Read More >>"> DIAMNYA BAPAK
Loading...
Logo TinLit
Read Story - DIAMNYA BAPAK
MENU
About Us  

Aku pergi ke ruangan bu Marta dengan jantungan. Apa lagi yang akan terjadi padaku malam ini. Aku menggesek-gesekan kedua telapak tanganku dan menaŕik napas agar merasa tenang. Ruangannya sudah mulai dekat. Ku angkat tanganku mengetuk pintu yang masih tertutup. Kudengar perintahnya dari dalam menyuruhku masuk. Ku tatap ia dengan rasa takut dan mulai mendekatinya. Ia memandang aku dengan sangat ganas seperti ingin memangsaku saja.

"Ana... gajimu bulan ini tidak penuh karena kamu banyak tidak hadir." dipukulnya meja kerjanya dengan keras, aku mulai tersentak. Ya Tuhan, aku yakin ini akan terjadi. Bibirku terbungkam dan aku hanya menundukkan kepala menyembunyikan wajahku. Dia memberikan beberapa lembar uang dan menyuruhku keluar dari ruangannya.

Pintu rumah sudah terlihat melalui persimpangan jalan tempat aku sedang berdiri. Aku melanjutkan langkahku ditemani hembusan angin yang sudah menembus kulitku. Kulewati garis pintu rumah segera aku pergi menuju kamar. Kudengar ibu memanggil dari dapur yang sedang menyiapkan makan malam untuk kami. Aku segera menemuinya.

"Ana, tolong beri bapak makan dan suruh minum obatnya." wajah ibu berkeringat sambil mengelap sisi kompor.

Aku mengambil piring, nasi dan ikan sudah kutambahkan di atasnya. Kubuka dengan pelan pintu kamar bapak agar dia tidak terkejut. Kulihat ia sedang tidur mendengkur. Suhu kamar bapak sangat pengap karena ada beberapa obat, alkohol, popok dan pispot agar bapak tidak susah untuk buang air kecil. Ku bangunkan bapak dengan goyangan kecil di lengan tangannya. Otot-ototnya mulai kendor. Raut wajahnya memiliki guratan keriput, tak berisikan daging-daging. Ia mulai membuka matanya dan menatapku cukup lama.

"Makan dulu pak, biar minum obatnya." Aku menunjukkan makanan yang telah kubawa untuk bapak. Ia mencoba mengangkat badannya namun sulit. Aku segera memegang tangan bapak dengan tangan yang satu, sedangkan tangan satu lagi memegang punggung bapak. Kususun bantal pada punggung bapak agar ia merasa nyaman. Wajah bapak mengkerut seperti menahan sesuatu namun ia tidak bersuara.

"Bagian mana yang sakit pak?" Tanyaku yang merasa prihatin atas kondisi bapak. Aku teringat dulu tangan bapak yang menyulang aku agar makan, sekarang kami bergantian. Bapak mengangkat tangannya dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Aku mulai menyulang bapak untuk makan. Ia tak menolak suapanku.

"Pak, besok adik wisuda. Ibu akan pergi dan bapak diwakili oleh abang." Mataku menatap bapak dengan hati yang mulai patah. Aku tahu bapak ingin sekali tampil saat anaknya wisuda. Sekarang bapak tak berdaya di atas ranjang ini. Ia hanya bangun, makan dan tidur. Tak ada yang bisa ia lakukan selain ketiga itu. Bapak mulai menundukkan kepalanya sambil mengunyah makanan di mulutnya. Kulihat tetesan air mata yang jatuh di sarung yang ia pakai. Aku mulai memeluk bapak sekuat yang aku bisa. Ku cium wajah bapak agar ia tak merasa sedih. Ku hapus air mata bapak dengan kedua tanganku. Untuk apa kukatakan pada bapak, aku hanya membuat hati bapak merasa sedih. Aku mulai membuka laci lemari untuk mengambil obat. Kukupas dari bungkusnya sebanyak delapan tablet yang berbeda. Aku memasukkannya kemulut bapak agar segera diminum.

"Pak, bapak tak mau bercerita pada Ana?" Sudah tiga hari bapak tak bersuara. Aku mulai mengajak bapak ngobrol karena aku merindukan hal ini. Biasanya bapak yang terlebih dulu mengajak aku cerita bila aku pulang kuliah, pulang dari tempat kerja. Belakangan ini bapak hanya bungkam dan merasakan sakit yang dihadapinya hanya sendiri. Bapak memukul kasur menandakan ia ingin berbaring dan tertidur. Aku segera membantu bapak. Selang beberapa menit ibu memanggil aku supaya membantunya menyusun pakaian. Aku datang pada ibu dengan mata yang sudah bengkak karena menangis.

"Kau menangis di depan bapak?" Tanya ibu. Aku hanya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan ibu.

"Sudah ibu bilang jangan begitu. Bapak akan sedih bila melihat kalian menangis." Ibu mengingatkanku tentang pesannya yang lalu. Aku mulai duduk di samping ibu. Ibu pergi ke kamar mereka meninggalkanku yang sudah duduk.

"Ibu mau apa?" Tanyaku heran.

"Ibu hanya ingin mengeluarkan jas bapak dari lemari. Ibu akan menggantungkannya di luar."

"Untuk apa bu?" Tanyaku penasaran.

"Manatahu ada apa-apa."

"Ibu ada-ada saja, tak ada apa-apa yang terjadi." Jawabku pada ibu sambil meninggalkannya menuju kamarku.

Hari cepat berlalu. Hari ini adikku akan wisuda. Aku segera bangun untuk mempersiapkan apa yang dibutuhkan pagi ini. Kulihat adik dan ibuku sudah mengenakan kebaya dan sanggul di kepalanya.

"Kak, ada yang kurang?" Emy memutar-mutar badannya.

"Tidak, sudah pas." Aku menatap Emy dengan malang. Sebenarnya ada yang kurang, bapak! Bapak masih ada tapi tidak bisa melihat Emy memakai toga kebanggaannya.

"Kak, tolong fotokan aku sama bapak ya. Aku ingin foto pertamaku dengan bapak." Emy menarik tanganku berjalan menuju kamar bapak. Bapak sudah terbangun, padahal ini masih jam lima pagi. Ia tersenyum melihat kedatangan kami. Emy mulai duduk di samping bapak dan memeluk tubuh bapak . Beberapa jepretan ku abadikan pada sebuah kamera yang menjadi kado bapak dua tahun lalu. Termasuk foto bapak yang sedang dalam tidurnya.

Emy, ibu dan abangku sudah bergegas untuk berangkat. Ibu menitipkan pesan padaku agar segera membereskan rumah. Membentang tikar agar tamu yang hadir dapat segera beristirahat menunggu kepulangan mereka. Untuk makanan ibu biasanya memesan dari tetangga sebelah. Tak terasa waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku kembali ke kamar bapak untuk memberinya sarapan dan memberinya obat. Kulihat bapak melanjutkan tidurnya dan masih mendengkur dengan keras.

"Pak, pak... makan dulu."

Bapak terbangun namun tidak kuat untuk duduk. Aku menyulanginya dalam posisi telentang namun sedikit kuangkat kepalanya dan ku ganjal dengan bantal. Dengan segera aku memberinya obat yang biasa ia minum.

"Pak, bapak jangan tidur aja. Bangunlah dulu agar tidak terlalu lelah." Tangan bapak memegang tanganku, aku memandang mata bapak sambil tersenyum.

"Sebentar pak, Ana mau meletakan piring ke dapur. Sebentar saja, Ana akan kembali." Aku mulai berjalan meninggalkan bapak dengan cepat dan kembali dengan cepat. Kulihat bapak tertidur lagi. Tapi tak kudengar suara dengkurannya. Aku mulai takut dan segera ku bangunkan. Seluruh tubuh bapak terasa hangat. Kuletakkan tanganku di bagian lubang hidungnya, tak kurasakan ada hembusan napas.

"Pak...pak... bangun. Pak, bangunlah." Aku mulai panik dan menggoncang tubuh bapak dengan kuat. Aku tak yakin bapak pergi, hanya sebentar aku meninggalkan dia. "Pak... bapak jangan bermain-main pak." Aku masih menggoncang dengan keras agar bapak terbangun namun tak bangun juga. Aku mulai menyerah. Aku pasrah... bapak sudah tak ada. Aku menyesal meninggalkan dia. Jika aku tahu bapak memegang tanganku bahwa waktunya tak lama, maka aku akan duduk menunggu disampingnya.

"Kenapa bapak gak bilang kalau mau ninggalin Ana. Ana gak akan pergi pak..." tanganku mulai mencakar-cakar sprei tempat tidur bapak dan mengucek-ngucek rambutku sampai berantakan. Aku mengambil ponsel dan menghubungi paman. Paman segera berangkat menuju rumah. Kulihat peti sudah datang untuk tempat bapak terakhir kali berbaring. Ada beberapa karangan bunga. Tamu mulai berdatangan bukan atas wisuda adikku, tapi atas kepergian bapakku. Kulihat bapak mengenakan jas yang tadi malam di keluarkan ibu dari lemarinya. Seluruh tubuhnya pucat dan dingin. Tak ada aliran darah yang mengalir. Kudengar suara ibu, emy dan abang teriak dari luar masuk kedalam dengan wajah yang merah dan tangisan yang pecah. Mereka mendekatiku yang sudah terduduk di dekat peti bapak. Kami menjerit seakan belum terima dengan kepergian bapak.

Bapak... Emy baru wisuda pak. Masa gak bisa bapak tunggu Emy pulang pak. Tangis emy menyampaikan pesan pada bapak yang saat ini sudah terbaring kaku. Kakinya mengentak ke lantai dan tangannya memukul paha. Aku berdiri dan meronta sekuat tenaga. Kupukul dadaku bahwa aku belum siap kehilangan dia yang kucinta. Ibu menciumi mayat bapak yang tenang, sedangkan abang mencoba merangkul gadis-gadis bapak yang ditinggal dengan pelukan pasrah dan ikhlas.

Pak, diammu satu-satunya cara agar engkau tak menunjukkan rasa sakitmu pada kami. Diammu adalah caramu agar tak meninggalkan kepedihan terdalam pada kami. Pak... diammu sebenarnya telah membuat kehancuran bagi kami terutama bagiku. Tak kau tinggalkan sebuah pesan untukku bagaimana caranya menghadapi hari esok tanpa sosokmu. Pak, aku tak ingin terbangun setiap kali aku tertidur sebab tak ada lagi kutemukan sosokmu yang tua dan renta serta goresan tawamu saat masih membuka mata.

 

Tags: sad

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 6
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hear Me
14      14     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Azzash
13      13     0     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
Kasih dan Sebilah Pisau
10      10     0     
Short Story
Kisah ini dibuat berdasarkan keprihatinan atas krisisnya kasih dan rapuhnya suatu hubungan. *** Selama nyaris seumur hidupku, aku tidak tahu, apa itu kasih, apa itu cinta, dan bagaimana seharusnya seseorang tersenyum saat sedang jatuh cinta.
Memorabillia: Setsu Naku Naru
124      69     0     
Romance
Seorang laki-laki yang kehilangan dirinya sendiri dan seorang perempuan yang tengah berjuang melawan depresi, mereka menapaki kembali kenangan di masa lalu yang penuh penyesalan untuk menyembuhkan diri masing-masing.
Search My Couple
13      13     0     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Memoria
7      7     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Delilah
209      136     0     
Romance
Delilah Sharma Zabine, gadis cantik berkerudung yang begitu menyukai bermain alat musik gitar dan memiliki suara yang indah nan merdu. Delilah memiliki teman sehidup tak semati Fabian Putra Geovan, laki-laki berkulit hitam manis yang humoris dan begitu menyayangi Delilah layaknya Kakak dan Adik kecilnya. Delilah mempunyai masa lalu yang menyakitkan dan pada akhirnya membuat Ia trauma akan ses...
I'm Growing With Pain
426      204     0     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Detik Kesunyian
249      209     3     
Short Story
Tuhan memiliki beribu cara untuk menyadarkan kita. Entah itu dengan cara halus, kasar, bahkan menampar. Tapi peringatan itu yang terbaik, daripada Tuhan mengingatkanmu dengan cara penyesalan.
Balada Valentine Dua Kepala
10      10     0     
Short Story
Di malam yang penuh cinta itu kepala - kepala sibuk bertemu. Asik mendengar, menatap, mencium, mengecap, dan merasa. Sedang di dua kamar remang, dua kepala berusaha menerima alasan dunia yang tak mengizinkan mereka bersama.