Read More >>"> Sweet Notes (Seperti Awan yang Putih) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sweet Notes
MENU
About Us  

Sepucat rindu yang tak bertepi begitulah hati yang sepi. Seperti awan yang putih tanpa noda. Bukan awan yang hitam pembawa petaka, begitulah harapanku akan kehadiranmu dalam hidupku. Aku hanya menantikan sebuah keajaiban datang, yaitu rasa yang bisa saling dipertemukan. Akankah kali ini cintaku akan sama rata. Akankah kali ini cintaku tak akan bertepuk sebelah tangan? Siapa yang tahu, semua masih dirahasiakan. Tugasku? Aku hanya harus berusaha dan berdoa. Apakah langkahku masih salah?

“Awan itu pucat sekali.” Risma memandangi langit yang menampakkan sinar redupnya.

“Begitulah awan jika tak bertemu mendung.”

“Janganlah turun hujan dulu, aku masih menyukai suasana cerah seperti ini, melihat awan yang pucat lalu berimajinasi tentang apa sebenarnya yang ada dibalik awan itu.”

“Jadi kau percaya dongeng tentang negeri di balik awan?”

“Sepertinya begitu, aku terlalu terobsesi dengan cerita-cerita klasik yang belum tentu kebenarannya.”

“Menyenangkan memang berimajinasi tentang sesuatu yang mustahil, namun tidak baik berharap imajinasi menjadi kenyataan.”

“Ya, kau benar imajinasi biarlah tetap imajinasi.”

“Imajinasi biarkan menjadi lukisan atau tulisan bukankah begitu nona pelukis?”

“Ah, kau bisa saja, tiba-tiba aku teringat waktu dulu sebelum aku kuliah disini, aku tak pernah ingin memasuki prodi ini, karena aku terlalu terobsesi menjadi seorang pelukis, namun nyatanya berbeda Tuhan menyuruhku memperdalam ilmu yang selama ini aku membencinya yaitu Bahasa Inggris.”

“Hahaha,, sudahlah jalani saja apa adanya, buktinya kita masih bertahan disini meskipun dengan nilai yang selalu membuat jantung berhenti berdetak, akupun sama denganmu, sebenarnya ini bukanlah impianku.”

“Jadi apa sebenarnya impianmu?”

“Coba tebak.”

“Kau pasti ingin mengambil Pendidikan Bahasa Indonesia atau Sastra Indonesia kan? Kau kan seorang penulis.”

“Hahaha, kau salah, aku tak pernah berpikiran untuk mengambil Sastra apalagi jurusan Pendidikan.”

“Loh, terus?”

“Aku ingin sekali menjadi seorang Akuntan yang menyibukkan diri dengan hitungan uang yang menyenangkan atau seharusnya aku mengambil Matematika yang amat aku sukai sayang sekali aku tak diperbolehkan oleh Ibuku.”

“Mungkin ada alasan tertentu Ibumu tak memperbolehkanmu, biasanya nasihat orang tua harus kita dengarkan.”

“Ya kau benar sekali, Ibuku selalu bersikeras bahwa apapun yang terjadi aku harus menjadi seorang guru.”

“Menurutku guru adalah pekerjaan mulia Vel.”

“Aku rasa begitu, makanya saat ini aku harus benar-benar dalam menjalaninya.”

“Aku akan selalu ada untuk mendukungmu.”

“Bagaimana kalau kita saling mendukung?”

“Begitu terdengar lebih bagus.” Kemudian kami tenggelam dalam senyum dan melupakan awan putih pucat lewat begitu saja. Tiba-tiba saja perutku terasa lapar sehingga tanpa disuruh aku menarik Risma untuk membeli bakso.

“Sungguh membicarakan tentang awan bisa juga membuat seorang penulis seperti kau lapar.”

“Hei ingat penulispun juga manusia, mereka juga membutuhkan sebuah asupan, bukan hanya asupan menulis tapi juga untuk badannya.”

“Ah, kau ini bisa saja.”

Aku sedang sibuk memilih bakso dengan ukuran yang besar-besar sementara pandangan Risma tertuju pada seorang lelaki yang sedang menggandeng seorang perempuan. Seketika juga cahaya di wajahnya meredup. Aku yakin lelaki itu adalah orang yang dicintai Risma itu meskipun aku tak bisa melihatnya dengan jelas.

“Aku tak jadi makan, kau saja Vel.”

“Loh kenapa?”

“Tiba-tiba saja aku tidak lapar.”

“Ah kau ini bikin ku tak lapar juga.”

“Ayolah aku menunggumu kau makan saja.”

“Kau serius tak makan?”

“Ya, aku duduk disana nanti menyusullah.” Kemudian dia berjalan menghampiri bangku kosong kemudian duduk sambil memainkan smartphonenya. Aku tahu saat ini hatinya sedang hancur. Aku tahu dia tak bisa marah atau berbuat sesuatu karena dia sama denganku. Mencintai dalam diam. Jadi siapa yang akan disalahkan jika cinta dalam diam kita ternyata sudah memiliki pasangan? Dia? Pasangannya? Atau malah Tuhan? Tidak. Yang patut disalahkan adalah diri kita sendiri yang terlalu mencintainya sehingga terlalu berharap pula padanya. Jadi, apa yang akan aku lakukan untuk menghibur Risma yang sedih itu?

Aku menghampirinya. Dia hanya diam seolah tak melihat bahwa aku telah duduk didepannya dengan semangkok bakso penuh.

“Risma kau benar tak mau ini?”

“Tidak, makanlah saja.”

“Kau yakin?”

“Ya,” jawabnya malas.

“Baiklah, akan aku hajar sendirian bakso ini.”

“Ya makanlah saja yang banyak.” Dia masih memainkan smartphonenya.

“Pada suatu hari di negeri bakso tinggallah seorang Puteri Bakso yang mencintai Putra Tahu namun cinta mereka tertahan oleh ras yang berbeda.”

“Hei kau makanlah saja tak usah bermonolog disini.”

“Biarkan saja lagipula kau sedang jutek seperti itu.”

“Terserah kau saja aku sedang kacau.”

“Baiklah, pada suatu hari Puteri Bakso mengatakan pada Raja bahwa dia ingin menikah dengan Putra Tahu namun Raja malah memarahainya dan mengusirnya dari Istana Bakso. Puteri Bakso berjalan menyusuri kuah untuk menemui Putera Tahu dan ingin mengajaknya menikah diam-diam, namun sayang ternyata Putera Tahu telah menikah dengan Puteri Bihun yang masih satu ras dengannya, oh malang sekali nasib Puteri Bakso, dan ketika dia kembali ke Istana ternyata keluarganya sudah tak mau lagi menerimanya, akhirnya karena dia putus asa, dia menyerahkan diri pada seorang raksasa perempuan dengan kerudung warna pink, lalu tamat.” Kemudian aku melahap baksoku.

“Hahahaha kau bisa saja dalam bermonolog, hei mana mungkin tahu dan bihun masih satu ras? Kau ada-ada saja.”

“Terserah aku dong, kan aku yang bikin.,, hahahaha.” Kemudian kami tenggelam dalam gelak tawa yang menggelikan.

“Apakah drama bakso masih berlanjut?” tiba-tiba dia yang sedang ada dalam pikiranku memecah gelak tawa kami.

“Sepertinya telah selesai namun akan dimulai kembali jika kau mau mendengarkan.” Celetuk Risma.

“Risma..” kodeku sambil mengedipkan mataku namun Risma tak merespon.

“Yah sayang sekali, mungkin lebih baik jika aku ikit nimbrung ngobrol dengan kalian.” Kemudian dia duduk disamoing Risma.

“Ah, sepertinya aku harus mengambil bukuku yang ketinggalan di Lab, maaf ya, dada Velovi.” Tanpa sempat aku menahannya dia telah berlari pergi. Dan sekarang, sungguh suasana yang tidak menyenangkan. Kami duduk berhadap-hadapan, padahal awalnya niat hati ingin menyembuhkan luka Risma malah dia datang disaat seperti ini. Hmmm,, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

“Sampai kapan kau akan tetap diam?”

“Ha, hmm maafkan aku, aku tak pandai dalam mengawali sebuah percakapan.”

“Hahaha yang barusan kau katakan adalah sebuah awalan, baiklah aku yang meneruskan.”

“Kau bisa saja.”

“Sampai mana kemarin kita bercakap?”

Pikiranku melayang menembus angkasa. Awan putih yang pucat itu seakan menyambar ingatan  tentang apa yang telah dia katakan padaku terakhir kemarin. “Kau lebih cantik dari pada di foto.” “Kau lebih cantik.” “KAU LEBIH... CANTIK..” “KAU.... LEBIH.. CAN... TIK....” kalimat itu menghantui seluruh lubuk jiwaku.

“Hei, kau melamun?” dia membuyarkanku.

“Ah tidak, sepertinya aku lupa.”

“Ah kau ini suka lupa, sepertinya kemarin aku membahas foto profilmu.”

“Iyakah?”

“Ya, aku akan membahasnya lebih lanjut.”

“Ya, kau siap?” dia menatapku serius.

“Kau tak harus serius seperti itu, memangnya ada apa dengan foto profilku?”

Dia terdiam sejenak menambah sejuta kata tanya dalam jiwa.

“Tak bisakah kau berdandan wajar?”

“Wajar? Maksudnya?”

“Tak bisakah kau tak mengenakannya?” dia menatap ke arah jilbabku.

“Maksudmu jilbab? Kenapa?”

“Aku tak familiar dengan itu, sepertinya ketika kau melepasnya kau akan terlihat lebih cantik.”

“Kalau aku tak mau bagaimana?”

“Kau harus mau, karena aku menyukaimu.”

“Kau memaksa!” Aku terdiam begitupun dia.

“Apa kau tak menyukaiku? Sepertinya kau menyukaiku.”

“Darimana kau yakin aku menyukaimu?”

“Sikapmu, semua tingkahmu, kau tak bisa berbohong begitu saja.”

“Aku tak menyukaimu, maaf aku bahkan tak menyukai permintaan tak sopanmu itu.”

“Hei, aku hanya meminta kau melepaskannya mengapa kau marah?”

“Karena ini mahkotaku, meskipun belum seutuhnya sesuai aturannya.”

“Kau gadis yang tak praktis, bukankah lebih menyenangkan menggunakan dress mini dan tak akan gerah.”

“Gerah di dunia tak apa daripada gerah di neraka.”

“Kau mengenal surga dan neraka?”

“Ya, memangnya kau tidak?”

“Tidak, aku ateis.”

Aku terdiam tersedak seolah ada yang menahanku. Aku benar-benar marah dan kecewa. Aku harus bagaimana? Aku merasa sangat berdosa. Aku.. ah.. sial bahkan aku tak bisa berteriak.

“Sepertinya aku harus pergi, maaf.”

“Hei, kau tak bisa meninggalkanku begitu saja.”

“Maaf, kau bahkan tak bisa menghargaiku, jadi untuk apa aku menghargaimu?”

“Jadi seperti inikah akhirnya?”

“Ya.”

“Baiklah, menyesal aku menyukaimu.”

“Justru aku lebih menyesal membuang waktuku hanya untuk mencintai pria aneh sepertimu.” Kemudian aku berlari sambil menangis menjauhinya.

Hatiku hancur berkeping-keping bagaikan gelas yang pecah dihempaskan begitu saja. Aku butuh sandaran untuk berbagi pilu. Risma kau dimana? Aku masih menangis keras hingga aku bertemu seseorang yang berdiri di depanku.

“Kau kenapa?” tanpa pikir panjang siapa dia aku memeluknya. Dia tak bergerak, dia hanya diam dan berusaha menopang tubuhku. Tanpa sadar jaket yang dikenakannya basah karena air mataku. Sepertinya aku menangis cukup lama dan aku tersadar aku harus mengetahui siapa yang aku peluk saat ini. Sungguh kebiasaan buruk memeluk orang sembarangan, namun aku selalu lemah kalau menangis seperti ini. Perlahan aku lepaskan tubuhku darinya kemudian aku melihat sosoknya yang lebih tinggi dua jengkal dariku. Diriku tersentak dan kaget bercampur malu yang luar biasa. Dia menatapku bingung. Sepertinya aku memeluknya terlalu lama. Aku harus bagaimana? Langsung kabur atau meminta maaf terlebih dahulu. Untung saja tak ada yang melihat aku berpelukan dengannya di area kampus cukup lama. Bagaimana ini? Ku usap-usap mataku untuk meperjelas wajah orang itu. Dia jelas lelaki dengan tubuh atletis tinggi dan mengenakan jaket. Spontan aku teringat bahwa dia adalah... Faishal?

Dia masih terdiam menatapku yang kikuk dengan muka semerah jambu. Kemudian tangan kanannya dikeluarkan dari jaket dan mengahmpiri pipiku yang masih basah oleh air mata. Bodoh!! Bodoh sekali aku kenapa kau hanya diam saja tak menghalangi tangan itu menjelajahi pipiku. Dia tak mengucapkan sepatah kata apapun, dia hanya tersenyum. Sementara aku yang bodoh hanya berdiri kaku didepannya yang sibuk membersihkan air mata yang ada di pipiku.

“Maafkan aku, aku tak bermaksud.” Aku memberanikan diri.

“Tak apa, kau terlihat tidak baik saja, untung saja aku mampu menopang tubuhmu.”

“Maafkan aku, dan terimakasih.” Aku tersenyum.

“Lain kali pastikan dulu siapa orang yang kau peluk, jangan asal peluk orang.” Dia tersenyum padaku.

“Ah, iya aku harusnya lebih hati-hati.”

“Lihatlah mukamu merah sekali.” Dia mengusap kerudungku kemudian memasukkan kedua tangannya dalam jaket. Setelah itu dia berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih dalam keadaan syok berat.

 

Sepertinya aku merindu

Merindu sesuatu yang tak harus aku rindu

Sepertinya aku berharap

Berharap untuk sesuatu yang tak harusnya ku harap

Sampai akhirnya aku jatuh

Aku tersungkur

Pada sebuah busur

Pada sebuah kubur

Yang aku buat sendiri

                             Blitar, 22 Juli 2017

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Ce_Mal15

    Keren kak

    Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam
  • Vebby_thatha

    Wih keren

    Comment on chapter Kita Berbicara Melalui Awan
  • Vebby_thatha

    Wih ngena banget isinya.. pernah kayak gitu juga..

    Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam
  • afinreihana7

    love thisss!!

    Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam
Similar Tags
Bismillah.. Ta\'aruf
8      8     0     
Short Story
Hidup tanpa pacaran.. sepenggal kalimat yang menggetarkan nurani dan menyadarkan rasa yang terbelenggu dalam satu alasan cinta yang tidak pasti.. Ta\'aruf solusi yang dia tawarkan untuk menyatukan dua hati yang dimabuk sayang demi mewujudkan ikatan halal demi meraih surga-Nya.
Princess Harzel
198      108     0     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
ADA SU/SW-ARA
73      26     0     
Romance
Ada suara yang terdengar dari lubuknya Ada Swara....
Arini
19      11     0     
Romance
Arini, gadis biasa yang hanya merindukan sesosok yang bisa membuatnya melupakan kesalahannya dan mampu mengobati lukanya dimasa lalu yang menyakitkan cover pict by pinterest
In your eyes
148      92     0     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Renata Keyla
78      52     0     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Kala Saka Menyapa
213      93     0     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Dear Diary
3      3     0     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
Koma
278      114     0     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
High Quality Jomblo
409      70     0     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...