Tidak jauh dari barisan bukit yang dinamai Bukit Aliyun, serta berimpitan langsung dengan bibir laut yang luas serta tampak tak berujung, terletaklah sebuah kota kecil bernama Junier dengan kehidupan sederhananya yang ada, baik sepanjang hari yang dipenuhi dengan kesibukkan dari beragamnya aktivitas masyarakat, maupun gemerlap malam yang dihiasi dengan ribuan kerlap-kerlip batu lumos. Kota ini memiliki letak yang terpencil jika dibandingkan dengan kota yang lain di Kerajaan Miriadin, terletak amat ujung dan menjadi sahabat utama samudra. Namun kota ini tidak dianggap remeh atau tidak terbelakang, malahan kota ini dapat menjadi kota yang terbilang terpandang.
Dari tepi Sungai Teirie, terlihat seorang remaja lelaki berlarian menyusuri tepian sungai dengan bertelanjang kaki. Ia menikmati dinginnya embun pagi hari yang menggelitik dan sedikit menyengat itu di telapak kakinya. Ia selalu menikmati momen ini, karena ia tahu bahwa nanti ia akan disibukkan dengan aktivitas kesehariannya.
Remaja itu berhenti, menghirup udara pagi dingin dengan sekuat tenaga mengisi penuh paru-parunya hingga merasa dadanya kedinginan, lalu menghembuskannya dengan kuat pula. Kepulan uap air keluar dari lubang hidungnya. Ia mencoba meniup udara hingga kepulan uap air hangat itu meluncur halus dari mulutnya, mencoba menangkap kepulan itu dengan menangkupkan kedua belah tangannnya, yang hasilnya hanya sia belaka meskipun ia berhasil merasakan hangatnya kepulan itu. Tak berhenti sampai situ saja, ia menggosok-gosokkan tangannya, lalu menempelkannnya ke beberapa bagian tubuh yang lain guna berbagi hangat.
Mata remaja itu menerawang jauh ke langit, mendapati bahwa tidak ada sinar kemerahanpun yang terlihat, tanda sang surya masih belum berani memamerkan wajahnya. Setelah mendongak, ia sekarang menunduk, menatapi aliran air Sungai Teirie yang tenang dan bening itu. Sekilas, ia mendapati pantulan sosok di seberang sana. Sosok itu memiliki rambut pendek berwarna coklat kemerahan, lengkap dengan sepasang iris yang senada warna, juga warna kulit kuning langsat yang ikut menghiasi.
“Hai, namaku Erno Orkney. Jika boleh tahu siapa nama—ah, sial. Itu terlalu buruk,” gusarnya sambil mengacak-acak rambutnya. Sial, bagaimana aku berbicara dengan gadis bila terus seperti ini?
Erno mengulangi dialog serupa berulang kali dengan cerminannya itu. Ia menggunakan beragam dialog, namun semua dari mereka berakhir sama, sebuah gelengan keras dari Erno sendiri. Ia terlalu malu untuk mengakhiri tiap kalimat.
Jika saja adiknya mengetahui kelakuannya yang memalukan ini, ia akan malu dan bersemu merah. Sempat, ia tertangkap basah berbicara seperti ini dengan sebuah cermin. Hasilnya, ia mendapat cacian dari adiknya itu. “Kakak narsis! Apakah seputusasakah kakak dalam mencuri hati gadis hingga jatuh hati dengan diri sendiri? Menjijikkan!“ begitulah cacian yang dilontarkan Florence Orkney pada kakaknya itu.
Erno menghembuskan nafas kecil. Yah, jika ia membandingkan dirinya dengan adiknya yang jenius itu, ia bukanlah apa-apa. Gadis itu cantik dan cerdas. Itu terlihat dari sorot mata birunya yang ia warisi dari si ibu. Aura yang dipancarkan gadis itu jugalah berbeda dengan orang pada umumnya, menambah-nambah kesan wibawa yang juga ia warisi dari si ayah. Sementara Erno, ah, ia tidak diwarisi apapun, karena memang bukan darah daging dari keduanya.
Sinar jingga menarik pandangan Erno dari lamunannya. Ia mendongak menyongsong Timur, mendapati bahwa Sang Surya perlahan bangkit dari cakrawala. Erno meregangkan otot-ototnya dimulai dari tangan, kaki, pinggang, dan seterusnya sambil menunggu panas matahari menghangatkannya. Setelah cukup pemanasan, Erno kembali berlari menyusuri Sungai Teirie dengan tujuan menuju rumahnya sendiri.
Rumah Erno tidaklah berbatasan langsung dengan luasnya laut atau dibangun di atas tanah berpasir putih pantai, melainkan sedikit jauh dari pantai, lebih tepatnya terletak di salah satu bukit yang tidak terlalu tinggi. Siapapun yang tinggal di sana, mereka akan dihadapkan oleh dua pemandangan yang amat hebat. Di sisi Timur terdapat barisan Bukit Aliyun, yang di kaki bukitnya terdapat teduh dan rindangnya Hutan Magis Grende yang membentang luas, sementara di sisi Barat terdapat samudra biru yang nantinya akan menjadi kemerahan pada sore, dan menjadi biru gelap ketika malam.
Belum sampai pada itu saja. Karena Erno tinggal di bukit, ia dapat melihat dengan jelas gugus bintang yang menghiasi luasnya angkasa gelap. Mengagumkan dan indah, serta tentunya megah. Karena pemandangan seperti itu, Erno sering kali keluar pada larut malam atau sebelum fajar muncul hanya untuk mengamati konstelasi bintang, yang nantinya akan meredup dikalahkan oleh sinar mentari.
Jalanan paving menanjak menuntun kaki Erno untuk kembali ke rumah. Rumah itu sudah terlihat di penghujung pandangannya. Itu sebuah rumah yang merangkap dengan toko alat-alat sihir dan berbagai macam bahan yang bersangkutan. Tepat di depan rumahnya, terdapat kedai yang dilengkapi dengan tenda serta dua meja yang dijajar apik. Di atas meja sudah tersusun berbagai macam barang dagangan sebagian sudah tertata dan sebagian lagi masih diarsiteki oleh seorang wanita.
Wanita itu tak lain adalah ibunya sendiri. Ia bernama Morgausse Orkney. Wanita itu sudah berkepala empat, namun berkat ramuan khusus yang suaminya racik, ia dapat menjaga penampilan mudanya dengan amat baik. Bahkan banyak mata mengira bahwa Morgausse masih berumur dua puluh tahunan, padahal usianya sudah hampir separuh abad.
Mata wanita yang biru itu menangkap sosok Erno. Morgausse memanggilnya, meminta bantuan untuk menyiapkan toko sebelum buka di jam operasionalnya. Erno dengan sigap membantu ibunya untuk merapikan kedai. Setelah lima belas menit membantu, ia beranjak masuk untuk menyiapkan dirinya dengan pergi ke tempatnya belajar.
Di Kota Junier ini, hanya ada satu sekolah sihir yang setingkat dengan akademi menengah, tidak banyak yang bisa diharapkan dari kota terpencil ini. Itu sekolah yang dinilai sudah cukup dan merupakan standar di Miriadin.
Sayangnya, Erno tidak diterima di sana. Ia tidak lulus dalam ujian masuk. Hal ini tentunya amat mengecewakan kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Mengingat kejadian itu hanya mengganggu jalan pikirannya saja. Dengan keteguhan hati, ia akhirnya memilih untuk menjadi murid praktik dari seorang guru yang merupakan kenalan ayahnya sendiri.
"Jadi, ini adalah anakmu, Loth?" tanya gurunya saat itu. "Kesalahan macam apa yang kau lakukan hingga anak seorang Petinggi Asosiasi sepertimu tidak diterima di akademi sihir, huh?" tanya gurunya, yang saat itu Erno jawab hanya dengan tundukan dan membisu. "Baiklah jikalau tak menjawab. Tak apa. Namaku Enire, salam kenal! Aku harap kau dapat berkembang dalam bimbinganku!"
Begitulah yang terjadi ketika Erno ditolak dari akademi, ia menjadi murid langsung seorang kenalan, yang pastinya kenalan itu tidaklah dapat dianggap remeh. Sejak saat itu hingga sekarang dan mungkin bertahun-tahun lagi, Erno akan belajar ilmu alkimia dari ilmu yang Enire kucurkan.
Suara derap kaki menyadarkan Erno dari lamunannya ketika menyantap sarapan pagi berupa rebusan daging sisa kemarin malam. Derap kaki itu awalnya terdengar di langit-langit ruang makan, lalu menjalar hingga ke tangga, dan lenyap karena redaman lantai. Erno tahu siapa yang turun. Itu adalah adiknya, Florence Orkney. Seperti biasa, gadis itu tampil menawan dan anggun. Erno menatap sejenak, lalu enggan melanjutkannya dan beranjak dari tempat duduknya.
Hubungan mereka tidaklah terlalu akur. Bukan karena pertikaian normal antara kakak-beradik yang memang biasanya terjadi, tidak, bukan itu. Melainkan fakta bahwa keduanya bukanlah saudara sedarah, ditambah kejeniusan Florence yang tampak sejauh angkasa dan bumi. Erno juga menghapus mimpinya untuk menjadi seorang petualang atau seorang ilmuwan sihir karena kemampuannya yang tidak matang itu. Ia sekarang menjadi sosok pemurung.
Keduanya memilih berangkat dari rumah setelah lima menit. Tidak ada perbincangan di antara mereka hingga mereka harus berpisah di perempatan jalan. Erno berjalan ke arah kanan, sementara Florence tetap berjalan lurus ke akademi sihir. Setelah beberapa langkah, Erno berhenti dan menoleh mengamati punggung Florence dari kejauhan. Ia tak bisa mengabaikan dorongannya menatap Florence, lalu dalam hatinya yang padam itu mendoakan kesuksesannya. Bagaimanapun pula, Florence tetaplah adiknya, dan sudah kewajibannya mendoakan dan mendukungnya.
Erno kembali berjalan. Jalanan mulai ramai dengan aktivitas. Hal itu terlihat dari orang-orang yang memadati Pasar Leone. Di sana terdapat beragam barang yang ditawarkan. Mulai dari bahan makanan, batu lumos, bahkan barang bekas—yang sudah hampir menjadi rongsokan—juga dijual di sana. Erno melintasi lautan manusia dengan mudah.
Setelah berjalan melalui Pasar Leone, ia sampai di distrik khusus tempat para peramu sihir tinggal. Di sana terdapat jajaran rumah para tabib juga para pengracik ramuan. Orang-orang menyebutnya sebagai Keirayo, tempat tinggal para peracik serta tabib. Gaya Keirayo yang berjajar itu tampak mirip dan serupa satu sama lain. Satu hal mencolok yang membedakan tiap rumah itu hanyalah papan nama yang tergantung di dinding depan atau yang ditegakkan oleh sebuah palang.
Erno berhenti di rumah dengan papan nama yang bertuliskan "Enire". Di sana, ia masuk setelah mengetuk pintu tiga kali, lalu masuk dengan menggeser pintu. Biasanya bau ramuan herbal langsung menyergap hidungnya seketika ia masuk. Namun, kali ini tidak, bau ramuan herbal seolah lenyap dari rumah Enire.
"Guru, aku datang." Erno berjalan melintasi lorong tengah. Sekarang ia sampai di depan pintu ruang kerja gurunya, yang sering kali menjadi tempat eksperimen unik dan tempat berlatih mereka. Erno mengerutkan dahi, sedari tadi ia tidak mencium bau herbal khas. Ia sempat berpikir bahwa gurunya berhenti dari eksperimen. Tapi hei, ia ingat betul bahwa ia dan gurunya sedang dalam eksperimen yang penting.
Erno meletakkan tangannya di gagang pintu, lalu menarik daun pintu. Derit pintu terdengar halus. Saat ia membukanya, ia tak menemukan siapapun di sana. Tumpukan kertas tampak berjajar rapi. Itu tidak seperti biasanya.
"Kau datang terlambat, Erno." Erno menoleh cepat, terkejut mendapati bahwa Enire berada di sebelah pintu, bersandar di dinding dengan bersedekap. "Dilihat dari ekspresimu, kau tak menyangkaku disini, bukan? Baiklah akan aku jelaskan beberapa hal. Omong-omong, khusus untuk hari ini, kita ambil istirahat. Apa kau tidak kelelahan setelah melakukan percobaan dua hari kemarin?"
Erno mengangguk patuh, "baiklah jika itu kehendak guru. Lagipula Guru benar, kita perlu istirahat hari ini."
Enire mengangguk, pria itu lalu berjalan mendahului Erno, lalu keduanya duduk di salah satu kursi. Enire telah menyeduh teh dalam teko dan menuangkannya dalam dua cangkir dan menyuruh Erno untuk meminumnya.
"Jadi, pasti ada alasan tersendiri guru memilih untuk beristirahat, bukan?" tanya Erno sembari meneguk teh.
"Ini tentang hasil eksperimen kita kemarin. Kau masih ingat koin Miriad yang kita coba kemarin?" Erno jawab mengangguk, membiarkan Enire melanjutkan penjelasan, "hasil dari eksperimen kemarin adalah katalis sihir yang lebih kuat."
"Katalis sihir?"
"Iya, katalis sihir. Katalis yang dapat menyokong penggunanya untuk merapal sihir yang tingkatannya lebih tinggi. Seperti katalis pada umumnya, katalis sihir juga mengurangi energi aktivasi, meskipun katalis ini tidak terlalu efektif."
Perbincangan keduanya dilanjutkan dengan diskusi-diskusi yang bersangkutan dengan eksperimen lainnya. Mereka kadang berdebat karena permasalah yang sepele. Hal itu menyenangkan. Itulah hiburan Erno di tengah kesehariannya yang lumayan suram ini. Meskipun ia tak mengenyam bangku akademi, tapi ia bersyukur dapat menjadi murid Enire.
Hari-hari seperti itulah yang Erno rasakan dan dambakan. Saat itu, ia belum mengetahui takdir serta perjalanan hidup yang menantinya, sebuah kisah yang nantinya akan melegenda hingga dunia sendirilah yang mematri namanya dalam batu nisan keabadian.
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella