Semenjak sabtu kemarin, aku mulai lari pagi.
Iya, aku menaati pesan Ayah. tubuhku mengkhianatiku. Tubuh ini sudah memiliki alarm sendiri ternyata. Apalagi, ada rasa cemas yang menggelayuti hati. Itu bisa dianggap sebagai batterynya.
Dua puluh menit sebelum adzan zubuh aku terbangun dan tidak bisa dipaksa tidur lagi. Jadilah aku pemanasan setelah shalat tahajud. Aku membangunkan teman sekamar untuk bersiap ke masjid.
Sekembalinya, aku segera memakai sepatu abu – abu dengan merek ternama yang siap kubawa lari.
“Mau kemana Ne?” Tanya Roro melihatku memakai sepatu.
“Lari. Mau ikut?”
“Rutenya?”
“Sampai lelah.”
“Jauh tuh kayaknya.” Sahut Uchi.
“Mau ikut enggak? Keburu mataharinya terbit,” Kataku yang berdiri diambang pintu.
Roro menyambar sepatu. “Ikut! Mau diet.”
Semua tertawa yang disusul sorakan. Roro memang memiliki badan yang paling gempal. Setelah itu baru Naila. Sedangkan yang paling mungil badannya yaitu aku. Bagaimanapun dan jam berapa aku makan, takkan bisa menambah berat badanku drastis. Jika naik, hanya dua kilogram saja.
Karena hari ini hari senin, teman – temanku sukarela menyisakan air mandi untukku. Karena sejak kemarin aku baru kembali ke kamar lewat dari waktu air hidup.
Setelah dua hari Roro menemani. Hari ini Roro tidak ikut karena tidak enak badan. Sepertinya itu efek dari diet ketatnya, yang baru seminggu ia lakukan.
Jadwal baruku sejak sabtu kemarin adalah setelah lari aku mengantarkan sarapan untuk Dipo yang kutitipkan di meja piket—tidak lupa dengan penutup wajah. Pagi ini ternyata isi tas kertas—sarapan Dipo di dalamnya—berbeda. Di dalam sana terdapat tabung mini yang bertuliskan Inhaler.
Aku tahu obat apa itu. Obat untuk penderita asma.
Terlepas dari keherananku akan obat asma itu, pagi itu keajaiban hadir.
Akhirnya, Dipo tidak membeli susu. Melainkan dia memakan bekal Mamanya di kantin. Di depan teman – temannya. Itu kemajuan. Sungguh, aku terharu melihatnya.
Dari kejahuan aku bisa melihat apa bekalnya. Seketika aku tahu alasan kenapa Dipo mendadak mau memakan bekal Mamanya secara terang – terangan. Bekalnya pagi ini bukan nasi, melainkan pisang goreng. Dengan wajah berseri dia melahap satu persatu.
Kelas minat yang kupilih hari ini adalah kimia, geografi, ekonomi, musik, dan matematika. Jujur, itu aku asal memilihnya.
Dan keajaiban keduanya adalah semua mata pelajaran itu aku sekelas dengannya. Walaupun dua pelajaran dia memilih duduk dengan Syaila ketika gadis itu sekelas dengan kami. Serta pelajaran musik yang bertempat di lab, tidak memungkinkan kami semeja.
Aku keluar dari kelas dengan hembusan napas pelan. Senang sekali, kelas minat hari ini berakhir. Saatnya aku membersihkan diri dan berkumpul dengan teman kamar 9.
Aku melipis merasakan ponsel disakuku bergetar.
“Ya Kak?”
“Ne, tolong banget. Aku ada tugas yang belum selesai dan enggak bisa ditinggalin.” Katanya dengan napas pendek – pendek, menandakan situasi mendesak.
“Apa Kak? Insya Allah bisa kubantu.”
“Tolong beliin boxer ke Indomaret.” Suaranya pelan seperti berbisik.
Butuh dua detik aku mencerna kalimat itu. Seketika aku melongo.
“HA? APAAN!?” Tanpa sadar aku berseru. Beberapa murid yang melewati lorong menoleh kearahku.
Itu tidak penting. Permintaan Rozan sungguh gila dan lebih utama.
“Buat Dipo Ne, tolong banget. Tadi Mamanya telepon. Cucian pakaian dalemnya salah kirim sama laundry nya. Dan persediaannya habis. Dia butuh banget, tolong Ne.” Kata Rozan memohon sangat. Mendengar suaranya aku tahu dia juga tidak tega menyuruhku untuk ini.
Aku berdecak. Wajahku berubah kesal. “Harus aku yang beli?”
“Iya Ne. Aku bener – bener enggak bisa kemana – mana sekarang. Enggak enak juga nyuruh temen – temen yang lain. Tolong ya Ne?”
Sekali lagi aku berdecak. Sungguh kalau di sini sepi aku akan meraung kesal. Bibirku sudah jatuh lima senti dari biasanya.
“Kak, kira – kira apa kata mba – mba atau mas – mas Indomaret?”
------Bersambung-------