Read More >>"> School, Love, and Friends (Namanya Kok, Kayak Orang Jepang ya?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - School, Love, and Friends
MENU
About Us  

Namanya Kok, Kayak Orang Jepang ya?

 

Meratapi sebuah kenyatan di usia remaja memang hal yang biasa. Mereka cenderung lebih memikirkan masalah ketimbang solusi. Lagipula untuk apa diratapi, jalani saja tanpa memikirkan yang berlebihan. Tapi ada juga yang menanggapinya dengan serius, seperti gadis berambut lurus setulang belikat ini. Siapapun mendengar curhatan hatinya pasti disangka ia baperan. Hmmm, komentar sendiri saja, deh!

“Huh..? Nasib gue kayak gini amat ya? Erlya… Erlya…?!” keluhnya dalam hati. Sejenak ia merapihkan bandana yang salalu menempel di kepala. Tampaknya sudah terlalu bosan dengan hari-hari yang dijalani. Baru dua minggu back to school, ia mengeluh. Ingin keluar rasanya. Tapi mau berapa kali harus pindah sekolah? Tak terhitung dengan jari? Parah. Ya ya ya harapan satu-satunya saat ini adalah tetap bertahan di sekolahnya yang sekarang ini ia tengah menimba ilmu. Waktu terhitung satu tahun lagi lulus SMP, itu pun kalau lulus. Lingkungan sekolah-lah yang bikin dia enek. Atau memang yang sudah disebutkan tadi yaitu baperan plus bermental cemen. Entahlah!

Sebagai pelampiasan hari ini dan mewakili hari-hari sebelumnya, ia selalu nongkrong di Café IN, Jakarta. Kerjaan memesan minuman moccacino dan mengaduk-aduknya sambil pikiran menerawang jauh entah kemana. Lebih tepatnya melamun lalu meratapi. Dalam benak ia merasa dirinya gadis kurang beruntung.

Seketika tangannya terhenti. Menatap jijik pada orang yang ada di depan mata. Mungkin orang itu yang kurang beruntung, menikmati makanan dengan rakus! Perutnya jadi mulas melihat hal itu. Ia tak mau muntah. Lantas ia mencari meja baru. Tengah membalikkan badan. BRUKK!

“Aoow!” teriak Erlya terhuyung akibat menyenggol cowok berseragam putih abu-abu. Sial! Ia semakin ingin muntah, kenapa seperti ada di adegan Sinetron?

Setelah menyeimbangkan tubuh, ia berujar dengan nada cetus dan hanya memperdulikan minumannya yang hampir tumpah, “Sorry ya….!”

It’s ok. Aku juga minta maaf ya?” jawab cowok itu.

Rasanya Erlya ingin cepat-cepat menyudahi kejadian ini. Malu di lihat orang. Di pikir, tak ada salahnya minta maaf sekali lagi. Lekas ia mendongak kepala, menjaga sopan santun.

“Gue minta ?”.

Mulut tak bisa menutup. Ternganga.

“Kamu??” sontak mereka lalu menahan tawa.

Seperti baru teringat sesuatu, cowok itu tergelagap melihat ke depan mata.

“Aduh…sudah ada yang menempatin!” katanya pelan.

Melihat hal itu, Erlya menghela napas melihatnya. Ternyata cowok di depannya itu sedang mencari tempat. Jelas lah! Apa yang harus ia lakukan?! Mengurungkan niat untuk pindah ke lain meja. Dan mempersilakannya duduk satu meja. Benar-benar tak menyadari bahwa pengunjung Café sepenuh ini.

Duduk berdua dalam satu meja? Ia tentu tidak boleh terpesona dengan ketampanan cowok tersebut, tak ada daya tarik dilakukan olehnya kecuali pura-pura terima obrolan karena kulit hitam manis tidak banyak dilirik termasuk dia. Perlu diakui bahwa ia pernah bertemu dengan cowok itu sebelumnya. Lebih tepatnya saat buku mereka saling tertukar di toko buku. Masih ingat dalam benaknya, waktu kejadian ketika liburan kenaikan kelas hampir usai. Sekitar dua minggu yang lalu. Dan sekarang malah bertemu lagi? Sebenarnya tak jadi masalah duduk satu meja dengan cowok itu? Tapi parasnya yang tampanlah, membuatnya risih! Takut ke-eg-ran, itu saja.

“Kenapa waktu itu kamu buru-buru pergi?” tanya cowok itu diakhiri senyum.

Tak berubah, masih saja menggunakan bahasa yang baku.

“Ehmm… soalnya aku mau pergi ke les private bahasa Inggris, gurunya sudah menunggu di rumah.”

“O…? Padahal aku ingin memberikan buku itu…untukmu saja.”

“Enggak usah repot-repot,” ujar Erlya terlontar begitu saja.

Yang ia tahu 100% buku cowok itu, buku komik. Gawat, kalau sampai menerima pemberiannya! Bisa-bisa Papahnya marah besar! Maklum saja…. Erlya dilarang keras membaca buku komik oleh Sang Papa.

“Sekali lagi, Sorry ya….gara-gara aku buku kita ketuker.” timpal Erlya sambil membetulkan bandananya.

“Lho…? Bukannya itu salahku, ya?”

Kenapa cowok itu menyangkal? Tinggal bilang ‘ya’!  pasti beres. Alangkah baiknya, Erlya tak usah mengungkitnya kembali.

Akhirnya ia bisa membuang rasa jijik sama orang yang rakus tadi. Secara, cowok itu menutupi pandangannya. Menyeruput moccacino jadi nikmat.

Tak berselang lama, salah seorang pelayan wanita, menghampiri mereka. “Mau pesan apa, Cheese? Seperti biasa nih… Moccacino?”

Binggo!” jawabnya.

Moccacino? Erlya spontan mengerutkan jidat. Bisa-bisanya dia memesan yang sama. Hatinya keberatan. Apa tak ada minuman lagi untuk dipesan? Masih ada Cappucino, Vanilalate dan minuman lainnya. Masa harus sama? Pikirnya.

“Hi Cake.lama enggak ketemu?” sahut Sang Pelayan tersebut.

“Hah! O…iya ..ya jadi kangen!” Erlya senyum kaku.

“Oya Mbak. Kuenya lain kali saja ya.” potong cowok itu.

“O….gitu? Ya sudah enggak apa-apa. Tunggu ya, nanti pesanannya segera diantar. Permisi!” kata Pelayan Wanita, lalu pergi.

Setiap pelanggan setia di Café IN. Pasti, mendapat nama julukan. Seperti mereka itu. Sayang, kemarin-kemarin mereka belum tahu.

Cake? Lucu. Kalau nama kita di gabungkan ‘cheesecake’. Pas.”

“Pas apa! PASrah ngomong enggak penting?!” seru Erlya dalam hati.

Sorry ganggu! Ini pesanannya, Cheese?” potong Pelayan datang lagi.

Thanks ya?!”

Cheese sebutan cowok itu mengalih pembicaraan. Ia bertanya, “Cake, kalau tidak salah namamu.? Aduh siapa ya? Sebentar. Biar aku ingat-ingat.”

“Ingat-ingat? Percuma kali, kita kan belum saling kenal?” tutur Erlya sedikt ketus.

“Benarkah?”

Erlya menggangguk. Tampak cowok itu mengerutkan jidat, berpikir sejenak.

“Oh ya, Benar juga! Kita memang belum berkenalan. Ya..sudah aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Matsumoto Tokiwa. Panggil saja aku Toki. Aku senang berkenalan denganmu,” sahutnya mengulurkan tangan. Dan direspon baik oleh Erlya.

“Nama gue... Erlya Nogoro. Panggilan akrab, Erlya. Guuue...aku juga seneng kenalan sama kamu!” ujar Erlya. “Kayaknya gak pantes panggil kamu kamu kamu, gak sopan. Boleh panggil Kak?” lanjutnya menanyakan sambil melepaskan tangannya.

“Cukup Toki,”

“Tapi kan, situ anak SMA. Lha, aku? Masih SMP,”

“Oya?”

“Ya. Perawakanku saja yang bongsor,”

“Apa itu bongsor?”

Erlya menggaruk kepala, definisi semacam begini agak telmi untuk dijelaskan.

“Bongsor itu seseorang yang punya tinggi badan yang bukan ukuran seusianya,” ia menjawab sekenanya saja.

“Oh,” Toki mengangguk paham.

 “Kak Toki, kok namanya kayak orang Jepang ya?”

“Habis susah sih, mau dinamakan nama orang Indonesia. Mau dinamakan Tokirman, kurang pas dengan wajah.”

“Berarti Kakak orang Jepang?”

“Mmm, dijawab tidak ya?”

“Gak usah dijawab juga gak pa-pa. Tapi jawab SMA mana ya?”

“SMA yang sangat jauh dari sini,”

Bertele-tele. Lekas Erlya melihat dari lambang sekolahnya saja. Setelah dilihat matanya terbelalak.

“Kak Toki, sekolah di SMA terfavorit se-DKI Jakarta ya? Hebat...”

“Bukan favorit, melainkan SMA yang jauh dari sini,”

Ia paham mengapa jawabannya demikian, yakni tak ingin menonjolkan kecerdasannya. Tetap rendah hati. Begitu mengetahui asal sekolah cowok yang dipanggilnya Kak Toki ini ia langsung seperti mendapat angin segar.

“Waah…! Kak Toki siswa SMA favorit di Jakarta ini?! Hebat banget?!” sahutnya, nada kejudesannya pudar, sampai-sampai terlihat sumringah, “Pasti Kak Toki tergolong anak yang pinter, cerdas, and jenius?” Erlya tak bosan memujinya.

“Ah…tidak juga.” tukasnya, “Erlya, kalau sudah lulus SMP nanti, mau masuk SMA ‘yang katanya tadi ‘favorit’ itu?”

“Yalah!”

“Mudah saja, cukup niat, dan rajin belajar.”

“Dan juga berdoa, karena itu hal penting dari segalanya,” tuturnya, lalu ia melanjutkan, “Tapi, apa mungkin aku bisa ya?”

“Mengapa pakai tapi, harus bisa!”

“Gimana ceritainnya ya, rangking kelas saja belum pernah,”

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” tukasnya, “Kalau mau, aku akan memberitahu trik masuk SMA-ku ini, tapi harus janji bahwa yakin bisa masuk!”

Bagaimana ya, Erlya kurang yakin. Pasalnya, bersekolah sempat berpindah-pindah, mata pelajaran pun jadi terhambat masuk ke otak, jadi banyak tertinggalnya. Ia belum bisa menceritakan hal ini pada Toki.

“Dan satu lagi, jika ingin sukses dalam belajar jangan pacaran. Jangan mengenal seseorang secara intens alias teman tapi mesra. Karena itu akan menganggu, sangat.”

“Hah, untungnya aku belum mengenal tentang cinta-cintaan,”

“Bagus itu. Asal tahu saja bahwa di Jepang memberlakukan larangan pacaran kepada siswa-siswinya, tidak heran negara matahari tersebut generasi mudanya dapat mencapai kesuksesan belajar.”

“Jepang? Namanya berbaur Jepang, Kak Toki orang Jepang, ya?” tanya Erlya pelan.

Tak dijawab hanya membalas dengan senyum.

“Jadi, mulai go action untuk meraih mimpi masuk SMA-ku itu kapan?” tanya Toki mengalih pembicaraan.

“Nanti malam, aku siap belajar.”

“Nanti? Jika bisa sekarang mengapa menunggu nanti?” timpalnya terperanjat bangun kemudian melangkah menuju kasir. Mau tidak mau, Erlya pun mengekor.

Di tempat kasir. Erlya justru terpaku karena ternyata pesanannya dibayarkan.

 “Ini merasa ganti rugi, ya? Kan, minumannya gak tumpah pas tabrakan tadi?!” ujar Erlya.

“Tidak sama sekali ini sebagai ganti rugi. Justru aku bayar pesananmu karena pesanan kita sama. Tidak ada salahnya kan, kalau aku bayar pesananmu? Tolong simpan uangmu.”

“Tapi?”

“Ini Mbak uangnya.” sahut Toki tanpa basa-basi menyodorkan uang kepada kasir dengan uang pas.

Di samping itu, apa boleh buat Erlya tak bisa apa-apa kecuali berterima kasih. Berharap juga tidak sampai kepincut atas kebaikannya barusan. Ia harap begitu.

Selang beberapa menit, terasa canggung saat berada di pelataran Café IN. Berdiri memaku. Entah! Apa yang harus ia lakukan?

“Erlya. Kemana arah pulangmu?” tanya Toki.

“Kenapa emang? Mau dibayarin juga ongkos pulangnya?”

Spontan Toki senyum tergelitik.

Apa salah ucap, ya? Batin Erlya.

“Boleh, boleh...aku bayarkan,”

“Eh, gak usah,” sergah Erlya, lekas ia menyergah kembali, “Lagian, aku gak mau pulang dulu,”

“Mau kemana?”

Pertanyaan tersebut membuat Erlya tergelagap, lantaran jauh di lubuk hatinya belum ingin pulang, entah kemana...ia pun tak tahu. Toh, masih ingin bersamanya pula, sebab berteman seperti ini sangat unik. Tapi alasan yang satu ini tidak mungkin ia mengatakan sejujurnya, kan? Harga diri lebih jauh ia selamatkan.

“Aku pulang duluan, ya? Kan katanya, belajar gak boleh nunggu nanti-nanti?” ia undur diri.

“Tunggu,” sahut Toki pelan.

Erlya pun memberhentikan langkah, lantas membalikkan badan.

“Besok, jika ada waktu aku siap berbagi ilmu,”

Tanda ok dari jari jemari Erlya diiringi senyuman manis.

*

Keesokkan hari, hampir empat puluh lima menit menunggu Toki di Café IN belum ada tanda-tanda kemunculannya. Menunggu sambil menyeruput secangkir moccacino  hampir tak tersisa ini membuatnya sedikit gelisah. Hingga akhirnya ia menyapu pandangan sekitar, tetap tak ada. Kembali ia menjatuhkan pandangan pada secangkir moccacino, kini beralih untuk mengaduknya dengan sendok kecil di samping. Cukup lumayan lama mengaduk tampak seperti pusaran. Entah, seolah ia ikut terhisap oleh pusaran itu. Memori otaknya memutar, merangkai ingatannya yang mana saat ia berjumpa dengan cowok itu. Pertama kali.

*

Tepat dua minggu yang lalu. Di toko buku OZO Jakarta. Saat itu toko buku tersebut tengah dipadati pengunjung. Maklum saja, hari itu masih masa liburan kenaikan kelas. Di sudut tempat, Erlya sedang sibuk memilih-milih buku fiksi.

“Erlya, sudah belum buku yang mau dibeli?” tanya Pak Alfin, Sang Papa sembari membetulkan kacamata minusnya. Lalu beliau melanjutkan, “Ingat, jangan...”

“Jangan membeli majalah atau ko-mik,” sergah Erlya, “Beres, Pah! Tenang kok, Erlya cuma mau beli buku novel aja.” lanjutnya.

“Berapa buku?”

“Lima, hehehe...”

“Gak masalah kalau itu memang inspiratif, ini uangnya.” sahut Sang Papa lantas menyodorkan uang, “Nanti ke kasir sendiri saja ya,”

“Yah...?” loyonya sembari menerima uang.

“Lho, Erlya kan sudah kelas 9? Harus berani, dong.”

“Kelas 9 nya juga belum memasuki hari pertama, Pah?”

“Tapi kan, jelasnya kelas 9,” timpalnya, “Ya sudah, mau gak mau harus ke kasir sendiri tanpa ditemani Papah, ya. Dan uang yang Papah kasih masih ada kembalian, buat Erlya saja. Papah duluan saja ya, tunggu di parkiran...” imbuhnya lekas beranjak.

Tak bisa dielak, Erlya pun terpaksa ke kasir sendirian. Sesampainya di sana, kedua bola mata seketika terbelalak begitu mendapati panjangnya antrian. Dalam antriannya tersebut, terlihat seorang cowok bertubuh tinggi persis berdiri membelakangi. Sekian lama, akhirnya cowok di depannya tersebut tengah dilayani, sebentar lagi giliran Erlya. Ternyata menunggu antrian meski satu langkah lagi tetap jenuh, ia pun berinisiatif merobek plastik pembungkus buku, kemudian merogoh saku celana, diambilnya pulpen lalu menuliskan nama Erlya di tiap lembar pertama.

“Totalnya 183.000 rupiah,” terdengar kalimat demikian dari mulut Nona Kasir.

Arah kedua mata Erlya sesekali memperhatikan mereka berdua, terlihat pula cowok itu dengan cekatan membetulkan tali sepatu sesaat setelah membayar. Ketika tubuhnya membungkuk sedangkan jemarinya menari dengan tali untuk membentuk sebuah pita lalu dimasukkan ke dalam, seketika itu pula Nona Kasir menyahut, “Permisi, ini bukunya sudah dijumlah beserta uang kembaliannya,”

“Baik, taruh di sana saja, terima kasih.”

Sementara Erlya tidak ingin berlama-lama, cukup tak perlu memperhatikan cowok itu lagi, ia pun menyergah, “Mbak, kalau gitu langsung giliranku aja, ya.”

“Silakan,”

“Ini bukunya, ini uangnya juga,” ia menyodorkan kelima buku, beserta uang, plus plastik pembungkus buku yang telah ia robek.

Dan tak perlu lama, Erlya mendapati sang kasir menyelesaikan tugasnya. Tepat, buku pesanannya telah dimasukkan ke dalam kantung plastik beserta uang kembalian, begitu ia mengambil SHUUUUUT...secara bersamaan cowok di depannya berdiri. Spontan tubuh Erlya terhuyung ke belakang. Belum cukup sampai di situ, ia dikejutkan dengan langkah kaki cowok tersebut yang tak sengaja menginjak kakinya.

“Aaargh..”

Sigap cowok itu membalikkan badan.

“Oh, maaf maaf...” sahutnya.

“Gak pa-pa..! Gak pa-pa...!”

“Kakimu sakit?”

“Gak, cuma kaget. Permisi..” Erlya sejurus mengambil belanjaannya lalu pergi. Malu jika meladeninya, malu pada antrian di belakang. Sesampainya di eskalator ia dapat menarik napas lega. Dan bila ia tengok ke belakang, ia tidak mendapati cowok tadi. Kembali menoleh ke depan, kini saatnya menuju tempat parkir. Tepat di pintu masuk tak ada seseorang yang ia temukan. Dari pelataran toko buku, bola matanya menyapu pandangan ke area parkir di depan. Sayang, belum juga ia temukan. Begitu menjatuhkan pandangan ke samping kiri, ekor matanya menangkap cowok tadi tengah berdiri sambil mengotak-atik handphone.

“Lagi nunggu orang, ya?” tanya Erlya menghampiri.

“Ya, begitulah.” sahut cowok itu menoleh ke arahnya, lalu memasukkan handphone ke dalam saku celana. Kemudian berujar kembali, “Saya diminta menunggu di sini. Tapi sepertinya saya akan lama di sini, karena dia sedang perjalanan menuju kemari. Kamu bagaimana? Menunggu juga?”

Erlya tersentak! Baru menyadari ternyata ia menggunakan bahasa Indonesia sangat baku. Busyet bahasanya? Apa dia turis? Wajahnya chinese. Ah, jangan-jangan dia memang orang china yang bermukim di Jakarta. Paling-paling keluarganya membuka usaha toko. Ah, memang gue pikirin! Erlya membatin.

“Sebenernya gue...eh... aku gak nunggu orang. Cuma Papah yang nunggu aku di parikiran,” jawabnya. “Tapi kok, kayaknya gak ada dilihat sekeliling? Katanya mau nunggu di parkiran mobil, mana coba? Gak ada?” lanjutnya clingak-clinguk.

“Kalau begitu, berarti sama.”

“Ya, sama-sama menderita,”

“Lho kok, menderita? Menunggu hal yang mudah, kan?”

Maksudnya menderita kalau lama menunggu. Batin Erlya.

“Bener juga sih, hal yang mudah. Apalagi nunggu pacar? Hehehe...ciieee pacar..”

Cowok itu tersenyum sungging, “Bukan menunggu sang pacar, melainkan menunggu Kakak,”

“Ooops...oh gitu ya...” Erlya menggaruk kepala.

Semenit kemudian, terdengar nada dering di handphone, bukan milik Erlya. Tampak cowok itu bergegas mengambil hp dari saku. Sementara ia masih sibuk melihat ke sana kemari. seketika matanya terbelalak. Ia tak salah melihat ketika mendapati mobil sedan hitam mengambil tiket parkir lalu memasuki kawasan parkir. Ia mengerutkan jidat dan memincingkan mata, jelas itu mobil Sang Papa. Habis ke mana ya Papah? Batinnya.

Di samping itu, tampang cowok tersebut baru selesai menjawab telpon, lekas ia undur diri, “Sepertinya aku harus pergi duluan, soalnya Kakakku justru menunggu di halte sana. Bagaimana dengan Papamu?”

“Itu, sedang melintas kemari,” jawabnya menunjuk ke arah yang di tuju, “Habis ke mana ya Papaku itu? Katanya nunggu di parkiran mobil? Kok, kayak habis pergi gitu, sih?” lanjutnya menggerutu.

“Bisa jadi ayahmu ingin membahagiakan orang rumah, dengan cara membeli oleh-oleh. Sudah ya, duluan...”

Begitu cowok itu melangkahkan kaki, lebih tepatnya melintas di hadapan Erlya tanpa di sadari oleh mereka ada anak lelaki sedari tadi berdiri di samping Erlya. Saat cowok itu melintas ternyata ia mendapat kejahilan dari anak lelaki tersebut. Ia tersandung karena kaki anak lelaki itu tiba-tiba mengulur dengan sengaja. Spontan ia terhuyung. Sigap tangan kirinya mencari pegangan untuk menjaga keseimbangan. Hap! Tangannya singgah ke pundak Erlya.

Erlya terkesiap! Badannya tak mampu untuk menompang tubuh cowok itu. ia pun ikut terhuyung, namun ke arah kiri. Dan...gabruk!!

“Aoooow...” jerit mereka pelan. Jatuhlah mereka ke lantai.

Sejurus cowok itu menoleh wajahnya ke arah anak lelaki yang telah membuatnya terjatuh. Entah mengapa, tatapannya begitu tenang namun anak lelaki itu justru ketakutan dibuatnya. Dengan seribu langkah, ia pergi kabur! Matanya tak henti menatap bocah tersebut yang berlari semakin jauh.

“Dasar tuyul!” seru Erlya menggerutu membuat cowok itu menoleh. Kemudian ia melanjutkan, “Sejak kapan dia ada di samping gue, malah ngejahilin orang. Sekarang kabur tanpa minta maaf. Gak sopan!”

“Namanya juga anak-anak, harap maklum. Kamu tidak apa-apa?”

“Pantatku aja yang sakit, tulang ekornya itu...linu,” sahutnya mengusap bagian pantat.

“Maaf ya, refleks cari pegangan.”

“Maaf terus? Yang harusnya minta maaf ya Si Tuyul tadi!” keluh Erlya sambil mengambil kantung plastik belanjaan buku yang ikut terjatuh pula, “Udah ah, aku aja yang duluan, bye...” lanjutnya undur diri.

Sepanjang perjalanan pulang, Erlya terus menampakkan garis bibir ke bawah, lebih tepatnya seperti mencibir. Papanya yang tengah menyetir terheran dibuatnya.

“Kenapa? Dari tadi Papah perhatikan, anak kesayangan Papah ini cemberut aja?”

Anak kesayangan yang katanya begitu, malahan tidak menggubris sama sekali terhadap kalimat Papanya.

“Tambah cantik ya, cemberut begitu?”

“Ih apaan sih, Pah?” cibirnya akhirnya merespon, “Erlya lagi kesel banget tahu? Coba kalau Papa gak ninggalin Erlya di toko buku tadi, pasti gak akan ada kejadian memalukan?” lanjutnya mengeluh.

“Kejadian di pelataran toko buku tadi?”

Ia mengangguk.

“Masa cuma masalah itu jadi ngambekan?”

“Habis...udah pantat sakit, dilihat banyak orang. Uhhh...mau ditaruh di mana mukaku....” ringisnya, lalu ia menuturkan kembali, “Ditambah si dia? Iiiuuuh...blagu banget!”

“Jangan menilai dari sisi buruknya, Erlya? Dia juga temanmu, kan?” terang Sang Papa.

“Teman? Kenal juga gak?”

“Oh...dia bukan temanmu? Lha...kalau tahu begitu sih, Papah turun untuk menolongmu, Nak...” godanya.

“Telat,” sahutnya pelan, lalu tertunduk.

“Hem...muka masam gitu, Papah ada solusi jitu.”

“Apa?”

Cake kesukaanmu,”

“Kita mau ke Cafe IN, Pah?” tanyanya sumringah.

“Sudah tadi,”

“Hah? Berarti papa ke Cafe IN sendirian? Ih, jahat gak ngajak-ngajak!”

“Mengajak? Nanti yang ada putri kesayangan papa ini malah betah di sana?”

Erlya mencibir dengar pernyataan itu.

Dua jam kemudian, Erlya terperangah membelalakkan mata segede jengkol. Di depan matanya terlihat sembilan buku komik saat membuka kantung belanjaannya. Tak disangka yang dibawa bukan miliknya, ia yakin itu! Sungguh aneh masa beli novel dapat komik? Mustahil.

“Berubah gini, sih?” keluhnya. Kedua matanya berkeliaran ke kanan dan ke kiri, berpikir sejenak. Tiba-tiba barulah ia ingat. Cowok blagu itu! Pikir Erlya.

100% merasa yakin bahwa bukunya tertukar. Pantas saat ia menjinjingnya terasa berat. Di manakah lokasi tertukarnya? Maksudnya saat ngapain? Pada saat di kasir? Atau di pelataran? Ah, ia tak tahu! Pusing atas kejadian ini!

Di dalam kamarnya, ia bertopang dagu di meja belajar sambil menatapi buku komik tersebut. Entah! Siapa yang salah atas kejadian ini? cowok itu atau dirinya? Lagi-lagi otaknya menebak-nebak gak jelas.

Dari luar kamar tersiur-siur suara seseorang memanggil.

“Erlya.”

Ia terkesiap! Itu suara Papanya. Gawat pula, kalau sampai beliau mengetahui ini, bisa-bisa kepercayaannya menghilang atau bahkan dipenggal. Maklum, beliau melarang keras untuk tidak membaca komik atau majalah. Alasannya pun tak tahu mengapa Papanya bersikap demikian. Ia hanya menurut saja. Namun kali ini? Hhh.

“Yuuuhhuuuu, Pah...” seru Erlya menyahut.

“Waktunya makan malam, ayo turun.”

Ok,” jawabnya, tambah panik tentu saja. Ia harus cepat menyembunyikan ini semua sebelum Sang Papa kemari. Agak bingung ingin ditaruh di mana, sekilat otaknya menangkap ide untuk memerintah anggota tubuhnya dalam menyembunyikan komik, yakni dibawah bantal. Sejurus ia mengarah ke tempat tidur.

“Erlya?”

Ia akhirnya kepergok sang papa sedang berdiri terpaku di tepian ranjang.

“Sedang apa? Ayo cepat, kita nikamtin makan malamnya, lalu kita nobar sambil ngemil cake kesukaanmu,”

Sepanjang waktu makam malam bersama hingga menonton di ruang televisi sambil mengemil, tingkah Erlya yang mencurigakan tidak dapat ditutupi. Ia harap kedua orang tuanya tetap duduk manis di sofa tanpa perlu mengamati putrinya ini yang hanya duduk di karpet. Sengaja duduk di atas karpet, disamping karena ingin menutupi mimik cemas juga memikirkan solusi berikutnya. Memikirkan lamat-lamat.

Sambil menunggu ia menemukan solusi, biarlah sejenak memaparkan kehidupan keluarga Erlya. Sekilas kedua orang tuanya saat ini tengah bersantai ria, hanya keseharian mereka sangatlah sibuk. Pak Alfin sebagai kepala keluarga memilik karier yang sangat baik. Beliau menjabat sebagai kepala sekolah di salah satu SMA Negeri di Jakarta. Dari jabatan tersebutlah, selalu menjadi pemateri diklat atau pelatihan guru-guru karena kekhasannya yang dimiliki. Tak heran terkadang harus ke luar kota untuk mengisi acara-acara semacam itu. Waktu berkumpul seperti inilah lebih berharga dari jadwal luar kota. Meski begitu, cinta keluarga dan cinta profesi tentu harus seimbang dan menjadi prinsip hidup. Di samping itu, Bu Tiara, Mama Erlya tak kalah sibuknya. Beliau pebisnis apoteker. Sekali lagi, sesibuk apapun mereka tetap menganggap paling berharga ialah berkumpul bersama.

Tunggu, hampir terlewat! Erlya belum kunjung menemukan solusi selang beberapa menit tadi.

“Erlya, Mamah boleh pinjam buku novel yang baru dibeli tidak? Itu lho yang ada diiklan, film diangkat dari novel. Tadi beli banyak novel, kan? Mamah yakin salah satu novel yang dibeli Erlya ada judul yang diiklan. Sayang... baca yang lain dulu, biar Mamah baca satu novel saja, gimana?” sahut Sang Mama.

Tersendak Erlya mendengarnya! Tertegun sambil menatap pada iklan promosi film yang tengah tayang, kemudian ia alihkan pandangannya terhadap Mamanya dan berujar, “Ok, tapi gak sekarang ya Mah?”

“Jika seorang ibu ada keinginan dan sekiranya anak tersebut dapat memenuhi keinginannya pahalanya sungguh besar, lho...” tukas Sang Papa.

Dengan berat hati ia menuju kamar. Sekembalinya di ruang keluarga ia sodorkan kantung plastik berlogo OZO kepada Mama-Papa. Bola matanya memantulkan mimik wajah mereka yang tampak jelas sangat terheran.

Begitu isi dibuka, ah ia pasrah saja deh jika memang akan kena marah.

“Tertukar, ya?” tanya Pak Alfin.

Eh? Terperangah Erlya tak percaya bahwa Papanya tidak berprasangka buruk.

“Seingat Papa, Erlya pilih novel. Tertukar dengan siapa? Orang yang tadi?”

Erlya menggangguk pelan, “Mungkin.”

“Ya sudah, Papah musnahkan ini. Dan besok beli novel lagi, Papah siap menemani,”

“Gak usah, Pah. Gak usah repot-repot beli lagi, Erlya akan coba ke toko buku OZO besok, Erlya yakin cowok itu juga ingin bukunya kepengen ditukar.”

“Ya baik, mari kita coba. Tapi ingat setelah dicoba, jangan lupa ada jam les private bahasa Inggris.”

“Yah, kan masih liburan? Lesnya tetep aja lanjut?” dengus Erlya.

Keesokkannya, ia bertandang ke toko buku seperti kemarin. Tapi hanya sebatas pelatarannya saja. Tepat disebuah bangku, ia menunggu tidak sia-sia. Cowok itu alias Toki, datang juga. Bersyukur karena bisa menukar komik dengan miliknya.

“Syukurlah, kamu kemari,” sahut Toki.

Erlya terperanjat bangun, dan menyodorkan sekantung komik, “Ya,”

“Buatmu saja,”

“Gak, aku dilarang keras membaca komik. Maaf,”

“Baiklah kalau begitu, ini punyamu juga.” ujarnya sembari menyodorkan sekantung novel kepada Erlya.

Setelah ditukar, tak ingin buang waktu Erlya pun pamit. Dikarenakan tidak ingin telat di jadwal les private-nya. Diperjalanan, ia membuka kantung plastik miliknya, sedikit terheran melihat kondisi buku masih tersegel rapi. Seingatnya sudah dibuka bahkan diberi nama. Gegas ia mencari struk. Alangkah terkejutnya ketika melihat tanggal pada struk. Kok, tertanggal hari ini? Gumamnya.

Hingga saat ini, masih dibuat heran. Apakah Nona Kasir itu yang salah atau mesinnya. Atau cowok itu yang sengaja membeli yang baru? Hm, entahlah. Akan ia tanyakan begitu dia datang. Mengingat kejadian itu membuat waktu terbuang, ia pun kembali menyapu pandangan ke arah sekitar. Dan dari arah kanan tampak seseorang yang ia kenal menuju kemari, sigap ia memposisikan wajahnya semula sembari membetulkan bandana, saking mendadak salting. Huft.

Tags: twm18 school

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tentang Kita
57      34     0     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
UNFINISHED LULLABY
10      10     0     
Inspirational
Taarufku Berujung sakinah
268      145     0     
Romance
keikhlasan Aida untuk menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya membuat hidupnya berubah, kebahagiaan yang ia rasakan terus dan terus bertambah. hingga semua berubah ketika ia kembai dipertemukan dengan sahabat lamanya. bagaimanakah kisah perjuangan cinta Aida menuju sakinah dimata Allah, akankah ia kembali dengan sahabatnya atau bertahan degan laki-laki yang kini menjadi im...
RARANDREW
469      232     0     
Romance
Ayolah Rara ... berjalan kaki tidak akan membunuh dirimu melainkan membunuh kemalasan dan keangkuhanmu di atas mobil. Tapi rupanya suasana berandalan yang membuatku malas seribu alasan dengan canda dan godaannya yang menjengkelkan hati. Satu belokan lagi setelah melewati Stasiun Kereta Api. Diriku memperhatikan orang-orang yang berjalan berdua dengan pasangannya. Sedikit membuatku iri sekali. Me...
Paragraf Patah Hati
123      80     0     
Romance
Paragraf Patah Hati adalah kisah klasik tentang cinta remaja di masa Sekolah Menengah Atas. Kamu tahu, fase terbaik dari masa SMA? Ya, mencintai seseorang tanpa banyak pertanyaan apa dan mengapa.
Stuck In Memories
255      166     0     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
When You Reach Me
156      126     0     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Kisah yang Kita Tahu
92      64     0     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
My Secret Wedding
53      37     0     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
Salju di Kampung Bulan
37      29     0     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***