Read More >>"> Sejauh Matahari (Kemudian,) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Sejauh Matahari
MENU
About Us  

Jingga pun tinggal satu kostan dengan Mey. Sementara ini bertiga sama Putri. Ibu kost yang ternyata juga masih ingat dengan Jingga, sudah memperbolehkan mereka kost bertiga. Karena menurut rencana, bulan depan ini Putri akan dinikahi oleh Havid. Akhirnya jadi juga mereka menikah. Baguslah. Kelamaan pacaran malah mengundang dosa.

“Cie, balik lagi lu, Ga!” sapa Mami Cece diambang pintu, yang tinggal di kamar yang bersebelahan dengan Jingga. Awalnya dia seorang SPG, lalu menikah dengan Agus; seorang staff Carrefour yang kini naik kasta menjadi Team Leader.

“Yoi, bro!

Jingga dan Mey pun keluar kamar dan mengobrol di depan.

Bunda Imut yang tinggal di depan kamar Jingga pun keluar. “Wuidih, penghuni agung balik lagi.” Ia juga awalnya seorang SPG, kemudian menikah dengan staff Carrefour. Suami Bunda Imut biasa mereka memanggilnya Babeh Tom, kini bertugas di Carrefour Tangerang City dengan membawa serta Agus; suami Mami Cece.

Jingga hanya tertawa disapa seperti itu. Keempatnya pun mengobrol nostalgia dan berbagi cerita tentang banyak hal.

Libur yang berbarengan minggu ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mey untuk mencurahkan isi hatinya. Temanya tak jauh dari perasaan gagal move on-nya Mey dari Galih. Siapa kira jika Galih masih begitu berarti bagi Mey. Ketangguhannya menjaga harapan seakan tak pernah mati.

Setahun belakangan, Mey tak pernah putus asa untuk berharap bahwa Tuhan akan memberinya keajaiban. Bahwa dengan palu-Nya akan meruntuhkan karang dihati Galih. Karang yang semakin mengeras untuk mempertebal pertahanan dari sesuatu yang bernama kesakitan.

Bukan salah Galih juga, kalau dia agak kelewatan. Tiga kesempatan lewat begitu saja dari Galih untuk Mey. Galih jaga perasaan. Mey tidak berhenti berharap. Salut! Tak ada yang salah dengan harapan yang dimiliki Mey. Dia hanya meyakini apa yang menurutnya benar.

“Eh, elu balik kesini, balikan juga nggak ama Ferro?” seloroh Bunda Imut, melakukan pengalihan topik.

Mami Cece dan Mey lantas tertawa. Mengingat nama Ferro, sudah tentu mengingat kejadian dimana Jingga berteriak hingga seluruh penghuni kostan keluar. Jingga hanya menggarukkan kepalanya yang tak gatal.

“Gue nunggu nih, kejadian spektakuler dari Jingga buat penghuni kostan ini,” ujar Mami Cece disambut tawa mereka bertiga.

Jingga hanya ikut tertawa. Memang tak ada yang bisa ia lakukan selainnya.

Dia sendiri belum begitu memahami apa yang ia inginkan dari Ferro sekarang. Sejak lepas dari Ferro setahun yang lalu, Jingga belum menemukan orang yang bisa mengubah hatinya. seperti Ferro yang telah mengubah hatinya.

Tidak ada yang tampak istimewa dari seorang Ferro. Dia adalah standar pria kebanyakan. Tapi, dia mampu menciptakan rasa nyaman bagi orang yang disampingnya. Dia. Baru dia yang mampu seperti itu.

“Kenangan apa yang kita punya, hingga aku tak mau melupakanmu. Rasa apa yang kita miliki, hingga aku tak mau kau pergi. Renungan apa yang kita pikirkan, hingga kita berpisah ….”

*

Jingga dan Mey baru pulang dari tempat nasi goreng ketika ada pria yang tempo hari Jingga temui dikantin. Pria yang dipikirnya staff baru, ternyata seorang Sales Manager area Bazaar.

“Ngapain lu disini?” tanyanya menantang setelah melihat kehadiran Jingga. Dia sedang bertengger manis diatas motor yang terparkir didepan kamar Havid. Pertanyaan itu jelas ditujukan padanya. Karena dia menunjuk Jingga dengan ponselnya.

“Lu sendiri ngapain disini?” baliknya bertanya saat Jingga dihadapannya. Tapi Jingga tidak minat untuk berhenti.

“Gue nginep.”

“Gue ngekost disini,” sahutnya berlalu naik kekamar.

“Lu ngekost disini?” serunya setengah berteriak, karena Jingga terus berlalu kekamarnya yang berada diatas. Jingga juga tidak menyahut. Ia lebih tidak sabar ingin segera makan daripada meladeni manusia tengil macam dia.

“Siapa?” tanya Havid melongokan sebagian badannya dari dalam kamar yang memang terbuka pintunya.

“Siapa ya namanya,” ia tampak berpikir. Kemudian, “oia, Jingga.”

“O, Jingga.” Havid menarik kembali badannya.

“Lu kenal juga?” serunya penasaran.

Hanya suara Havid yang terdengar, “hooh.”

Dia mengernyitkan dahinya, lalu memandang kamar yang diatas.

Kostan bu Ello—nama pemilik kost yang Jingga tempati ini, tepat berada di belakang rumahnya. Ada delapan kamar, empat diatas dan empat lagi dibawah. Pondasi bangunannya menyerupai huruf “U”, sehingga lahan tengah dibawah digunakan untuk parkir motor penghuni atau pengunjung kostan.

Semua penghuni kostan ini adalah karyawan Carrefour. Mulai dari SPG/M, Staff, Team Leader bahkan Store Manager lengkap kumpul disini. Sebelumnya, Jingga pernah tinggal dikostan ini hampir setahun. Lalu ia pindah tugas dan sekarang kembali lagi setahun kemudian. Tidak menyangka waktu terus bergulir mengubah keadaan. Entah mengapa ada yang tak berubah dengan hatinya.

“Dia itu siapa sih, Mey?” tanya Jingga disela makan.

“Siapa?”

“Yang itu tadi,” Jingga suka geram kalau bicara sama Mey. Dia jarang konek kalau tiba-tiba diajak langsung ke topik, mesti dijabarkan lebih dulu kemudian mengerti.

“Oh, bang Langit.”

O, Langit.

“Beneran SM?” tanyanya meragukan.

Beberapa orang lebih mudah menyingkat jabatan seseorang, seperti Sales Manager Area menjadi SM, Team Leader menjadi TL, sedangkan Store Manager, jabatan tertinggi di suatu store, disingkat menjadi S01. Tiap area memiliki satu SM, terpecah menjadi beberapa departemen, disesuaikan dengan penyortiran suatu kebutuhan. Dimana tiap departemen memiliki satu TL.

Mey mengangguk mantap, “atasannya bang Ferro.”

Jingga juga baru mengetahui bahwa Ferro sudah menjadi TL.

“Emang dia baru disini?”

“Emh, nggak juga,” Mey tampak berpikir disela-sela mengunyahnya, “kalo nggak salah abis lebaran tahun kemaren, Mbak.”

“Yaelah, ntu mah baru!” Belum sempat Mey protes, Jingga memotong, “baru liat maksudnya.”

Mey langsung manyun sambil mengunyah melihat Jingga menyeringai lebar.

“Bang Langit ganteng loh, Mbak,” ujarnya.

Maksudnya?

“Banyak yang naksir.”

Jingga masih sibuk mengunyah tanpa mau sibuk berpikir.

“Tapi dia jomblo, Mbak.”

Jingga terus mengunyah sambil menatap Mey.

“Dan dia nggak mau pacaran. Maunya pacaran setelah menikah, Mbak,” lanjutnya.

Jingga sudah mulai mengerti maksud dan tujuan anak ini.

“Teeerruuusss …,” sambil merapikan bekas makanannya.

“Kali aja Mbak Jingga minat?” selorohnya seraya menyeringai.

“Bungkuslah satu, karetnya dua,” sahut Jingga asal.

Mey pun tergelak mendengarnya. “Biar nggak ketuker ya?”

“Embeerr.”

“Kalo abis, Mbak?”

Preorder bisa kali.”

Lagi-lagi Mey tergelak. “Gila ah, Mbak Jingga!”

“Lu lagi iseng banget. Urusin Galih aja sono. Kali aja besok dia luluh.”

“Huu …, biarin aja. Nggak papa, kalo nggak mau tahu. Mey punya kabar bagus dari bang Ferro,” serunya setengah mengancam.

“Ferro lagi jomblo?” tebak Jingga dengan still yakin.

“Kok, tahu sih?” protesnya sebal.

“Nggak penting.”

Mey memanyunkan bibir bawahnya, meledek. Tiba-tiba ponselnya berdering, dan kami melupakan pembahasan mengenai Langit, Ferro ataupun Galih.

*

“Eh, mencret!” panggil seorang pria imut nan cakep dari meja kantin. Siapa lagi kalau bukan Galih. Disampingnya juga ada Anto. Mereka berdua masuk pagi dan sedang istirahat sekarang. Jingga yang juga schedule pagi, baru naik istirahat. Kondisi kantin jam satu siang memang tidak terlalu ramai. Tidak seperti jam-jam istirahat pada seharusnya.

            “Baru istirahat, Neng?” tanya Anto dengan logat jawanya yang masih kental.

            Jingga hanya mengangguk sambil menyeruput es teh manis milik Anto.

            “Lu berdua belum makan apa udah selesai makan?” tanyanya heran karena Jingga sama sekali tidak menemukan piring kotor di depan mereka alias mejanya bersih.

            “Belum, katanya Kang Mas mau nungguin Neng dulu,” sahut Galih disambut tawa garing dari Anto.

           “Oh, so sweat …,” seru Jingga sambil beranjak untuk memesan makanan tanpa mengambil hati candaan Galih.

            Ternyata, Jingga berbaris di belakang Langit. Dia pun menyadari kehadiran Jingga. Sistem makan disini seperti di warung makan pada umumnya. Makanan diambilkan oleh petugas kantin. Bedanya, makanan dibayar lebih dulu sesuai dengan menu yang kita pilih. Ada juga beberapa menu yang dibuatkan langsung, seperti mie tek-tek, mie rebus, dan lain-lain.

            “Baru makan lu?” tanyanya sambil menunggu giliran.

            “Keliatannya?”

Giliran Langit memesan makanannya, dan berlalu dari pandangan Jingga. Saat Jingga kembali ke meja dengan makanannya, ia mendapati Langit selalu disana setiap ia kemana.

“Lu lagi?” ujarnya ketika Jingga menaruh makanan dan minumanku dimeja.

“Harusnya yang ngomong kayak gitu tuh, gue!” seru Jingga.

Jingga pun menyadari kalau dihadapan Galih dan Anto sudah ada makanan. Entah kapan mereka memesannya.

Ah, peduli amet dengan semuanya.

“Cret, lu ngekost lagi?” tanya Galih disela makannya.

Jingga hanya mengangguk.

“Ama Mey lagi?” sekarang giliran Anto yang bertanya.

Jingga mengangguk lagi.

“Lu nggak mau ngajak kita main kekostan?” pancing Galih.

Jingga mendelik jail. “Penting?”

“Wuah, songong dia, Lih, sekarang,” seru Anto dengan logat Jawanya. Galih hanya menggeleng pasrah, sedangkan Jingga tersenyum puas.

“Lu pelit atau nggak hobi ngomong?” kali ini giliran Langit yang buka suara.

Belum Jingga berkicau, Galih sudah mengambil start lebih dulu. “Nggak bener dua-duanya lu. Dia aja pelit ngomong, apalagi nggak hobi ngomong. Lu ngomong sekali, dia bisa lebih. Jangan heran kalau dia ceriwis. Tapi, kalo dia diam, itu tanda-tanda yang nyata …. Auw!!!”

Satu tendangan sukses menyudahi kalimatnya, yang terakhir itu rese banget. Jingga menatap lebih dari tajam, Galih malah pamer gigi.

“Sebelumnya pernah disini kan?”

Nih, bocah ngapain sih nanya-nanya?

“Hmm,” bukan malas menjawab, tapi lagi sibuk mengunyah.

Langit manggut-manggut tidak jelas. “Pantesan.”

Jingga menatapnya heran.

“Awalnya gue heran. Lu SPG baru, tapi sehari aja lu disini, udah pada tahu siapa elu. Padahal apa sih, cuma lu doang.”

Wuah, nyari ribut ni orang.

“Cewek jutek,” sambungnya.

Rese.

“Aneh lagi,” lanjutnya.

Wuanjir!

“Hei! Mau lu apa sih? Maksudnya apa coba bilang gue aneh?”

“Emang lu aneh. Nyanyi-nyanyi nggak jelas. Lagunya juga itu-itu mulu. nggak kreatif!” selanya.

Jingga yang mau menyemprotnya dengan kata-kata, tidak jadi karena dicampur rasa heran. Pasalnya, entah kapan dan dimana dia mendengar Jingga bernyanyi. “Dimana lu denger gue nyanyi?”

Langit tersenyum aneh. Jingga sampai bergidik melihatnya.

“Neng masih suka nyanyi lagunya Kerispatih? Yang gimana, Lih?” tanyanya beralih ke Galih.

Galih pun langsung bernyanyi, “dirimu dihatiku, tak lekang oleh waktu. Meski kau bukan milikku. Intan permata….”

“Bukan yang itu,” potong Langit.

Asli. Suaranya fals banget.

“Yang mana, Cret? Tanya Galih heran. Tak salah jika Galih menyanyikan lagu itu. Karena lagu itu yang menjadi soundtrack patah hatinya Jingga ketika berpisah Ferro.

“Ingatan Lalu-nya Omelet,” jawab Jingga dan menyeruput abis es teh manisnya.

“O …,” seru mereka bertiga kompak.

Menyebalkan.

“Lagunya ganti lagi, Neng?”

Anto ini memang tumbuh besar di Jawa. Makanya logat Jawanya kental banget. Tapi, jangan aneh kalau Sundanya lancar dan halus. Ja-Sun banget. Alias, Jawa-Sunda. Lahir di Sumedang, gede di Solo.

“Nggak kok.”

“Lagunya bagus. Tapi aneh kalo dia yang nyanyi,” kritik Langit. Dan ini balasannya.

BUGH!!!

*

 

~Terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini. Masih mau melanjutkan untuk membaca, kan? ~

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    aih sedihnya :(

    Comment on chapter Kepergian Ayah
  • Aisykhasin

    Ceritanya bagus, menyentuh banget.

    Comment on chapter Kepergian Ayah
Similar Tags
Teman
20      14     0     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Menghapus Masa Lalu Untukmu
52      25     0     
Romance
Kisah kasih anak SMA dengan cinta dan persahabatan. Beberapa dari mereka mulai mencari jati diri dengan cara berbeda. Cerita ringan, namun penuh makna.
JAR OF MEMORIES
382      280     1     
Short Story
and story about us a lot like a tragedy now
It Takes Two to Tango
5      5     0     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Sendiri
6      6     0     
Short Story
Sendiri itu menyenangkan
Tentang Kita
37      19     0     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
SILENT
73      14     0     
Romance
Tidak semua kata di dunia perlu diucapkan. Pun tidak semua makna di dalamnya perlu tersampaikan. Maka, aku memilih diam dalam semua keramaian ini. Bagiku, diamku, menyelamatkan hatiku, menyelamatkan jiwaku, menyelamatkan persahabatanku dan menyelamatkan aku dari semua hal yang tidak mungkin bisa aku hadapi sendirian, tanpa mereka. Namun satu hal, aku tidak bisa menyelamatkan rasa ini... M...
When You Reach Me
108      80     0     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
The Last Name
25      21     0     
Fan Fiction
Ketika wanita dan pria saling mencintai satu sama lain apakah sebuah hal yangsalah? Tidak, tidak ada yang salah. CInta menjadi salah jika kau mencintai seseorang yang secara takdir memang tidak bisa kau cintai.
NADI
62      52     0     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...