"By the way, sorry ya ... tadi gue langsung narik lo gitu aja. Padahal, lo belum iyain tawaran gue," ucap cowok itu kepada Farla, mencairkan keheningan yang terjadi diantara mereka berdua.
Farla yang sudah menunduk sejak mobil yang kini ia tumpangi melaju meninggalkan halte, memutar memorinya sedikit ke belakang. Tetapi, seingatnya cowok yang duduk di sebelahnya ini tidak berbicara apapun sebelum menariknya masuk kedalam mobil.
Tidak kunjung mendapat respon, cowok itu kembali bersuara, "Lo nggak nyaman ya? Kok dari tadi diam aja."
Entah mendapat keberanian darimana, Farla menatap serius cowok itu yang ternyata juga tengah melihat ke arahnya, "Gue nggak nyaman satu mobil sama orang asing."
Berbanding terbalik dengan Farla yang terkejut atas ucapannya sendiri, cowok itu justru mengulas senyum tipis, "Lo salah kalau nganggap gue orang asing. Lo dan gue satu sekolah. Gue yakin lo pernah lihat gue, begitu pula sebaliknya." Manik mata cowok itu sekilas tertuju pada badge yang tertempel di lengan kanan kemeja Farla.
"Lebih tepatnya, setiap hari gue lihat lo walaupun terkadang tidak langsung. Karena gue nggak akan ngebiarin satu haripun tanpa ada bayangan lo di hati gue," batin Farla sedikit membenarkan.
"Sebenarnya gue juga sama seperti lo, nggak nyaman semobil bareng orang asing," sambung cowok itu setelah kembali fokus ke jalanan di depannya.
Farla yang belum mengalihkan pandangan dari cowok itu, memicingkan matanya. Kalau dirinya tidak dianggap orang asing, berarti apa? Makhluk tak nampak?
Seakan mengetahui apa yang masih menjadi tanda tanya besar bagi Farla, cowok itu memperjelas ucapannya yang membuat Farla ingin berteriak kegirangan jika tidak mengingat masih berada di samping cowok itu, "Bagi gue lo bukan orang asing. Kalau orang asing, tadi gue nggak akan nawarin lo tumpangan. "
Baru saja Farla ingin melihat aktivitas lalu lintas di luar melalui kaca jendela mobil guna menyembunyikan senyumannya yang tidak bisa lagi ditahan, tangan yang beberapa menit lalu sempat sejenak bersinggah di pergelangan tangannya terjulur dan menantinya untuk membalas, "Mungkin, berkenalan bisa menjadi langkah awal agar gue pensiun jadi orang asing bagi lo."
"Tapi gue nggak menginginkan lo untuk menjadi lebih baik dari sekedar orang asing,"
Dalam hati Farla bersyukur karena kebisingan luar. Karena ia yakin pasti jika dalam keadaan sunyi, suaranya akan terdengar bergetar. Ia tidak mau cowok itu mengetahui bahwa dirinya sebenarnya sulit untuk mengucapkannya. Semuanya bertolak belakang dengan keinginannya.
Helaan napas cowok itu terdengar berat, "Anggap saja perkenalan ini untuk menambah rasa solidaritas?" Bukannya kecewa, cowok itu justru keukeuh dengan keramahan yang tidak luput dari tutur katanya.
Keraguan mulai Farla rasakan menggerogoti pendiriannya untuk tetap menolak. Dalam hitungan detik, tangannya terangsur pelan, kembali bersentuhan dengan tangan cowok itu yang dapat ia rasakan kehangatannya.
"Mazenta Romiz Sebastian. Panggil aja Romiz."
Kring ... kring ... kring ...
Bel masuk yang biasa Farla dengar di sekolah berdering, membuatnya secara sepihak melepaskan jabatan tangan mereka. Lalu, ia menilik keluar lewat jendela mobil. Dan benar dugaannya, mereka telah sampai di parkiran sekolah.
Cepat-cepat Farla membuka pintu mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada Romiz yang terlihat akan menahanya tapi gagal karena ia lebih dulu berlari dan hilang meninggalkan area parkir.
Sesampainya di depan kelas, Farla berhenti untuk mengatur napasnya juga jantungnya yang berdetak lebih cepat karena mimpinya bisa berada sedekat tadi dengan Romiz menjadi nyata.
Nantinya ia harus terlihat biasa saja di depan Lisa, sahabatnya jika tidak mau terkena imbas rasa selalu ingin tahu cewek yang menurutnya bermata sipit itu.
-oo0oo-