“EEEEVVVAAAA…”
Eva mencari asal suara itu, suara yang masih menggema ke setiap sisi ruang kelas. Merambat hingga setiap insan yang lalu lalang di hadapan kelas mematikan langkahnya.
“Apaan Fergusso??” Tanya Eva yang kini tengah menatap kesal sahabatnya, siswi yang nyaris membuat gendang telinganya terlepas dari dalam lubang telinganya. Ina.
Hari ini, Eva sangat malas untuk berdebat. Untung saja, jam kosong tengah merajai kelas Eva kala itu. Entah mengapa, harinya terasa membosankan kala itu.
“Ekskul kamu apaan??” Ina menggenggam sebuah buku, menanyakan hal yang tak terlalu penting bagi Eva. Itulah seorang remaja, suasana hatinya tak menentu. Tapi Eva juga tak mampu menolak Ina, sudah tugasnya sebagai sekretaris kelas melakukan hal itu. Sekilas info, Ina sempat kesal atas jabatannya. Sebelumnya di SMP, ia sebagai wakil ketua kelas. Ya, Ina turun jabatan.
“Gak sempat mikir gituan, In.” Ucap Eva lemah.
“Hmm.. Gini aja deh, pas MOS waktu itu kamu milih ekskul apa??” Eva teringat akan ucapan Ina, ia mencoba menganalisis setiap kejadian kala itu.
“Pertama, PMR. Kedua, English.” Singkat sekali, Eva benar-benar badmood saat itu.
“Wah, anak pintar mah beda. Ekskulnya aja dua dan English lagi. Saranku, ‘kan kamu sering sakit kepala jadi jangan kebanyakan ngambil ekskul. Aku aja kalau gak diwajibkan ikut ekskul, mending gak ikut sama sekali.” Ina menulis di bukunya, tertera sebuah tulisan di sampul buku itu. Administrasi kelas. Itulah buku berharga bagi Ina.
“Coba dulu aja deh, kalau gak kuat keluar salah satu.”
“Va, kita samaan ikut PMR nih.. Katanya kegiatannya lebih nyantai, jadi kalau mau keluar jangan di PMR.” Pinta Ina, jarang-jarang Ina meminta pada Eva.
“Oya, kita juga bakalan ketemu cogan.” Sela Ina sebelum Eva akan menjawab ajakan Ina.
“Siapa??”
“Kak Tyo, kak Farhan, sama kak Dimas.”
“APA??” Eva terkejut, kepalanya yang semula ia sandarkan di meja kini telah berdiri kokoh. Menatap Ina mantap. Eva lupa, antipatinya adalah seseorang yang juga menjabat sebagai ketua PMR.
“Kenapa?? Lupa kalau kak Dimas ketuanya??” Ina menebak, ia tahu benar seberapa besar kekesalan Eva pada pria yang menjadi idolanya itu.
Eva mengangguk, ia bingung harus berkata apa lagi. Ia bingung akan takdirnya yang seakan sengaja mempertemukannya dengan si antipati.
“Pokoknya lu gak boleh keluar PMR, besok hari pertama kegiatan jadi lu gue jemput.” Eva paham bahwa Ina tengah memaksanya, ia sangat tahu seluk-beluk sahabatnya itu. Kalau ia telah mulai berbicara dengan menggunakan -lu dan gue- Maka kekesalannya tengah memuncak.
Ina telah berlalu dari Eva, tapi masalah Eva belum berlalu darinya. Jantungnya berdebar kencang, tanpa aba- aba kini bibirnya telah melukiskan sendiri senyuman. Eva berusaha menyadarkan tubuhnya yang mulai kegirangan. Aneh. Hatinya gelisah namun dalam refleks nyatanya, Eva justru tersenyum. Ia mulai merasakan sesuatu yang mengganjal hatinya, seperti sebuah magnet yang menariknya dalam ruang yang lain. Ini bukan dirinya. Tubuh Eva bergetar, penyakitnya kambuh. Rasa pusing menelusuri setiap sistem pemikiran di tubuhnya. Eva mengambil sahabat kecilnya, aromatheraphy roll on yang selalu ada di saku kecil tasnya. Menidurkan kepalanya yang semakin terasa bebannya.
*Jam 17.30*
Eva melaksanakan tugasnya. Bel pulang sekolah telah berdering, namun tugas piket mengurungkan niat Eva yang membara ingin pulang. Rasa badmoodnya semakin memuncak kala bunda Eva menghubunginya, meminta agar ia pulang bersama rekannya. Eva lupa, ada undangan ulang tahun pernikahan rekan lama ayah Eva. Eva yakin, mereka pasti bersiap untuk itu. Eva segera meletakkan sapunya, membereskan meja-meja yang tak berdiri di posisinya. Eva panik, hari semakin sore. Ia sadar bahwa tak akan ada rekannya lagi di jam seperti itu, mengingat rata-rata siswa SMA Nusa menggunakan sepeda motor untuk ke sekolah. Hanya dia, hanya Eva yang tak mendapat izin orangtua untuk mengendarai sepeda motor ke sekolah.
"Juni.." Panggil Eva ketika melihat Juni di gerbang sekolah menunggu papanya menjemput.
"Loh Eva, belum pulang? Aku kira udah pulang??" Tanya Juni saat Eva masih terengah-engah.
"Tumben baru kesini, biasanya paling cepet keluar dari yang lain." Sahut Natas,teman sekelas Eva di SMP selama tiga tahun berturut-turut. Entah mengapa, Eva tak terlalu akrab dengan Natas sehingga ia tak pernah bisa menganggap Natas sahabatnya. Walau Natas terkadang mengingat setiap hal yang melekat dengan Eva.
"Aku... Ah udahlah, lihat Ina gak?? Atau siapa gitu yang lain,yang naik motor ada gak??" Tanya Eva yang masih berusaha bernafas dengan normal. Ia sudah tak mampu lagi unuk menjelaskan alasannya keluar kelas terlambat kala itu.
"Yahh telat, nanya jam segini pasti udah pada pulang. Kenapa??" Tanya Rina yang ada di sebelah mereka.
"Gue gak ada yang nganter pulang.."
"Nebeng Natas atau Juni aja" Rudi akhirnya berbicara setelah dari awal hanya menyimak. Rudi adalah rekan seangkatan Eva yang kebetulan juga alumni SMP Cempaka.
"Mau yaa va.. Gak papa kok" Kata Natas memohon, padahal seharusnya saat itu Evalah yang memohon.
"Ikut aku juga gak papa kok va, santai aja." Sahut Juni menambahkan.
"Gak ah.. Rumah kita beda jalur,yang ada bapak kalian ngedumel lagi sama gue" Jawab Eva mencari alasan.
"Alasanmu va.." Tambah Rudi.
"Eh masih ada kakak-kakak OSIS, kan? Ikut mereka aja.." Rina sembari membulatkan matanya, mengarahkan matanya kepada kak Fero yang sedang berdiri di dekat sebuah motor. Kak Fero adalah salah satu anggota OSIS, ia hanya berbeda satu tahun dengan Eva.
"Gak ah..nekat" Eva menolak. Baginya, membayangkan ia pulang bersama anak OSIS sungguh menyeramkan.
"Ehh.. Tapi kakak itu memang baik loh.. Waktu itu pas MOS acara bersih-bersih, aku sama Tia pulang paling terakhir. Sekolahan udah sepi banget, kebayangkan horornya??" Rina yang menceritakan pengalamannya.
"Terus??" Tanya Juni dengan semangat. Juni paling mengerti, semua yang dikatakan Rina itu akan sangat menarik untuknya.
"Terus ada dia sama kak Dimas, mereka beriringan. Sebenarnya kak Dimas udah lewatin kami sih.. Tapi entah kenapa dia berhenti dan nengok ke belakang, habis itu kak Ana yang datang di belakang kak Dimas langsung nanya-nanya gitu ke kami." Jelas Rina dengan asiknya.
"Nanyain apa? Terus kak Dimas gimana??" Tanya Juni dengan super semangat dan Eva hanya bisa menyimak pembicaraan mereka, sejenak Eva melupakan kepanikannya.
"Kak Ana nanyain kami ada yang jemputin gak? Udah nelpon orangtuanya belum? Pokoknya gitu deh.. Jadi aku rada baper waktu itu" Lanjut Rina.
"Baperan.." Sambut Eva santai,memutarkan matanya karena jengah dengan perkataan mereka.
"Romantisnya lagi tuh.. Pas kak Fero markir motornya terus dia itu duduk di dekat kami, yaa gak dekat-dekat amat sih.. Kak Dimas tuh langsung mundurin motornya terus dia markir motornya juga dan dia duduk bareng tuh sama kak Fero." Lanjut Rina lagi tanpa memperdulikan kata-kata Eva yang ditujukan untuk dirinya.
"Yahh.. Kurang seru, kak Dimasnya gak ngomong." Kata Juni.
"Semangat amat Jun.." Ucap Natas melihat wajah Juni yang mengeluh.
"Emang cowok kayak gitu cocok dipilih jadi antipati." Batin Eva sarkastik.
"Heh..makanya jangan dipotong, belum selesai." Sambung Rina.
"Emang si antipati bisa ngomong? Punya mulut juga dia.." Celetuk Eva.
"Kamu aja yang milih dia antipati, kita mah enggak.." Balas Juni memotong Eva. Dapat Eva tebak, ia pasti akan banjir dengan omelan jika berani menentang si ketua OSIS.
"Tapi kalian juga gak ada yang milih dia jadi kakak simpati atau favorit,kan? Paling kalian milih kak Farhan atau kak Tyo jadi kakak simpati dan favorit" Tegas Eva memotong kata-kata Juni. Ya, memang itulah kenyataaannya.
"Kak Dimas baru ngomong waktu Tia udah di jemput, katanya ‘gimana dek orangtuanya? Beneran udah dihubungi? Bisa jemputin atau gak? Kalau gak bisa dihubungi atau orangtuanya gak bisa jemput,biar saya yang nganterin ke rumah. Rumahnya dimana,dik?’ Pokoknya semacam itulah.." Sahut Rina yang melihat pertengkaran kecil antara Eva dan Juni, ia berusaha mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana kembali.
"Terus kamu jawab?" Tanyaku dengan dingin.
"Iyalah.. Aku jawab aja alamat rumahku, dia jawab lagi katanya rumah dia sama rumah aku sejalur. Jodoh kali yaa.."
"Ngarep.." Kata Juni.
"Alesan dia doang tuh.." Kata Eva menanggapi.
"Rasanya waktu itu pengen ku telpon bapakku,kusuruh pulang aja jadi biar kak Dimas yang nganterin pulang.." Lanjut Rina dengan khayalannya.
"Panjang umur.. Tuh, ada orangnya." Kata Rudi dengan suara nyaring, membuat semua pasang mata yang ada di dekat kami saat itu ikut memandang arah yang sama.
"Nah, minta anterin aja va.. Kamu datang kesana terus ngomong deh baik-baik.." Saran Rina.
"Apaan sih?? Gak ah.. Dia itu gak kenal aku dan aku juga baru kenal dia, jadi anak ekskulnya aja belum pasti. Aku itu cuma ‘debu’ aja di mata dia." Kata Eva dengan wajah malas, sengaja mengangkat jari tengah dan telunjuk dari kedua tangannya. Menjelaskan kata “debu” yang ia ucapkan.
"Aduhhh..papaku udah dimana yaa? Boleh gak sih nelpon papa terus bilang gak usah jemput? Tapi kayaknya papa udah jalan deh.." Kata Juni dengan keringat yang bercucuran di pelipisnya, justru dia yang terlihat panik.
"Eh, kak Dimas ngarah kesini tuh... Cegat va,buruan.. Atau mau Natas aja yang cegat?" Tanya Natas menggoda Eva.
"Eh jangan.. Aduhh.." Eva panik, ia berusaha membekap mulut rekannya satu-satu dengan tangan Eva. Pikirkan saja bagaimana kak Dimas tidak mendengar mereka sedangkan mereka secara bersama-sama berteriak bahwa Eva tak ada yang menjemput tepat sekian detik sebelum kak Dimas berada di dekat mereka. Posisi Eva membelakangi kak Dimas, Eva tak mampu menunjukkan wajahnya yang mungkin saja tak karuan karena panik dan menahan malu. Rasanya ingin sekali Eva mengikat mulut rekannya satu-satu dengan tangan Eva sendiri, andai saja Eva memiliki kekuatan tangan seribu.
"Eh, berhenti tuh.." Kata Rudi.
"MAMPUS.. Ini juga cowok satu, mulutnya ikut-ikutan bocor kayak cewek." Batin Eva gelagapan.
"Seriusan??" Tanya Eva memasang wajah panik, Eva tak bisa menyembunyikannya lagi. Bibir Eva kini menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan rasa panik, Eva hanya bisa menggigitinya.
"Iyaa,berhenti.. Nengok juga tuh.. Wah, bakal kesampaian nih.." Kata Rina tersenyum semangat.
"Lo senyum-senyum, gue disini mau meledak." Batin Eva sangat gugup, Eva tak kuat merangkai kata jika si antipati tiba-tiba datang menghampiri Eva dan bertanya padanya.
"Yahhh" Kata Juni yang membuat Eva mengerutkan kening.
"Dia cuma nengok doang,ternyata berhenti mau nyebrang toh mas.." Lanjut Juni.
*Huft*
Terdengar helaan kasar nafas Eva, Eva mulai tenang. Ia berpikir lebih baik tak di jemput semalaman daripada harus menumpang bersama kakak antipatinya. Eva yakin, jika itu terjadi maka jantungnya tak akan pernah berhenti. Unik memang, seorang antipati dapat membuat seorang gadis yang dingin dan cuek merasakan hal seperti itu. Kak Dimas benar-benar telah menjadi penariknya dalam suatu ruangan aneh yang sulit untuk Eva mengerti.
Dimas terpaku, samar-samar ia mendengar perkataan beberapa siswa di pojok pos sekolah. Perkataan itu berhasil menembus helmnya, memasuki lorong pendengarannya dan menyadarkan sistem sarafnya. Dimas memberhentikan laju motornya, berusaha membuat matanya mampu melihat gerobolan siswa di pojok pos satpam sekolah. Walau fisik Dimas terasa cukup lelah kala itu karena rapat OSIS sedari siang yang baru saja ia selesaikan, tapi rasa lelah itu tak bisa ia perdulikan jika menyangkut gadisnya.
Deg
Wajah Eva terlihat memerah dengan keringat deras yang mengalir di wajahnya, menambahkan kesan manis dan seksi pada gadis itu di mata Dimas. Dimas dengat cepat menggelengkan kepalanya, menghilangkan sisa-sisa pikiran aneh di kepalanya. Melihat Eva seperti itu membuat jantungnya berdebar. Terlihat rekan-rekan Eva yang tengah menatapnya seakan lapar menanti keputusan. Dimas bingung. Ia mendengar bahwa Eva tak ada yang menjemputnya untuk pulang, tapi apakah itu benar? Atau itu hanya permainan anak SMA yang meledek-ledek rekannya? Eva terlihat sangat panik, ia terlihat bergetar karena rasa gugup. Itu terlihat jelas dari caranya menggigiti bibirnya, meremas bajunya. Dimas pun berpikir sejenak, ia harus memilih saat itu. Dimas pergi. Itu keputusannya. Tapi bukan berarti ia melupakan Eva, Dimas akan kembali. Ia berpikir, jika yang ia dengar adalah suatu kebenaran maka lima belas menit lagi pasti ia belum dijemput. Tepat saat sekolahan mulai sepi dan rekan-rekan Eva semakin menipis, Dimas akan kembali dan mengantarkan Eva pulang dengan selamat. Eva terlihat ketakutan saat itu dan Dimas tak suka itu. Eva terlihat menahan rasa malu akibat teriakan rekan-rekannya dan Dimas tak suka itu, walau sebenarnya Dimas suka melihat wajah Eva yang bersemu merah saat itu. Tapi ia tak suka melihat gadisnya itu takut.
Gadisnya?
Terdengar indah menurut Dimas. Ya, Eva adalah gadisnya. Magnet baginya, perbedaan antara Eva dan dirinya telah Dimas yakini akan menjadi jalan yang menyatukan mereka. Sama seperti magnet. Ya, mulai saat itu Dimas akan memberi julukan pada Eva. Gadis magnetnya.
*Jam 17.50*
Dimas telah berada di SMA Nusa, ia sedang menyusuri sekolah. Mencari keberadaan gadisnya dengan mengendarai sebuah motor putih. Ia sempat melihat beberapa siswa masih menunggu di pojok pos satpam sekolah, tapi ia tak menemukan gadis magnetnya. Dimas masuk lebih dalam ke area SMA Nusa mencari siapa tahu ada sesosok gadisnya, namun ia tak menemukan siswa yang wara-wiri lagi. Hanya ada angin yang berhembus, menggerakkan daun-daun gugur di tanah. Cahaya sore itu semakin memudar, kilau emasnya semakin nampak jelas dari sebelah barat. Tak ada lagi ia temukan gadisnya. Antara dua hal, gadisnya yang telah pulang atau gadisnya yang menghilang. Dimas setuju dengan pilihan pertama, tapi tidak dengan pilihan kedua. Dimas keluar dari SMA Nusa. Ia melihatnya. Hanya tersisa dua orang dari gerombolan yang tadi tengah menunggu kepastian jawabannya, sempat membuat gadisnya gugup. Dimas mengenali mereka, kedua wanita itu adalah rekan Eva.
“Kalian belum di jemput?” Tanya Dimas pada kedua siswi itu, berusaha memecah kesunyian. Menggali suatu informasi dari mereka.
“I…iiyyaa kak..” Jawab salah satu siswi dengan gugup.
“Ada yang bisa kami bantu kak?” Tanya seorang siswi yang lain.
“Eh.. Gak kok. Hmm.. temen-temen kalian udah pulang semua ya??” Tanya Dimas ragu, ia bingung harus memulai dari mana.
Dimas mendapat jawaban, gadisnya pergi. Ya, ia yakin itu. Gadisnya telah pulang. Ia senang dengan itu, setidaknya ia tak panik seperti tadi. Tak masalah siapa yang mengantarnya pulang, ia hanya mementingkan keselamatan gadisnya. Eva telah membuatnya dirundung perasaan gila, ia benar-benar sulit terlepas dari Eva. Eva benar-benar telah menarik hatinya, entah apa yang membuatnya bisa begitu. Jika di rumuskan dalam Fisika, Eva bagaikan gaya tarik magnet baginya. Tapi Dimas bersumpah, rasa di hatinya lebih rumit dari rumus Fisika.
“Hehhheh.. dasar, alumni anak olim Fisika.” Batin Dimas terkekeh dengan dirinya sendiri, mengingat bahwa ia adalah anak olimpiade Fisika pada kelas 11, pada masa jayanya.
Dingin senja kala itu menghilang saat ia tersenyum, mengingat pujaannya dan seseorang yang menjadi gaya tarik hatinya. Tubuhnya menghangat seraya hatinya yang menghangat.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kalau Tuhan menciptakan Hendrik Anton Lorentz untuk menemukan muatan listrik dalam magnet, maka Tuhan menciptakan aku untuk menemukan wanita seunik kamu. Kamu tahu? Menemukan kamu lebih rumit daripada menemukan hasil dari rumus gaya Lorentz.”
--Dimas--