Sejak dulu, Sia menempatkan diri untuk sekadar berada di balik layar. Ia enggan untuk terlihat menonjol di mata orang lain. Meski sedari tubuhnya masih terbalut seragam putih merah, nilai akademiknya yang gemilang, cukup mencuri perhatian para guru yang mengajarnya.
Namun sikap tertutup yang gadis itu tunjukkan, membuat para guru, atau pun teman sebayanya kesulitan untuk berinteraksi dengannya. Hal yang memang sengaja Sia lakukan. Membangun sebuah tembok tak kasat mata yang ia gunakan untuk membatasi diri dengan orang-orang di sekitarnya. Demi seseorang yang enggan menerima kehadirannya yang di yakini sekadar sebuah kesalahan.
"Mau jadi pawang pintu?" Suara itu menyentak Sia dari lamunan. Menolehkan wajah, gadis itu menemukan sesosok pemuda yang tengah bersedekap tangan di hadapannya.
"Jangan berdiri di depan pintu seperti itu. Kau bisa membuat para pelanggan lainnya kabur." Ucapnya, menampilkan wajah serius, sembari sesekali melarikan pandangan dari balik punggung Sia.
Penasaran, gadis itu mengikuti arah pandang Aldric, sebelum kemudian meringis, saat mendapati beberapa wanita. Baik yang masih remaja seusianya, maupun yang telah berusia paruh baya, terlihat berderet di belakangnya, sembari melirik kearahnya dengan mimik wajah takut. Seolah tengah di suguhkan sebuah penampakan yang untungnya tak membuat mereka semua lari terbirit.
Mengela napas, Sia merutuki kebodohannya. Siap juga yang tidak takut. Mendapati seorang gadis yang tengah berdiri di ambang pintu dengan surai panjang miliknya yang tergerai nyaris menutupi sebagian besar wajahnya. Dan hanya menampilkan satu sisi matanya yang tampak menatap sayu.
"Ya ampun ... Ini kenapa pintu masuk jadi padat merayap? Omong-omong, Akika nggak lagi ngadain pembagian sembako ya, Say ...." Suara ceriwis seseorang menginterupsi kegiatan saling pandang memandang antara Sia dengan beberapa wanita yang berkumpul di depan pintu masuk. Gadis itu terkejut, saat tangan mungil miliknya di lingkupi sebuah tangan besar yang secara tiba-tiba menggenggamnya, sebelum kemudian menariknya secara perlahan, membuatnya beranjak dari ambang pintu. Mengurai kepadatan yang tanpa sengaja ia lakukan.
"Mas, tolong permak teman saya," tembak Aldric langsung, saat membawa Sia ke hadapan pria bertubuh tinggi kurus yang tadi berceloteh tentang kerumanan orang-orang yang tersendat di depan pintu masuk.
"Mas?" Pria itu menatap horor ke arah Aldric, mempertanyakan panggilan untuknya dari pemuda itu. "Aduh ganteng ... Kamu nggak liat ini pita segede pot bunga, bulu mata setebal es kepal, baju rumbai seramai pasar malam, masih aja Akika di sodorin panggilan Mas?" Celotehnya yang hanya di tanggapi datar oleh dua muda-mudi di hadapannya. Menelan dongkol, pria itu mencoba mengais kesabaran. "Panggil saja Huru-hara," ucapnya penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan raut wajah kedua remaja yang menatapnya seakan pria itu baru saja melakukan atraksi menumbuhkan tanduk di kepala. "Jadi? Kau ingin aku mempermak---aish ... Nggak enak banget istilahnya permak. Ganti yang rada-rada English aja, ok? Make Over serasa lebih pas. Maklum, lidah Akika biasa ngunyah keju. Jadi kalo bicara English jadi lebih licin," Celotehnya sebelum mengikik seorang diri. Tak mendapat respon, pria yang memperkenalkan diri sebagai Huru-hara itu merubah mode wajahnya sedatar dua mahluk yang masih menatapnya tanpa minat. "Baiklah, baiklah, acara bincang sepihak ini lebih baik di sudahi. Mari kita mulai ke inti acaranya saja, ok?" Mengangguk kaku dengan kompak. Huru-hara hanya bisa mengela napas melihat respon kedua remaja ajaib itu.
Menghela Sia untuk mendudukkan diri di sebuah kursi dengan kaca besar di hadapannya. Huru-hara mulai menilik keadaan rambut panjang milik gadis itu yang tampak hitam berkilau bak rambut milik model iklan iklan sebuah merek Shampoo. "Kamu punya rambut sebenarnya amat sangat bagus, Say," ucapnya sembari mengelus lembut rambut Sia yang terasa halus saat berada di telapak tangannya. "Sayangnya nggak ada modelnya, sebatas lurus panjang gitu aja, jadi terkesan flat kaya hidup jomlo yang kurang di sirami kebahagiaan dari seseorang, seperti Akika ini misalnya," Dalam diam, Sia mengela napas karena pendengarannya harus kembali di jejali celotehan tak berfaedah dari sosok yang masih menarik kesana-kemari rambut miliknya.
Jika bukan karena alasan balas budi, sudah sedari tadi Sia akan memilih untuk melarikan diri. Bahkan ketika penglihatannya menangkap sebuah plang bertuliskan nama salon kecantikan. Meski awalnya dilingkupi oleh perasaan ragu, ia berpikir Aldric yang hendak melakukan perawatan di tempat ini. Tapi tentu saja bukan. Karena tanpa pemberitahuan, pemuda itu melakukan sebuah tindakan sepihak, bahkan tanpa menanyakannya lebih dulu kepadanya. Untuk memangkas rambut Sia yang memang panjangnya sudah mencapai pinggang.
Sedari kecil, layaknya gadis lainnya. Ia pun mendamba paras cantik dari sebuah boneka Barbie. Terlebih, ketika usianya menginjak lima tahun, ia mendapat hadiah ulang tahun untuk pertama kalinya dari sosok yang sebelumnya begitu enggan menerima kehadirannya. Sebuah kotak yang bahkan tak terbungkus kertas kado. Hanya kresek putih dengan logo salah satu pusat perbelanjaan.
Satu-satunya boneka Barbie yang bahkan sampai sekarang masih di rawat dan di simpannya dengan baik. Ketika saudaranya yang lain mendapatkan tumpukan boneka sejenis, maupun berbagai boneka lainnya.
"Mau model rambut yang bagaimana, Say?"
"Apa saja, yang penting bisa tampak lebih manusiawi." Bukan Sia yang menjawab, tapi satu mahluk yang teronggok di sudut sebuah sofa yang yang berada tak jauh dari tempat Sia dengan pria bernama Huru-hara tersebut.
"Ya ampun, Say, cowok kamu ganteng-ganteng minta di sleding, yes? Masa pacar sendiri di anggap kurang manusiawi?" Bisiknya di telinga Sia, membuat gadis itu kian mengkeret di tempat duduknya. "Baiklah, baiklah, mari kita mulai!" Serunya, mengulurkan kedua tangan sembari melakukan peregangan otot seakan hendak melakukan pemanasan. Sebelum kemudian memulai aksinya.
Dari balik pantulan cermin, Sia meneguk ludah susah payah. Saat menemukan Huru-hara mengacungkan sebuah gunting dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam rambut panjang miliknya. Sebuah pemandangan yang nyaris membuatnya melonjak dari tempat duduk, dan segera melarikan diri. Jika saja dari balik pantulan cermin itu juga, ia bisa menemukan sosok Aldric yang tampak mengawasinya. Meski tangan pemuda itu tengah lincah memainkan sebuah handphone yang berada dalam genggamannya.
Memejamkan mata rapat, kini Sia hanya bisa memanjatkan doa. Agar semua bisa segera berakhir dengan cepat. Suara gunting yang tengah memangkas rambutnya, bak alunan musik horor yang kini tertangkap oleh pendengarannya.
Sia hanya bisa merutuki kebodohannya yang begitu manut terhadap perintah seorang Aldric. Menundukkan pandangan, gadis itu merasa matanya memanas. Kala sebagian potongan rambut miliknya jatuh di atas pangkuan. Menggenggam helaian rambut miliknya, Sia hanya bisa memasrahkan diri. Setidaknya, ia melakukan semua ini agar tak lagi memiliki hutang budi. Dan lagi pula, meski nantinya mungkin harus menunggu lebih lama, ia masih bisa memanjangkan rambutnya kembali.
"Ya ampun, Say ... Akika punya tangan memang selalu bisa menghasilkan masterpiece, yes!" Jeritan Huru-hara yang memekakkan telinga mengembalikan fokus Sia. Gadis itu menegakkan duduk, sebelum kemudian mengangkat pandangan ke hadapan cermin, hanya untuk menemukan sosok asing yang tampak membelalakkan matanya.
Greget sama Hara. Btw itu kenapa namanya ngga Rezky aja ya :D
Comment on chapter 2. Percakapan Aneh Kemal