,” balas Terry yang sudah kembali dalam mode tenangnya. “Ada yang salah?”
“Sudah kubilang kau tak boleh mendekatinya!” Jamie kembali melemparkan sepotong kayu dari tumpukan di tangannya, tapi kali ini berhasil ditepis dengan mudah oleh Terry.
“Kami kan hanya mengobrol biasa. Kenapa kau marah-marah seperti itu?” Wajah Terry tetap datar saat menanyakan itu. Sebuah pertanyaan yang juga ingin diutarakan Ceria.
Jamie mendekat dengan langkah lebar dan wajah kesal. Tumpukan kayu bakar di tangannya telah berhamburan di tanah. “Kalau hanya mengobrol, lalu kenapa kau menunduk di wajah Ceria?” desisnya tepat di depan Terry. “Kau mau menciumnya, kan?”
“Bu—” Ceria yang juga mendengar desisan Jamie cepat-cepat menyahut untuk mengklarifikasi. Namun di saat bersamaan, Terry justru berkata, “Kalau iya, memangnya kenapa?” dengan nada datar dan poker face andalannya. “Dia bukan pacarmu, kan?”
Jamie menggertakkan giginya hingga rahangnya terlihat semakin menegang, matanya menyipit, tangannya terkepal hingga buku jarinya memutih. Sementara kakaknya hanya balas menatap dengan tenang. Sama sekali tak merasa terintimidasi dengan reaksi Jamie.
Ceria membuka mulutnya hendak mengonfirmasi kebenaran sebelum dua saudara itu saling bunuh. Tapi tubuhnya mendadak membeku ketika ia merasakan sesuatu merambat di leher kirinya. Apa pun itu, sepertinya sesuatu yang dilihat Terry bertengger di kerah bajunya tadi, yang belum sempat diambil karena punggungnya keburu terhantam balok kayu dari Jamie. “G-guys,” panggilnya dengan suara agak bergetar. Kedua pria itu menoleh. “Bisa tidak, salah satu dari kalian melihat dan please, singkirkan apa pun itu yang saat ini berada di leherku?”
Jamie yang tak begitu paham mengernyitkan kening dan menelengkan kepalanya menatap Ceria. Saat tatapannya sudah turun ke leher Ceria dan baru menyadari keberadaan sesuatu yang hinggap di leher jenjang gadis itu, kakaknya sudah lebih dulu membuka suara, “Ah, ya, aku tadi belum sempat mengambilnya. Maaf,” sambil mengulurkan tangan kanannya dan meraih sesuatu—yang ternyata seekor ulat gemuk berwarna hijau kecokelatan—lalu membuangnya begitu saja.
Huft! Ceria bernapas lega. Tadinya ia pikir itu laba-laba beracun atau lipan, mungkin juga kalajengking, ternyata cuma ulat yang tidak berbahaya. Tahu begitu ia ambil sendiri tadi. Tapi karena Terry sudah berbaik hati menyingkirkan makhluk yang merambati lehernya itu, ia pun mengucapkan terima kasih, kemudian beralih menatap Jamie. “Terry tadi bukannya mau menciumku,” jelasnya. “Dia hanya mau mengambil sesuatu—ulat—itu dari kerah bajuku.”
Raut wajah Jamie berangsur melunak dan menatap kakaknya. “Benarkah?”
Terry tak menjawab apa pun. Hanya menyeringai puas dan melangkah pergi meninggalkan mereka berdua dengan langkah santai.
Setelah Terry menjauh, Jamie jadi salah tingkah sendiri di hadapan Ceria. Tiba-tiba melempar kayu pada kakaknya hanya karena prasangka negatif tanpa tahu kebenarannya seperti tadi, pasti terlihat sangat konyol dan kekanakan. Ceria pasti menganggapnya aneh. Apalagi tadi ia marah-marah tidak jelas begitu. Rasanya bahkan sapi pun tahu kalau ia cemburu. “Uhm…” ia menatap Ceria malu-malu dan setengah cemas. “Sebaiknya kau masuk. Sudah gelap. Udaranya dingin.” Lalu ia berbalik dan memunguti potongan balok-balok kayu yang tadi ia campakkan begitu saja saat menghampiri Terry.
“Biar aku bantu.” Ceria sekonyong-konyong telah ikut membungkuk di sampingnya, memunguti kayu-kayu untuk perapian itu.
Jamie menoleh dan mendapati Ceria tersenyum manis padanya, seolah tragedi barusan tak pernah terjadi. Ia pun balas tersenyum dan kembali sibuk memunguti kayu. Hingga semua kayu terkumpul dan mereka memasuki rumah beriringan, tepat ketika langit berubah warna menjadi hitam.
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1