Harusnya, letak jalan tempatnya bertemu dengan Fahmi tadi tidak terlalu jauh dari tempat Fala menginap. Namun, nampaknya ia terlalu lambat berjalan sehingga ia baru sampai pukul setengah delapan. Ia telah terlambat tiga puluh menit. Dari kejauhan, tepat di depan dua orang wanita yang sedang melakukan pertunjukkan seni, Fala dapat mengenali Fahmi dari tempatnya berdiri. Lelaki itu masih nampak rupawan, hanya saja ia nampak lebih “hidup” dari terakhir kali Fala lihat.
I’ll always look back as I walk away
Memories will last for eternity
And all of our tears will be lost in the rain
When I found my way back to your arms again
But until that day, you know you are
The Queen of my heart
Fala mematung di tepatnya, mendadak tubuhnya bergetar. Dunia terasa melambat di sekitarnya, sementara gestur tubuh Fahmi menjadi fokus utama pandangannya. Sayup-sayup suara biola dan nyanyian wanita yang lembut dan hangat merasukinya. Entah bagaimana mata Fala mulai berkaca, lagu yang dibawakan terdengar sangat penuh pengharapan. Mendadak jantungnya sesak. Lagu ini adalah lagu Queen of my Heart karya Westlife. Fala ingat ayahnya dulu pernah menyetel lagu-lagu Westlife sampai ia bosan, tetapi ia tidak ingat jika dulu ia merasakan perasaan yang kini dirasakannya.
Masih mematung di tempatnya dan masih mengamati Fahmi, lelaki itu nampak memutarkan kepalanya, dan kini keduanya saling menatap satu sama lain. Untuk kedua kalinya dalam satu hari ini, Fala telah melahap dengan puas sorot mata Fahmi dan bentuk wajah lelaki yang sangat dirindukannya. Ya, ternyata dirinya masih merindukan lelaki itu.
Fahmi buru-buru berjalan maju ke arah penyanyi jalanan, meletakkan beberapa keping uang koin, kemudian berjalan ke arah Fala, “sudah makan?” tanya Fahmi sambil tersenyum manis. Fala memalingkan wajahnya sesaat, pura-pura lebih tertarik pada kerumunan orang yang sedang asik mendengarkan permainan biola yang sangat lihai.
“Tentu saja belum,” gumam Fala seolah sedang berbicara pada jalanan.
“Aku tahu tempat pembuat pasta yang nikmat, kamu mau ikut?” ajak Fahmi dengan nada suaranya yang hangat dan tenang. Fala melirik Fahmi sesaat, mengamati ekspresi ramah lelaki itu dengan tidak suka. Ia tidak suka melihat Fahmi yang banyak berubah, nampak lebih baik. Ia tidak ingin jatuh hati lagi pada lelaki itu.
“Oke,” gumam Fala, “Kau jalanlah dulu,” pintanya. Fahmi berjalan lebih dahulu, membiarkan Fala mengekorinya. Selama perjalanan keduanya saling diam tidak mengatakan apapun sampai tiba-tiba saja Fahmi membelokkan tubuhnya di sebuah bagunan tingkat-flat- yang kecil di dekat toko barang antik. Fala mengerutkan dahinya heran, tetapi memilih ikut juga. Perasaannya mulai tidak enak, setelah menyusuri lorong berkarpet di lantai satu, akhirnya Fahmi berhenti di depan sebuah pintu dan memutar kenop pintu yang tidak di kunci, pemandangan di balik pintu sukses membuat Fala terperangah tidak percaya.
***
Fala membuka bibirnya tidak percaya. Sungguh bibirnya terbuka lebar saat melihat sebuah foto di pigura raksasa menampilkan sepasang kekasih dibalut pakaian pernikahan tengah tersenyum mesra. Kedua orang itu amat sangat Fala kenali, “Fala? Kamu baik-baik saja?” tanya Fahmi kahwatir. Fala menatap Fahmi dingin.
“Baik-baik saja?” tanya Fala sinis dengan suaranya yang berbisik mendesis. Ditatapnya Fahmi dengan lirikan tajam yang tidak bersahabat.
“Fala, duduk dulu di kursi, sebentar lagi pastanya jadi.” Suara seorang wanita yang sangat ramah dan bersahabat terdengar dari arah dapur, diiringi suara peralatan dapur yang sedang beradu dengan lihai. Seorang lelaki yang nampak rupawan dan sangat tampan sedang duduk di salah satu kursi yang berada di ruang makan, sambil memangku seorang anak balita yang sedang asik memandangi Fala dan Fahmi yang perlahan memasuki flat.
“Fahmi! Bantu bawakan piringnya!!!” sebuah teriakan terdengar lagi. Fahmi buru-buru menarik Fala menuju meja makan, menarik salah satu kursi dan memaksa Fala untuk duduk di hadapan anak balita bermata bulat menggemaskan yang sedang dipangku ayahnya, kemudian berlari terbirit ke arah dapur. Kini hanya tersisa Fala dengan Lelaki yang memangku anaknya di meja makan. Fala tersenyum kaku merasa canggung.
“Rasanya sudah lama sekali tidak berjumpa ya?” sapa Lelaki itu basa-basi.
“Ya,” jawab Fala sambil tersenyum, “Siapa namanya?” tanya Fala basa-basi.
“Namanya Cana, Cana ayo beri salam pada tante Fala,” Lelaki itu meraih tangan Cana, kemudian menjulurkannya kepada Fala. Fala meraihnya dengan ragu.
“Berapa umurmu Cana?” tanya Fala berusaha memecahkan keheningan, yang tentu saja dibalasi Cana dengan jawaban ah-uh ala balita.
“Baru tiga tahun,” beritahu Lelaki itu dengan suara yang dibuat seimut mungkin. Tepat saat itu, seorang wanita yang sangat manis dan cantik muncul dengan celemek melekat sempurna di tubuhnya, sementara tangannya penuh membawa piring. Tak jauh di belakangnya, Fahmi mengekor.
“Ini untuk mu Fal, coba cicipi. Kata Fahmi dan Randu, sphagetti- ku yang paling enak,” ucap wanita itu. Fala tersenyum masam, membiarkan wanita itu menaruh sebuah piring kramik putih tulang dengan tumpukkan sphagetti dan ball yang ditata rapi di tengah piring, dihiasi saus tomat berwarna merah segar, yang dituangkan dengan memperhatikan estetika sehingga nampak cantik. Melihatnya saja sudah membuat Fala kelaparan.
“Makasih ya Ri,” gumam Fala kepada Riana-wanita yang barusan memberikan piring spaghetti padanya-. Fala tersenyum ironi, saat ini bukannya sedang menikmati makan malam-ehm, romantis-disebuah restoran Italia, Fala malah mendapati dirinya terjebak di flat musuhnya- yang dengan sukses telah merebut Fahmi darinya- lalu menyantap makan malam buatan musuhnya, dan yang tidak kalah lucu adalah, ia akan menghabiskan waktunya berempat-dengan sepasang suami istri, dan mungkin bisa dihitung berlima jika Cana termasuk-. Betapa indah harinya!
Kencan! HAH! Untung saja ia tidak bodoh dengan memilih dress bermotif bunga yang manis! Bisa-bisa ia merasa bodoh sendirian. Fala, sekarang kamu sendang nenyatap makan malam bersama mantanmu dan wanita yang dulunya sudah merebut pacarmu. Lucu sekali. Siapa yang mau menghadapi situasi seperti ini kalau bukan dirimu? Ejek Fala pada dirinya sendiri.
Nampaknya Fala melamun sedari tadi, sampai tidak menyadari jika piring sudah ditata rapih di atas meja, untuk lima orang-Cana ikut dihitung, meski porsinya lebih mungil-dan kini Randu sedang memimpin doa makan. Setelah selesai, semuanya memulai makan malam. Mau tidak mau, Fala ikut mengambil garpu dan sendok, lalu mulai menggulung pasta dengan sendok dan melahapnya. Jika lidahnya bisa menjerit, bisa jadi sekarang lidahnya sedang menjerit sambil menari-nari kegirangan.
Perpaduan gurih, asam, manis dan sedikit pedas karena merica dan lada hitam membuat sausnya terasa sangat sesuai dengan kenyalnya pasta dan gurihnya Ball. “Bagaimana? Enak?” tanya Riana, nampak penasaran dan penuh harap. Mau tidak mau Fala mengangguk. Bahkan di wajah penasaran Riana yang manis, ada Iblis di baliknya. Teringat peristiwa sembilan tahun lalu saat Fahmi tidak pernah kembali padanya, lebih memilih meninggalkannya dan merayu Riana. Sayangnya wanita itu menerima semua rayuan Fahmi sehingga keduanya menjadi sepasang kekasih padahal masih ada Fala yang digantungkan seperti gantungan kunci yang sudah rusak. Tidak diingat, hanya tergeletak begitu saja. Walau begitu, entah mengapa Fala tetap sangat mencintai Fahmi. Tergila-gila malah. Sampai pada akhirnya, situasi penuh ketidak pastian itu berhakhir. Fahmi memutuskannya, setelah lelaki itu putus dengan Riana. Waktu itu Fahmi berjanji akan kembali pada Fala saat kepribadiaannya sudah benar, dan entah mengapa Fala masih sempat percaya dan berharap bahwa Fahmi akan segera datang. Bahkan harapannya tidak jua menghilang sampai saat ini.
Ironis sekali, orang bodoh mana yang akan terus menunggu sampai sembilan tahun? Pasti dirinya sudah gila! Namun meski logikanya terus meruntuk. Melupakan, mengikhaskan dan melepaskan Fahmi tidaklah semudah itu. Nyatanya ia masih menunggu lelaki itu. Entah mengapa.
Kini, semua orang yang dikenalnya sudah memiliki sebuah kehidupan baru yang indah. Randu dan Riana yang kini ditambah seorang gadis manis bernama Cana, atau yang akan segera menyusul, Amron dan Anissa. Mendadak ia teringat percakapan antara dirinya dan Anissa saat keduanya sedang memasak untuk sarapan. “Kamu harus mulai cari gandengan Fal, kamu udah umur 29 tahun, mau tunggu umur berapa?!”
Sambil mengunyah Ball, Fala tersadar. Anissa benar. Ia harus mulai mencari. Ia harus mulai menyerah atas Fahmi, meski nyatanya lelaki itu telah hadir di hadapannya, Fala tidak bisa percaya bahwa lelaki itu telah berubah.
***
Malam sudah semakin larut saat Fahmi dan Fala menyusuri jalanan kota Roma yang tidak pernah sepi, keduanya nampak sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai tiba-tiba Fahmi memecahkan keheningan. “Kamu masih marah padaku,” tebaknya, yang sebenarnya benar. Fala memilih tidak membantah, jelas ia masih sangat marah pada Fahmi. Namun apa bagusnya juga memberitahu lelaki itu?
“Sampai kapan?” Fala masih berjalan dalam diam, mendahului Fahmi yang berdiri di tempatnya. Pergelangan tangannya di cekal, membuat langkah Fala terhenti sesaat. “Sampai kapan kamu marah padaku?” tanyanya. Fala memutar tubuhnya, menatap mata Fahmi lekat, tepat di matanya.
“Sampai kapan?” ulang Fala. Ia tersenyum sinis. Ia bahkan tidak tahu jawabannya. “Memangnya dengan membawaku menemui “mantan pacarmu sekaligus mantan musuhku” itu mampu membuatku memaafkanmu?” tanya Fala sinis.
“Jangan sebut Riana seperti itu,” tegur Fahmi lembut dan tegas. Fala mendengus kecewa. “Jangan sebut Riana seperti itu” katanya!
“Lalu bagaimana aku harus menyebutnya?!” tanya Fala dengan suaranya yang meninggi. Ditunggunya Fahmi yang diam seolah sedang berpikir untuk memberi jawaban. Hatinya yang sudah terluka, kini semakin terluka saat mendengar jawaban Fahmi.
“Penyelamat hidupku,” gumam Fahmi. Meski terluka, Fala tidak bisa mencegah dahinya berkerut dalam. Ia tidak mengerti. Apa isi otak Fahmi sudah tidak berjalan sesuai tugasnya atau bagaimana? Namun kemudian Fala bungkam saat diingatnya peristiwa sembilan tahun yang lalu, saat tiba-tiba saja Fahmi datang kerumahnya, lalu memeluknya erat sambil menangis tersedu-padahal saat itu Fahmi sedang berselingkuh dengan Riana-. Sudah berkali-kali Fahmi melakukan hal serupa, tetapi lelaki itu tidak pernah membiarkan Fala mengetahui alasannya. Kini Fahmi menyatakan sebuah fakta, jika Riana adalah penyelamat hidupnya. Bagaimana bisa Fala berupaya melakukan hal –yang entah apa-Riana lakukan jika Fahmi tidak pernah bercerita padanya? Hati Fala mencelos saat menyadari alasannya. Fala, ternyata kamu tidak seberarti itu bagi Fahmi. Bisik hatinya kecewa.
“Oh, kamu lebih memilih membiarkannya masuk dalam hidupmu daripada aku,” tebak Fala. “baguslah, kulihat kamu juga berubah. Tetapi, tidak akan ada yang tahu jika seekor serigala yang sudah berbulu domba sejatinya tetap seekor serigala, ya kan? Tidak akan ada yang tahu juga jika seorang “malaikat” ternyata bisa merontokkan sayap palsunya, dan ternyata wujud aslinya adalah iblis!”
“Malaikat menjadi iblis?” ulang Fahmi heran.
“Riana,” jawab Fala.
“Sepertinya aku sangat melukaimu, sudah sembilan tahun berlalu dan kamu masih bersikap seolah kamu sangat terluka,” gumam Fahmi membuat Fala terperangah. Ia mematung di tempatnya, matanya berkilat penuh amarah menatap Fahmi lekat. Ia mendengus kecil, melepaskan cekalan tangan Fahmi yang melemah, kemudian melangkah kembali. Sementara satu-dua tetes air mata mulai menyeruak dari matanya.
“Fal, maafkan aku. Aku memang sangat jahat pada masa itu. Aku selalu meninggalkanmu, berusaha mencari wanita terbaik yang tepat di dalam hidupku, tetapi apa yang kulakukan percuma. Sebab, wanita yang selama ini kucari adalah kamu.” Langkah Fala terhenti. Ucapan Fahmi tidak pernah ia duga. Ia tidak pernah menyangka orang seperti Fahmi memiliki rasa padanya. Yah, siapa juga yang akan menyangka? Apalagi jika dirinya selalu dicampakkan?! Sudah dua kali Fala digantungkan tanpa kepastian. Ia tidak ingin mengalami yang ketiga.
“Kamu tahu,” Fala memutar tubuhnya, membiarkan matanya bertemu dengan sepasang mata milik Fahmi sekali lagi. Bertemu di tengah kelipan lampu kota Roma, di antara suara bising kendaraan bermotor, diantara pejalan kaki yang sedang menikmati suasana malam. “Bagaimana aku bisa mempercayai ucapanmu? Semuanya terlalu sulit untukku percaya, setelah berkali-kali kerpercayaanku disia-siakan.”
Fahmi mengerutkan dahinya, wajahnya nampak begitu terluka dan menyesal.
“Kamu pernah mendengar teka-teki ini : Apakah yang lahir setiap senja? namun mati ketika fajar menyingsing?” tanya Fala, menanyakan teka-teki yang ia kutip dari sebuah dongeng Inggris yang melandasi sebuah lagu okestra berjudul Nessun Dorma. Fahmi menatap lekat Fala, memilih diam dan memperhatikan seolah meminta Fala menjawab teka-tekinya sendiri. Fala tersenyum sendu, menatap langit malam, kemudian kembali menatap Fahmi, sementara air mata yang semulanya telah mengering, kini mengalir kembali tanpa bisa dicegahnya.
“Harapan,” bisik Fala sementara suaranya memecah di akhir kata. Fala dapat melihat Fahmi tercenung, matanya berkilat sendu, nampak tengah menatap Fala dengan pedih. Namun Fala tidak peduli, ia memilih untuk terus meneruskan, “Harapanku untuk kembali bersamamu, selalu muncul di malam hari, tercetak indah di mimpi dan anganku, tetapi selalu sirna di pagi hari, dihapus cahaya mentari esok dan kenyataan. Aku terus menjalani hari seperti itu, sampai aku merasa lelah sendiri. Lelah untuk berharap lagi dan akhirnya tetap terbangun dengan kenyataan pahit. Kumohon, jangan kembali lagi, jangan memintaku untuk kembali, setelah aku berani menatap mentari lagi. Jika pada akhirnya kamu akan pergi setelah memberikan harapan kembali.” bisik Fala lemah.
“Fal, jika kamu memang jawaban atas doa-doaku, jika kamu memang takdirku, aku yakin, entah bagaimana nantinya, kamu akan kembali padaku. Kamu akan menjadi milikku,” Fahmi meraih tangan Fala, mengusapnya lembut, sebelum mengecupnya. Sementara kalimat Fahmi sempat membuat Fala tercenung lama. Mendadak ia merasa dejavu, ia pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Hanya bedanya, dulu dirinya yang sedang menangis terluka, menyerukan kata serupa kepada Fahmi, menatap lekat mata hitam legamnya yang menatapnya balik tanpa rasa. Cintanya saat itu jelas-jelas bertepuk sebelah tangan.
“Fahmi, kalau kamu memang jodoh aku, kalau kamu memang jawaban dari doa-doa sedihku ke Tuhan, kamu pasti bakal tetap di sampingku,” Kalimat itu berputar lagi dalam benaknya, membuat jantungnya terasa teremas. Rasa sakitnya ternyata masih terasa begitu nyata dan erat. Seolah sudah berkali-kali ia mengalami rasa sakit itu. Fala menarik tangannya kasar, menatap Fahmi nanar, ia tidak ingin percaya apa yang dikatakan Fahmi. Ia sudah lelah. Ia tidak ingin kecewa lagi.
“Fala?” mendadak tubuhnya menegang saat sebuah suara lain tengah memanggilnya. Fala menatap kejauhan, tepatnya menatap ke arah seorang pria berparas serupa dewa yunani yang berdiri tidak jauh darinya. Tubuh yang sama tingginya dengan Fahmi berjalan terburu-buru ke arah Fala, kemudian merangkul tubuh Fala dan mendorong tubuh Fahmi menjauh.
“Maaf, tolong jangan ganggu pacar saya,” gumam Marcos sukses membuat mata Fahmi dan Fala terbelalak bersama. Fala menaikkan pandangannya, mendapati rahang bawah Marcos yang mulus dan kokoh, mata lelaki itu tengah menatap Fahmi lekat, seolah tidak main-main.
“Pacar?” tanya Fahmi sambil menatap Fala. Fala menatap Fahmi dengan senyum miring.
“Kenapa? Kenapa tingkahmu seolah kamu dikhianati begitu? Aku tidak pernah berkata bahwa aku masih single,” ejek Fala dengan tenang. Berusaha mengimbangi kebohongan yang dibuat oleh Marcos.
“Tapi, aku dengar kamu masih sendiri?” tanya Fahmi heran. Fala mendengus geli.
“Siapapun yang berkata padamu, pasti salah besar,” sindir Fala. Gadis itu merengkuh pinggang Marcos, kemudian mendongak. Ia dapat melihat kilatan terkejut di mata biru laut Marcos yang kini tengah menatapnya balik. “Ayo Marcos kita pergi,” lalu Fala segera menyusuri sisa langkah menuju apartemen bersama Marcos. Sebagai catatan, apartemen yang ditinggali Fala adalah milik Marcos, bukan kamar apartemen milik Marcos, tetapi lelaki itu punya satu buah bangunan apartemen berlantai sepuluh di Roma, dan lokasinya berada di dekat bandara. Jadi jangan terkejut dengan kemewahan yang disuguhkannya di restoran dan mungkin di beberapa peristiwa selanjutnya.
Begitu memasuki apartemen dan berjalan ke lift, Fala melepas pelukannya dan menekan lantai empat. Perlahan Marcos melepas rangkulannya, dan suasana menjadi sangat hening bagi Fala.
“Siapa dia?” tanya Marcos.
Tanpa melirik Marcos, Fala menjawab, “Mantan,” gumam Fala.
“Bagaimana dia bisa di Italia?” tanya Marcos kembali. Fala menggeleng lemah. Ia juga tidak tahu.
Ting! Lift berbunyi, pertanda bahwa mereka telah berada di lantai empat. Fala keluar bersama-sama dengan Marcos begitu pintu lift terbuka. Dilewati lorong lantai empat dengan langkah gontai, begitu dirinya sampai di depan pintu kamarnya, tiba-tiba Marcos menahan pergelangan tangan kirinya. Fala melirik sekilas tangan kirinya, kemudian ia menatap Marcos lekat.
Marcos nampak menelan ludahnya dengan susah payah. Entah mengapa Fala merasa jika lelaki itu sedang gugup. Suasana menjadi agak canggung, tetapi entah mengapa Fala menikmatinya. Namun ia tidak tega dengan Marcos yang nampak menjadi pucat dan sangat gugup. “Terimakasih,” ucap Fala berusaha menyelamatkan suasana.
“Untuk?” tanya Marcos heran, dahinya berkerut dalam.
“Sudah menolongku tadi,” bisik Fala, lalu tiba-tiba air matanya mengalir kembali. Tanpa bisa ia cegah. Fala buru-buru mengusap air matanya menggunakan tangan kanan, tetapi sialnya air matanya tidak kunjung berhenti. Lalu tanpa diduganya, tiba-tiba saja Marcos memeluknya, mengusap lembut punggungnya, sementara ia bisa merasakan dagu Marcos bersandar di puncak kepalanya.
“Lupakan lelaki itu dan cobalah mempertimbangkanku.”
Keren kak
Comment on chapter Aku Mencintaimu dalam Diam