Read More >>"> Bukan Sekedar Kata (... FOR A DAY!) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bukan Sekedar Kata
MENU
About Us  

Joo pulang ke rumah tanpa memikirkan apapun. Sudah terlalu banyak hal yang ada di pikirannya. Yang jelas, Joo merasa kalau Hae Rin sekarang sudah menganggap dia aneh dan egois. Sesampainya di rumah pamannya, tempat dia tinggal sekarang, Joo segera menghapus wajah sendunya untuk sementara. Baginya, tempat ini adalah teman terhangat yang bisa dia temui selama tujuh belas tahun dia hidup dan dia tidak ingin semua itu berubah hanya karena paman dan bibinya khawatir dengan anak bermasalah seperti dirinya.

“Kau sudah pulang.” Sapa pamannya dengan ceria, dia adalah orang yang selalu ceria dan penuh semangat. Bahkan, ketika dulu mobilnya pernah ditabrak orang, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari bercanda.

“Iya.” Jawab Joo sopan.

“Joo, sudah makan?” tanya bibinya dari dapur. Wanita itu selalu lembut dan perhatian. Joo sudah menganggapnya sebagai ibu sendiri dan mencintainya bagaikan ibu sendiri. Wajahnya biasa-biasa saja, dia tidak punya wajah yang kecil ataupun tubuh yang langsing dan tinggi. Tapi lebih dari itu, dia punya hati dan sikap yang diidamkan oleh semua orang.

“Aku tidak lapar Bi, terima kasih. Aku mau langsung ke kamar saja.” Jawabnya hati-hati.

“Tidak mau nonton dulu?” ajak pamannya. Joo menggeleng sambil tersenyum.

“Kau mau belajar? Mau kusiapkan buah atau cemilan?” tawar bibinya.

“Boleh, itu tidak apa-apa. Terima kasih.” Jawabnya tersenyum senang dan dibalas anggukan bibinya dan langsung sigap berkerja.

Joo masuk ke kamarnya, menyalakan lampu dan langusung menghempaskan badannya ke kasur. Dia menghela nafas panjang juga berat, mengulang-ngulang adegan saat dia menolak tawaran Hae Rin tadi di sekolah.

Wajah Hae Rin sangat kaget setengah tidak percaya.

Ti ti tidak ikut?” tanya Hae Rin saat itu. “Kenapa?” tanyanya lagi dengan nada penasaran.

Terkadang, sesuatu yang terjadi, sesuatu yang hilang, sesuatu yang disembuyikan, memang tidak harus kita ketahui jawabannya.” Jawab Joo sambil menerawang ke arah sepatunya. Lalu dia menatap Hae Rin lagi.

Masih dengan wajah bingung Hae Rin menuntut alasan yang lebih masuk akal, “Tapi dia sahabatmu? Harusnya kamu khawatir.”

Khawatir, tentu saja aku khawatir. Tapi aku yakin dia akan baik-baik saja. Dia Ji Na, dia lebih tangguh daripada yang orang lihat.

Pintu kamar diketuk pelan, lamunan Joo buyar dan langsung beranjak dari tempat tidurnya membukakan pintu untuk bibinya. Bibinya masuk dengan membawa satu piring buah-buahan dan satu toples makanan ringan dan menaruhnya di meja belajar. Wanita itu melihat sekitar kamar Joo lalu memandang Joo dengan matanya yang teduh, “Apakah melelahkan? Menjadi anak SMA.” Tanya bibinya membuka obrolan.

“Tidak juga, sampai sekarang aku belum menemukan masalah yang berarti.” Jawab Joo yang masih berdiri di dekat pintu.

Bibinya duduk di tempat tidurnya, menegakkan bingkai foto yang ditidurkan oleh pemiliknya lalu tersenyum lagi kepada Joo. “Bagaimana dengan masalah Ji Na? Sudah ditemukan?”

Joo menggeleng, “Polisi bilang dia kabur dan investigasinya sudah ditutup.”

“Lalu, dia kabur kemana?”

“Aku tidak tahu.” Jawab Joo pelan.

“Bagaimana bisa kau tak tahu. Kau tak mencarinya?”

Joo tahu kalau jawabannya akan terdengar aneh, tetapi dia tidak bisa menemukan jawaban yang pas lagi. “Aku... hanya tidak ingin ikut campur.” Joo menundukkan kepalanya. “Itu pilihannya, aku takut akan mengacaukan rencananya.” Tambahnya lirih. “Seperti masalah ibu dan ayah dulu.”

Bibinya seketika menatap Joo sedih. “Karena itukah kau sampai menutup foto itu? Karena itukan kau tidak mau mencari Ji Na sekarang?” suasana berubah sendu, begitu juga dengan pamannya sedang menguping diam-diam di luar kamar. “Tindakanmu dulu, tidak ada yang salah. Itu wajar dilakukan anak seusiamu. Jangan sampai insiden itu membuatmu takut untuk mencari kebenaran.” Bibinya berdiri dan memegang erat lengan Joo. “Ji Na, anak gadis itu, punya banyak luka, Joo. Aku bisa melihatnya dari matanya saat dia ke sini bersamamu dulu.”

“Tapi dia tidak terlihat membutuhkanku, Bi.”

“Itulah yang memang ingin dia tunjukkan padamu, Joo. Tapi itu bukanlah hal yang sebenarnya. Dia memerlukan bantuanmu. Sekeras apapun dia menolak untuk dibantu olehmu, sebenarnya dia tersiksa. Aku tahu betul siapa ayahnya dan seperti apa tabiatnya.” Jelas bibinya, membuat Joo semakin merasa bersalah. “Aku tahu kau tahu itu. Jangan buat masalah masa lalu menjadi alasan bagimu untuk menyederhanakan masalah ini. Cari dia Joo!”

“Bi, aku bukan siapa-siapa.”

“Kau adalah Joo Jung! Bukan siapa-siapa, melainkan Joo Jung.” Sanggah bibinya, menguatkan hati Joo. “Joo Jung, seseorang yang istimewa. Lakukanlah hal yang kau anggap benar Nak! Jangan hiraukan kata orang. Aku dan pamanmu selalu ada disampingmu. Begitu juga dengan ibumu. Bahkan ayahmu.”

Joo melihat mata teduh bibinya, melihatnya dan menyadari betapa beruntungnya dia mempunyai keluarga seperti ini. “Terima kasih Bi.” Balas Joo dengan suara yang bergetar. Bibinya merentangkan tangannya dan memeluk Joo dengan hangat.

Di luar kamar, pamannya mengusap matanya dan tersenyum simpul. “Lelaki baik selalu berhasil membuatku terharu.”

                                                                                                     ***

Hae Rin tidak bisa konsentrasi selama jam pelajaran. Hatinya masih belum yakin untuk ikut dengan Hong Soo. Bahkan sahabat Ji Na sendiri tidak ingin ikut dan percaya dengan pilihan Ji Na lalu kenapa dia harus ikut. Hae Rin merasa jahat kepada Hong Soo dan Ji Na kalau dia tidak ikut, tetapi dirinya pribadi merasa tidak senang jika Ji Na ditemukan. Hae Rin tahu, kalau Hong Soo tidak akan diam saja ketika dia sudah tahu kemana Ji Na pergi. Hae Rin tidak mau mengalah.

Dia tidak mau mengalah untuk masalah hati. Tetapi, dia juga tidak ingin memaksakan hati orang lain. Disisi lain, dia juga tidak mau terluka. Hae Rin menghela nafas panjang untuk sekian kalinya di hari itu. Memandang papan tulis dengan bosan dan menulis dengan asal-asalan. Hae Rin tidak pernah mengira dia akan terjebak dengan perasaan seperti ini. Apakah aku benar-benar orang baik? Apa yang orang baik lakukan dalam pilihan seperti ini? Tanya Hae Rin pada dirinya sendiri pada akhir pelajaran. Apakah ada orang lain yang mau membantuku menjawabnya? Tanya Hae Rin lagi.

Pundaknya ditepuk dari belakang, Hae Rin menoleh cepat. Dia melihat Hong Soo, melihatanya dengan mata penuh semangat. Pastinya bukan cowok ini. Kata Hae Rin di dalam hati.

“Kau sudah tanya Joo Jung?” Hong Soo bertanya. Hae Rin mengangguk singkat dan memasukkan buku-bukunya kedalam tas. “Bagaimana?”

Hae Rin menghela nafas panjang. “Dia bilang dia tidak ikut.”

 “Apa?!” kaget Hong Soo, sebelas dua belas seperti reaksi Hae Rin kemarin, tetapi yang ini lebih histeris. Seperti Hong Soo biasanya. “Bukannya dia sahabatnya. Sahabat macam apa itu?” ucap Hong Soo dengan penuh ketidaksukaan.

“Dia bilang,” Hae Rin membenarkan suaranya dan ekspresinya, berusaha menirukan Joo, “Terkadang, sesuatu yang terjadi, sesuatu yang hilang, sesuatu yang disembuyikan, memang tidak harus kita ketahui jawabannya.” Sama sekali tidak mirip sebenarnya, karena Hae Rin menirukannya terlalu berlebihan sedangkan kemarin wajah Joo terlihat sendu.

“Wah... Aku tidak menyangka dia orang yang seperti itu. Aku bersyukur kau tidak jadian sama dia Hae Rin.” Hong Soo menggelengkan kepalanya dan membesarkan suaranya, mengikuti dialek Taebaek.

Hae Rin tertawa kecil lalu kembali membereskan buku-bukunya.

“Kau ikut kan Hae Rin?” tanya Hong Soo.

Hae Rin diam sebentar. Apa yang orang baik lakukan? Dia menimbang-nimbang sebentar. Menghela nafasnya lagi. “Ya, disitu ada Hong Soo, disana ada Hae Rin.” Jawab Hae Rin.

Hong Soo tersenyum lebar. Mereka kemudian ber-highfive dan pulang bersama malam itu. Langit cerah dengan sedikit bintang ketika Hae Rin memperhatikan langit malam itu. Jalan rumah mereka memang satu arah, hanya dipisahkan pertigaan pertama. Hong Soo terdengan lebih ceria, dia rupanya sangat bersemangat dan merasakan bau-bau petualangan seperti yang ada di TV, katanya. Hae Rin tertawa dan mengejek Hong Soo.

“Memangnya kau punya rencana?” tanya Hae Rin.

“Memangnya perlu rencana?” tanya Hong Soo balik dengan santai.

Hae Rin terbelalak, “Bukannya kau bilang kau punya rencana lusa kemarin!” tuntutnya, “Kau bohong ya?” teriak Hae Rin.

Hong Soo mundur dua langkah karena dibentak Hae Rin. “Eh... cuman bercanda kok.” Jawabnya lemah. Hae Rin menatapnya tajam. “Ayolah Hae Rin, jangan marah, cuma bercanda kok.” Tambah Hong Soo dengan lebih keras, berusaha menyakinkan Hae Rin.

Hae Rin tidak langsung menjawab. Tapi kemudian dia mengangguk, “Oke. Awas kalau bohong!” ancamnya.

Hong Soo bernafas lega. “Aku hanya bercanda. Besok bakal aku jelaskan.” Tambahnya.

Hae Rin menurut meskipun tidak percaya seratus persen dengan Hong Soo. Mereka melanjutkan perjalannya dalam diam. Hae Rin mengekor di belakang, sengaja melambatkan langkahnya.

Hae Rin memperhatikan pundak dan bahu Hong Soo. Rasanya, baru kemarin dia melihat Hong Soo masih lebih pendek darinya dan sekarang laki-laki itu sudah jauh lebih tinggi dan besar darinya. Pundak dan bahunya juga sudah berubah, lebih lebar dan kokoh dari dulu. Bahkan, ketika Hae Rin berdiri di belakangnya seperti sekarang ini, Hae Rin tidak akan terlihat dari depan. Latihan Judonya selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil difisiknya.

Hae Rin meremas roknya. Perasaan itu muncul lagi. Rasa sesak yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang seakan-akan mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan Hong Soo. Hae Rin terus memperhatikan pundak Hong Soo dalam diam.

Hae Rin melompat kaget ketika Hong Soo tiba-tiba berbalik badan.

“Aku belok sini ya, Hae Rin.”

“Oke.” Jawab Hae Rin.

Bye bye.”  Ujar Hong Soo melambaikan tangan.

“Hong Soo.” Panggil Hae Rin sebelum Hong Soo berjalan lebih jauh. Hong Soo menoleh. “Harus langsung pulang, oke?” katanya.

Hong Soo tersenyum meledek, “Kenapa memangnya?” rasanya aneh bagi Hong Soo melihat Hae Rin hanya melihat ke arahnya dengan wajah seribu makna seperti itu. “Baiklah, aku akan langsung pulang.” Akhirnya, setelah jeda beberapa detik karena masih bingung dengan tatapan Hae Rin. Apakah itu wajah khawatir atau sedih.

Hae Rin mengangguk pelan dan berbelok ke kanan, melanjutkan perjalanannya. Begitu juga dengan Hong Soo yang berbelok ke kiri. Hong Soo berpikir berbagai rencana yang akan dipakai untuk besok. Sudah lama dia tidak merasakan semangat seperti ini. Terakhir kali dia merasakan semangat petualangan seperti ketika masih kelas dua SMP saat pergi mencari hantu di gunung bersama Hae Rin. Berpetualang bersama sahabat rupanya mempunyai kesan yang berbeda.

Saat sampai di rumah, Hong Soo disambut bau harum masakan ibunya dari dapur. “Ibu kenapa masak malam-malam begini?” celetuknya dari belakang kulkas.

Ibunya terlonjak saat dia berpaling dan melihat kepala Hong Soo yang seakan melayang karena tertutup oleh kulkas. “Kau bikin aku kaget!” kesalnya. “Ayo makan dulu sana, setelah itu bantu aku.” Perintahnya.

“Tenang Bu, jangan marah-marah dong.” Jawab Hong Soo setengah menggoda. “Memangnya bantu apa? Aku belum terlalu lapar.”

“Mana mungkin badan segede karung itu tidak lapar setelah seharian belajar.” Seru ibunya. Hong Soo menelan ludah merasa tidak enak, yang dia lakukan di sekolah hanyalah duduk sebagai formalitas. Tapi ibunya berbalik, “Tapi, memangnya tidak apa kalau kau bantu ibu dulu?” tanyanya dengan nada yang berbeda.

Hong Soo tertawa kecil, “Tidak apa Bu, santai saja.”

“Kalau begitu, tolong belikan minyak wijen di toko biasanya ya. Beli dua.”

“Apa ada pesanan untuk besok pagi?” tanya Hong Soo.

“Ya, pagi-pagi sekali. Mereka bilang mereka ada acara keluarga dan tidak bisa masak semuanya jadi mereka pesan kepadaku. Ambil dompet ibu saja di saku kulkas. Yang cepat ya!”

Hong Soo mengangguk dan segera keluar ke toko langgananya. Tidak terlalu jauh, ada di gang kecil yang searah di rumahnya Ji Na. Setelah menenteng dua botol minyak wijen di  tangannya, dia berhenti sebentar, melihat gang sempit disampingnya. Beberapa meter lagi ada rumah Ji Na disana. Hong Soo ingin tahu apakah Ji Na sudah kembali pulang atau belum, lalu  dia berjalan ke arah gang sempit itu penuh harap tetapi langkahnya tiba-tiba berhenti.

Yang cepat ya!” perintah ibunya muncul begitu saja di kepalanya. Karena dia tidak mau menjadi anak durhaka, dia balik kanan dan pulang ke rumahnya. Ke rumah Ji Na bisa besok-besok.

                                                                                                          ***

Pagi itu, Hae Rin berangkat lebih awal dari biasanya. Sekaligus dia sudah tidak sabar mendengar rencana yang sudah Hong Soo susun. Sesampainya di gerbang sekolah, langkahnya terhenti. Joo memperhatikannya dan kelihatannya dia sudah menunggunya dari tadi. Hae Rin berjalan ke arahnya. “Apa kau menungguku?” tanya Hae Rin penasaran.

“Ya, memang.” Jawab Joo.

“Ada apa memangnya?”

“Tentang ajakanmu kemarin,” katanya menggantung, “aku ikut.”

Hae Rin mengerutkan alisnya. Joo benar-benar tidak bisa ditebak. “Tentu saja.” Balasnya sambil tersenyum. “Aku nggak tahu kenapa kau berubah pikiran cepat sekali. Tetapi aku senang kau ikut.” Lanjut Hae Rin ramah.

“Terima kasih.” Balas Joo yang seperti biasanya, diikuti senyum manisnya.

Hae Rin menundukkan pandangannya, takut membuat pipinya merah jika melihat Joo terus-menerus. Dia tidak menyukainya tetapi senyumannya selalu berhasil membuat siapapun meleleh, laki-laki sekalipun.

“Mau ke kelas bareng? Kelas kita sebelahan.” Ajak Joo hangat.

“Ya, tidak masalah.” Angguk Hae Rin, berusaha terdengar seringan mungkin.

                                                                                                            ***

Hong Soo memandang Joo penuh kecurigaan.

Hae Rin menghela nafas singkat, lalu menjelaskan kepada Hong Soo apa yang sedang ternyata. Dia diam mendengarkan dan sekali-kali memandang Joo dengan dingin. Joo tidak bereaksi apa-apa atau lebih tepatnya, tidak memperdulikan Hong Soo. Dia juga terlihat memperhatikan Hae Rin yang sedang bercerita.

“Sudah, kau bisa ngerti sekarang kan?”

Hong Soo mengangguk-angguk mengerti. Dia memandang Hae Rin dan Joo bergantian lalu mengangguk-angguk lagi.

“Bagus! Hong Soo, sekarang, ceritakan apa rencanamu.” Hae Rin mulai menatap serius Hong Soo.

Hong Soo balas menatap Hae Rin dengan serius juga, merasakan semangat-semangat pertualang yang sudah lama tidak dia rasakan. “Rencananya adalah, kita akan pergi ke rumah Ji Na  dan mencari informasi dari sana. Contohnya, kita akan pergi ke kamarnya.” Ujarnya dengan penuh semangat.

Hae Rin mengeluarkan desahan kecewa, sama sekali tidak terkesan. Begitu juga dengan Joo, yang terlihat lebih kecewa dari Hae Rin.

“Itu tidak mungkin. Polisi saja tidak boleh masuk, apalagi kita.” Sanggah Joo mengingatkan.

“Siapa bilang kita akan minta izin.” Balas Hong Soo lebih berani dengan nada sedikit menantang.

“Hong Soo, itu kriminal.” Hae Rin berkacak pinggang.

“Hae Rin, ayahnya Ji Na juga kriminal.”

“Tapi itu bukan ber..”

"Ssstttttstttt.” Potong Hong Soo cepat-cepat, sebelum Hae Rin ceramah lebih jauh. “Hae Rinku yang manis, beranikanlah dirimu. Kita juga tidak akan lama-lama kok. Dan tidak ada yang lebih cepat daripada rencana ini. Bagaimana Joo?”

Joo tampak berpikir sebentar, lalu dia mengangguk pelan, “Kelihatannya seru, patut dicoba.” Sambil menatap Hong Soo setuju, “Tidak apa Hae Rin.” Tenangnya saat melihat Hae Rin yang    merengut. Tapi Hae Rin sama sekali tidak merasa tenang.

“Oke kalau begitu! Besok, kita akan jadi kriminal sehari!” serunya penuh semangat dan merasa bangga karena rencananya disetujui banyak orang.

Hae Rin menghela nafasnya lagi. Tak ada yang bisa menghentikan Hong Soo sekarang.

                                                                                                      ***

“Ayah Ji Na itu... seperti apa Bi?” tanya Joo ragu-ragu saat mereka semua bersantai di ruang tengah.

Paman dan bibinya menoleh bersamaan ke arah Joo, tidak mengira Joo akan bertanya begitu kepada mereka. “Kenapa?” pamannya balik bertanya, mengalihkan sejenak perhatiannya dari acara kesukaannya.

“Cuma, bertanya. Penasaran.” Jawab Joo innocent.

Paman dan bibinya saling pandang lagi. “Jadi...”

“Tidak! dia tanya padaku.” Potong bibinya tegas dan cepat. Pamannya tersenyum kecut dan memasang wajah cemberut. Bibinya berpikir sebentar lalu menatap serius Joo. “Ayahnya itu, sebenarnya bukan asli Taebaek. Dia datang sekitar kami kelas tigas sekolah dasar.”

“Pertama kali aku melihatnya aku sudah tahu kalau itu anak yang bermasalah.” Potong pamannya.

Bibinya mengeretakkan giginya, “Sebentar dong, biar aku yang menjelaskan.” Balas bibinya lebih tegas lagi.

“Aku hanya tidak suka kalau kau bercerita tentangnya.” Kata pamannya dengan nada cemburu.

Bibinya langsung melembut mendengar perkataan pamannya. Joo menatap mereka berdua bergantian. “Apa, ada sesuatu yang terjadi antara ayah Ji Na dengan bibi?” tanya Joo makin penasaran.

“Bukan cuma bibimu, tapi aku juga.” Koreksi pamannya.

Bibinya tersenyum lembut sambil mengelus lengan suaminya. “Ayah Ji Na dulu bersaing dengan pamanmu untuk mendapatkanku.” Katanya sedikit malu-malu. “Ayah Ji Na, bagaimana ya, bukannya jahat, tapi dia adalah orang yang kasar. Pada hari pertama dia pindah sekolah saja dia sudah memukul tiga orang anak sampai berdarah. Dia paling tidak suka kalau ada orang yang merebut apa yang ingin dia miliki atau apa yang dia suka. Sebenarnya, semenjak dia menikah dan punya anak, dia mulai berubah dan mulai baik kepada semua orang. Tapi, semenjak istrinya meninggal dia kembali ke tabiatnya yang lama. Berjudi, minum, dan mencari masalah.” Terang bibinya dengan wajah prihatin.

“Karena itu Joo, bibi sangat khawatir dengan Ji Na sekarang. Aku takut dia kenapa-kenapa. Ayahnya itu seperti orang gila kalau marah. Dan jelas terlihat dari wajahnya kalau Ji Na banyak menderita karena ayahnya. Kau harus cari dia ya! Kalau bisa bawa pulang kemari. Kita tidak keberatan mengurusnya bahkan, seperti anakku sendiri.” Tutur bibinya dengan halus.

Joo tersenyum tipis, tidak yakin dengan dirinya sendiri apakah dia bisa membawa Ji Na kembali. Tidak tega untuk menjatuhkan harapan bibinya, Joo tersenyum, “Akan ku usahakan.” Balasnya.

Tags: quotes

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Islamic Quotes
7      7     0     
Inspirational
Pada saat dirimu bertanya kepada Allah mengapa aku di uji? Allah menjawab: karena dirimu mampu Semoga quotes ini bermanfaat
About Secret Admirer
26      18     0     
Romance
Untukmu yang bernasib sepertiku Hanya bisa menyimpan sebuah nama Selalu menyimpan rasa rindu dan cinta Namun tak bisa memiliki hati dan raganya Menyelami lautan rasa penuh luka Merajut kisah sendiri bersama puluhan rasa dalam diam Berharap dia tahu tanpa kita mengatakannya Hatinya berisik, mulutnya bungkam Selamat menikmati 😃😃 Based on true story 🌃🌃
Premium
Pretty Words
2870      1046     9     
Inspirational
\"Pretty words aren\'t always true and true words aren\'t always pretty.\"
Pieces of Word
45      20     0     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗
Dokyeom's Late Night Bookstore
46      29     0     
Inspirational
If you are feeling lost, and everything's hard, then I hope this book could be your healing. This book contains inspirational quotes and stories, based on DK's Vlive radio, plus author's own opinion and feelings.
Kumpulan Quotes Random Ruth
40      17     0     
Romance
Hanya kumpulan quotes random yang terlintas begitu saja di pikiran Ruth dan kuputuskan untuk menulisnya... Happy Reading...