Kertas di depanku ini bisa disebut lembar harapan.
Kertas putih itu akan diisi nama, kelas, tanggal dan tempat lahir, serta deskripsi harapan yang ingin kita raih setelah tiga tahun di SMA Melati Nasional.
Aku cukup bingung karena deskripsi itu tidak boleh harapan mengenai perguruan tinggi, jodoh, maupun pekerjaan impian. Harapan itu harus mengenai diri kita.
Kularikan pandangan ke sekeliling. Dari 22 siswi hanya 3 orang yang menunduk sibuk dengan kertas. Lainnya sama sepertiku menerawang.
Aku memainkan pipi menggunakan ujung pulpen. Harapan yang ingin kuraih selepas dari sini, jelas materi. Dan untuk diriku sendiri, jelas yang baik – baik. Tapi aku tidak tahu apa pastinya.
Mendadak aku teringat pesan Ayah yang sering ia lontarkan setiap aku curhat.
“Hidup itu pasti ada ujian. Itu yang membuat jalan hidup kita menarik. Coba, apa ada film yang tidak ada konfliknya? Senang terus. Pasti tidak ada. Pertanyaannya, kalau setiap orang pasti mendapat ujian kenapa ada yang berhasil dan gagal? Karena takdir yang menggariskan begitu. Walaupun begitu, orang yang berhasil itu sebenarnya sudah berusaha dan bertawakkal sama Tuhan. Sedangkan yang gagal itu mungkin hanya bertawakkal tanpa diiringi dengan usaha. Dan kunci seorang yang bahagia adalah bersyukur. Ingat pesan Papa, orang sukses pasti pernah gagal. Orang bahagia pernah merasakan kesedihan. Jadi, kamu harus semangat dan jangan sekali pun terpuruk.”
Berusaha. Pantang menyerah. Bersyukur. Ikhlas. Bertawakkal.
Empat hal yang ditekanan Ayah yang ingin kuterapkan dalam diriku ini. Tapi bagaimana menjelaskannya? Kalau aku langsung menulis begitu nanti seperti essay anak SD.
Aku lirik Roro—selaku teman sebangku—yang sedang merenung. Aku ingin menanyakan pendapatnya. Ketika kutanya akan kesediaannya, dia bersedia mendengarkan. Dia sesekali mengangguk takzim sebelum memberikan jawaban:
“Menjadi orang yang tulus.”
“Loh?” Aku melongo tak mengerti. Tak kusangka jawaban Roro begitu singkat jauh dari bayanganku bahwa dia bisa menjelaskan lebih detail dalam satu jawaban.
“Loh?” Katanya mengulang responku dan ikut bingung dengan responku. “Kok bingung sih Ne? Gini loh, dalam bahasa Indonesia arti lain tulus itu apa? Ikhlas. Ikhlas itu kalau dijalankan bisa berhubungan dengan banyak hal termasuk poin penting yang kamu sebutin tadi. Berbuat tulus itu susah tau! Enggak semua orang bisa. Menurut aku, kalau kamu ingin jadi orang yang tulus itu bagus Ne.”
Aku termenung perlahan memahami penjelasan Roro. Tak lama, aku memantapkan hati ingin belajar menjadi orang yang tulus. Walaupun keinginanku ini tak akan mendapatkan balasan materi, kupikir tidak masalah. Cukup Tuhan saja yang membalasnya. Memiliki budi pekeri yang baik tidak pernah merugikan bagi diri sendiri dan orang lain.
Baik dia akan menulis itu di lembar harapannya.
---Bersambung----
love this story :)
Comment on chapter Beverly