“Sampai nanti.”
Tiara balas melambai sambil tersenyum tipis pada laki-laki yang telah bersedia memberikannya tumpangan payung hingga ke halte dekat sekolah.
Hari ini hujan turun malu-malu, begitu pula hatinya yang malu-malu menerima pertolongan laki-laki itu. Tepatnya, malu-malu tapi mau. Sangat mau.
Tiara tersenyum kembali mengingat sosok laki-laki tadi.
Kulit sawo matang, mata yang bercahaya, lesung pipi yang manis.
Siapa yang akan menolak tawaran dari laki-laki seperti itu? Apalagi di hari pertama masuk sekolah seperti ini. Seragam putih biru yang masih baru itu sayang jika harus basah di hari pertama, bukan?
Tiara menarik nafas dalam dan panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Rasa senang dan deg-degan membuatnya sedikit sesak.
“Kira-kira dia kelas berapa ya? Delapan atau Sembilan? Yang pasti bukan kelas tujuh sepertiku.” Tiara berkata pelan pada dirinya sendiri. Kakinya berayun-ayun ringan mengusir dingin yang datang bersama hujan. Papa terlambat lagi hari ini.
Tiara tersenyum lagi membayangkan laki-laki yang baru ditemuinya itu, dan setiap kata yang diucapkannya pada Tiara tadi.
“Hai, belum dijemput? Mau kuantar sampai ke depan?” Tiara dikagetkan oleh suara laki-laki yang tanpa Ia sadari telah berdiri di sebelahnya. Tiara menatap laki-laki itu sekilas, terlalu malu untuk benar-benar memperhatikan. Tiara benar-benar tidak pandai dalam bertemu orang baru.
“Uhm, gak usah, makasih.” Jawab Tiara singkat dan pelan sambil tetap menghadap ke depan.
“Paling tidak di halte depan ada tempat duduk. Di sini kamu hanya akan berdiri sampai hujan reda, atau sampai jemputanmu datang. Manapun yang terjadi lebih dulu, tentu saja.”
Tiara dengan terpaksa setuju akan perkataan laki-laki yang tidak Ia ketahui namanya itu. Di koridor sekolah yang mengarah ke gerbang depan ini memang tidak memiliki tempat duduk. Hanya pilar-pilar kayu, atap dan lantai.
Tiara mengedarkan pandangannya. Hanya tinggal 5 anak yang belum dijemput termasuk dirinya. Dan sepertinya, mereka semua tidak membawa payung, sama terjebaknya.
“Bagaimana?” Laki-laki itu bertanya lagi sambil menyunggingkan senyum kecil. Tiara menjadi semakin malu dan gugup, tangannya dingin. Dalam keadaan seperti itu, yang dapat dilakukannya hanyalah mengangguk kaku.
“Kalau begitu, ayo.”
***
“Sampai nanti, Tiara.”
Tiara tersenyum tipis pada laki-laki yang mengayuh sepeda menjauh darinya.
Sudah seminggu Tiara menjadi anak SMP di sekolah favorit yang diidam-idamkannya sejak dulu. Sudah seminggu sejak Tiara bertemu laki-laki berpayung biru tua yang mengantarkannya hingga ke halte depan sekolah.
“Hei!”
Tiara menoleh. Cahaya matahari yang tepat mengenai wajahnya membuat Tiara harus memicingkan mata untuk melihat sosok yang memanggilnya. Benar-benar memanggilnya atau sebenarnya itu panggilan untuk orang lain? Entahlah, tidak ada salahnya untuk ikut memastikan, bukan?
Sesosok laki-laki bersepeda datang menghampirinya dan berhenti tepat di samping Tiara.
“Kamu menjatuhkan ini.”
Laki-laki itu menyodorkan sehelai pita biru tua. Tiara menatap laki-laki itu sedikit heran sebelum memeriksa rambutnya. Ah iya, pita kanannya terlepas.
Tunggu dulu…
Dia kan…. Si laki-laki berpayung biru tua tempo hari!
“Ini, ambillah.” Laki-laki itu masih menyodorkan pita biru kepada Tiara.
“Oh, makasih.” Tiara mengangguk pelan sambil mengambil pita birunya, kemudian menunduk memandangi roda sepeda di hadapannya. Dadanya berdebar, tangannya terasa dingin. Ia sungguh tidak pandai bertemu orang baru.
“Aku Baskara. 9B” Kali ini laki-laki itu menyodorkan sebuah perkenalan.
Dengan ragu-ragu, Tiara membalas uluran tangan laki-laki itu. “Tiara, 7A.”
“Lain kali, hati-hati. Jangan sampai pita birumu hilang. Kalau ketahuan Pak Amat, bahaya!” Laki-laki itu tertawa kecil. Matanya mengerling jahil.
Tiara tahu itu. Setiap hari, anak perempuan di sekolahnya wajib dikepang dua dengan pita biru tua yang diberikan sekolah. Kalau tidak, siap-siap menerima teguran dari Pak Amat, guru tergalak di sekolah ini!
Tiara balas tertawa gugup.
“Baiklah, Tiara. Senang berkenalan denganmu. Jangan berdiri di sini terlalu lama, panas.”
“I.. Iya.” Tiara mengangguk lagi, kali ini sambil tersenyum kikuk. Berinteraksi dengan laki-laki itu membuat seluruh bagian tubuhnya menjadi aneh dan kaku. Haruskah Ia mulai berjalan ke halte sekarang? Atau haruskah Ia menunggu laki-laki itu pergi duluan sebelum Ia melanjutkan perjalanannya ke halte?
Tiara melirik laki-laki yang masih duduk anteng di atas sepedanya. Laki-laki itu menaikkan alis kirinya dan tersenyum kecil.
Tiara menarik napas dalam. Baiklah, sepertinya itu kode bagi Tiara untuk berjalan lebih dahulu. Dari sudut matanya Tiara dapat melihat laki-laki itu juga mulai mengayuh sepedanya pelan menuju arah yang sama.
Tidak sampai lima menit Tiara telah tiba di halte dekat gerbang sekolah. Ia menoleh ke belakang dan tidak mendapati laki-laki itu lagi. Kemana perginya?
“Sampai nanti, Tiara.” Tiba-tiba Tiara mendengar laki-laki itu melintas di sisi kirinya saat Tiara sibuk menoleh melalui sisi kanannya.
Belum sempat Tiara membalas, laki-laki itu sudah mengayuh sepedanya jauh di depan.
Sampai nanti?
Tiara tersenyum melihat sosok itu menjauh.
Sampai nanti.
Tiara senang mendengarnya.
Sampai nanti, Kak. Sampai kita bertemu lagi.
***
Aku suka ceritanya. Lanjutan kan dong min
Comment on chapter Aileen 8