Read More >>"> The Dumb Love (09: Basketball) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Dumb Love
MENU
About Us  

            Pukul tiga lebih lima belas menit.

            Seperti biasa, aku selalu datang lebih awal di lapangan basket ini—tepat setelah menunaikan sholat Ashar di musholla kampus. Bersama bola basket dengan paduan warna jingga dan kuning, aku membuat kegaduhan kecil di sana. Men-dribble bola, 2 point shooting, serta lay-up sesekali; ditemani sinar mentari sore.

            Ya, lapangan basket kampusku terletak di ruang terbuka, bukan di dalam gedung olahraga seperti kampus-kampus lainnya. Ah, lebih tepatnya semi-outdoor kalau dibilang, sebab lapangan basket kami dikelilingi pagar besi berjaring-jaring setinggi ring basket. Untuk menggunakannya, kami harus meminjam kunci pagar itu terlebih dahulu kepada satpam, jadi hampir tidak ada bedanya dengan meminjam gedung olahraga.

            Sebenarnya, dulunya lapangan basket ini benar-benar terbuka; tak berpagar. Aku mengetahuinya saat melihat-lihat foto-foto yang di-post beberapa kakak tingkatku di Instagram. Namun, karena berbagai insiden yang mungkin telah terjadi—seperti bola basket yang nyasar ke jalan menuju bundaran hingga gedung direktorat, gerbang belakang kampus, atau nyaris mengenai gedung jurusanku—akibat tingginya lemparan bola, pihak kampus memutuskan untuk memagari lapangan basket ini. Itu yang bisa kuperkirakan dari sejarah pagar besi merepotkan ini, melihat dari posisi lapangan basket yang bersebelahan dengan jalan menuju gerbang belakang dan berdekatan dengan beberapa gedung penting. Repot; sebab aku jadi harus kucing-kucingan dengan satpam hanya untuk melepas penat di sini.

            Satu persatu anggota UKM Basket Jurusan Rekam Medis berdatangan. Aku harus segera menghentikan permainanku. Bisa gawat kalau coach tahu aku sudah bermain bola dulu tanpa pemanasan. Perlahan, aku beralih men-dribble asal bola basket, perlahan hingga sampai di bangku besi panjang di tepi lapangan. Setidaknya, dengan begini orang-orang bisa sedikit berspekulasi kalau aku hanya bermain-main tidak jelas dengan bola itu.

            Baru saja aku duduk, bola yang kupegang disambar oleh Dela yang sepertinya baru saja datang. Ia berlari dari sudut lapangan, lalu menuju titik 3 point shooting. Dan benar saja, omonganku barusan terbukti; Dela disemprot si pelatih dari luar pagar.

            “Hayo, jangan pegang bola dulu kalo belum pemanasan!” serunya.

            “Iya, mbak, sorry, hehe,” ujar Dela, lantas kembali ke bangku.

            Kedatangan Vita disambut ramah seperti biasa oleh anak-anak didiknya. Sesekali guyonan santai dilontarkan padanya, mengingat umurnya bisa dibilang setara dengan kakak-kakak tingkat tiga. Jadi, tidak heran jika di sini, kami semua bercengkrama layaknya teman, bukan sebagai guru dan murid. Lagipula, gadis itu tidak suka dipandang sebagai guru. Kelihatan tua, katanya.

            Seperti biasa, kami beranjak berdiri melingkar; memanjatkan doa, dilanjutkan dengan pemanasan.

            “Woy,” sapa Fey, “Jihan mana?”

            “Nggak tahu, lah. Aku bukan paranormal, kali,” jawabku singkat sembari tetap fokus melakukan pemanasan serta mendengarkan hitungan gerakannya.

            “Lu nggak chat dia?”

            “Nggak, masa aku chat dia cuma bahas itu?”

            “Ya nggak apa-apa, kali. Apa salahnya?” tukas Fey. “Wait, jangan bilang lu nggak pernah chat dia?”

            “Ya pernah, lah. Cuma bahas seputar PJ, sih. Kalo nggak gitu, ya bahas tugas-tugas.”

            Fey berganti gerakan, lalu kembali bertanya, “Astaga, gimana lu bisa PDKT sama dia kalo gitu caranya? Katanya pengen deket.”

            “Lah mau gimana lagi? Aku baru bisa nge-chat kalo bahas itu.”

            “Serah lu, deh.”

            Kami semua beranjak berlari keliling lapangan setelah pemanasan selesai, lalu dilanjutkan dengan melakukan latihan passing, dribble, underring, dan beberapa shooting sebagai permulaan. Setelah itu, barulah kami melakukan latihan inti. Rupanya, latihan hari ini difokuskan untuk teknik 3 point shooting. Mengetahuinya, aku bergegas menghampiri Vita.

            “Mbak Vit,” panggilku. “Sekarang latihan 3 point, ya?”

            Yang kupanggil menoleh seraya menjawab, “Oh, iya.”

            “Mbak, khusus aku 2 point aja, ya? Aku nggak bisa, hehe,” ujarku merayu, bak orang menawar barang. “Boleh, ya? Kan mbak udah lihat kemarin-kemarin progress-ku gimana. Ya, ya?”

            Vita mengangguk, lantas menjawab, “Iya, nggak apa-apa. 2 point-mu benerin dulu, nanti kalo udah agak bisa, coba-coba 3 point, ya?”

            Aku tersenyum penuh kemenangan sembari mengepalkan tanganku. Yes! Akhirnya, bisa dapat pengecualian, haha.

            Setelah itu, aku bergabung dengan yang lainnya, ikut mengantri untuk giliran. Kami dibagi menjadi dua kelompok, dimana masing-masing kelompok berbaris di sebelah kanan dan kiri ring basket, lurus dengan puncak lengkungan 3 point. Masing-masing kelompok diberi satu atau dua bola, kemudian secara bergantian kami melakukan passing dan shooting. Berhubung saat itu aku mendapat giliran passing pertama kali—artinya aku memegang bola terlebih dahulu—maka aku harus melakukan chest pass ke salah satu anak di kelompok sebelah, dengan catatan ia harus menyesuaikan posisinya di area 3 point shooting terlebih dahulu. Setelah dia selesai melakukan shooting, aku akan menyesuaikan posisiku di area 2 point shooting—sesuai hasil lobi—lalu anak yang di belakangnya melakukan chest past padaku, dan diakhiri dengan shooting. Begitu seterusnya hingga sampai sekitar 15 menit.

            Selanjutnya, latihan 3 point shooting dikombinasikan dengan dribble. Buatku yang memang belum begitu mahir dalam olahraga ini, dribble sambil berlari merupakan suatu masalah tersendiri. Beberapa kali bola basket yang kupegang nyaris lepas kendali meski lariku tidak terlalu kencang. Belum lagi, aku masih harus memperhitungkan langkah kaki agar tidak terasa janggal saat melakukan shooting.

            Sedikit-sedikit gagal pada percobaan awal tak masalah. Harusnya, aku sudah mulai terbiasa saat mencoba untuk yang kelima kalinya. Detik itu, harusnya aku bersiap untuk melakukan 2 point shooting-ku, namun sesuatu yang melintas membuyarkan konsentrasiku. Langkahku seketika terhenti, mataku tak lagi memandang ring tujuanku.

            Ya, aku malah melihat Jihan dan Putra yang datang hari itu. Mereka berboncengan pada motor Satria hitam yang biasa digunakan cowok mungil itu. Lengkap dengan suara deru motornya yang khas. Entah mengapa rasanya aku selalu bisa membedakan suara deru motornya dengan motor-motor Satria yang lain, padahal jika didengarkan baik-baik, suaranya sama saja dengan yang lain.

            Rasanya seperti semacam ada ... ikatan batin tersendiri; yang membuatku otomatis menoleh ke arahnya, dan memang itu selalu dia.

            Duh, kenapa juga waktu datangnya tepat pas aku mau shooting? Kenapa juga ring yang kutuju searah dengan tempat parkir motor? Dan, kenapa kedua mata kami saling bertemu?!

            “Waduh, kemana aja, woy?” tanya Dela, setengah berteriak. “Jadwal jam berapa, dateng jam berapa ....”

            “Biasa aja kali,” jawab Jihan singkat sambil menghampiri Vita, membiarkan Dela berkencan dengan celotehannya sendiri. Aku sendiri masih bertahan memandangi dia, sampai seseorang membuatku sadar apa yang sebenarnya telah kulakukan selama satu menit.

            “Kir, kok lu bengong dari tadi? Buruan shooting, gantian!” teriak Farah—kakak tingkat dua—dari bawah ring.

            “Eh?!” sahutku kaget. “Ah, i-iya.”

            Ujungnya, aku jadi melakukan shooting dengan sedikit tergesa. Alhasil, bola itu memantul keras di papan ring dan melayang jauh ke tengah lapangan. Aku jadi harus mengejar bola itu sebab ia terus menggelinding ke sisi seberang lapangan.

            Aku menghampiri Fey yang tengah beristirahat di bangku besi setelah aku melempar bola basket tadi ke arah antrian yang menanti giliran.

            “Lu sih, kalo basket tuh yang dilihat bolanya, bukan doi,” ujar Fey sembari menggelengkan kepalanya singkat. “Kalo entar lu ikut turnamen terus Jihan jadi supporter, kayaknya tim kita bakalan terus kebobolan.”

            “Eh, kok gitu, sih? Ya kan aku tadi nggak sadar, Fey. Lagian, baru sekali juga,” sanggahku sembari membenahi kuncir kudaku.

            “Ah, udahlah. Ketimbang lu debat sama gue, mending lu samperin dia,” katanya sembari mengedikkan dagu ke arah Jihan yang baru saja selesai pemanasan. “Tanyain, kenapa dia bisa telat latihan.”

            “Udah jelas, pasti dia ketiduran lagi. Buat apa juga aku tanya lagi?”

            “Yaelah, tanya aja sana kenapa, sih? Pura-pura nggak tau, gitu. Lu nggak pernah jatuh cinta, ya? Masa soal PDKT aja lu nggak tau?”

            “Pernah, sih, tapi kan ....”

            “Udah, sana,” potongnya sembari mendorong tubuhku ke arah Jihan. Aku melangkah perlahan ke arahnya yang sedang mengobrol dengan rekan satu-satunya. Rasanya begitu bodoh, mengapa juga aku menuruti perintah Fey? Tapi sejujurnya, aku pasti juga akan menyesal jika tidak menanyakannya, meski kurasa, jawabanku tadi memang benar adanya.

            Aku menarik nafas panjang sebelum menyapa dua orang cowok itu.

            “Tumben dateng latihan, kayaknya kemarin aku nggak lihat kalian,” ujarku memulai pembicaraan.

            “Eh, lu, Kir. Lu ikut basket juga?” balas Putra sembari menoleh kepadaku. “Keren, gue kira cewek kayak lu nggak suka olahraga.”

            “Masih pemula btw. Pas SMA aku nggak ikut ginian, tapi udah sering olahraga, sih. Aku pulang pergi pake sepeda,” jelasku sesekali melirik ke arah Jihan yang sama sekali tidak menoleh kemari. Ia masih asyik mengikat tali sepatu putihnya.

            “Sepeda motor, gitu.”

            “Bukan lah, sepeda biasa, sepeda pancal—sepeda kayuh.”

            Aku memutuskan bertahan berdiri di sana sejenak sembari melihat yang lainnya berlatih, sembari tetap melirik ke arahnya. Ia bahkan tidak berbicara banyak dengan Putra. Sejujurnya, aku ingin menanyakan alasan mengapa ia diam saja, tapi di satu sisi aku tidak ingin terkesan sok dekat. Kami memang satu kelas, tapi bukan sebagai teman dekat layaknya aku dengan Fey, Pipit, maupun Dela. Buatku, berbasa-basi kepadanya adalah sesuatu yang menggelikan.

            Kuputuskan untuk kembali ke tempat asalku setelah berpamitan sekadarnya. Dari kejauhan, kulihat Fey yang sudah teramat sangat antusias menunggu hasil uji cobaku.

            “Gimana, gimana?” tanyanya berbinar.

            Aku hanya menghela nafas. “Yah, seperti biasa, irit bicara.”

            “Lah elu ngomongnya malah sama Putra, bukan sama Jihan.”

            “Mau gimana, Fey? Dianya aja irit ngomong sama Putra, apalagi aku,” jawabku pasrah sembari menggaruk tengkuk kepalaku.

            Suara tiupan peluit Vita memotong pembicaraan kami. Buru-buru kami bergegas berkumpul di dekat Vita. Ya, selama latihan, coach menerapkan sebuah permainan yang—bisa dibilang—tidak biasa. Setiap kali ia meniup peluit putihnya, maka anak didiknya harus segera berkumpul dalam waktu maksimal 10 detik. Kalau terlambat, maka ia akan memberikan hukuman push up sebanyak yang ia minta. Beruntungnya, kali ini tidak ada satupun dari kami yang menerima hukuman itu.

            “Sudah kumpul semua? Sekarang game. Full team, campur cewek cowok,” ucapnya.

            Game, artinya permainan, itu berarti kami diminta bermain seperti bagaimana permainan bola basket dimainkan. Untuk menentukan mana tim dan mana lawan, masing-masing dari kami diharuskan untuk melakukan adu suit dengan pasangan yang ditentukan oleh Vita. Yang kalah akan bergabung dengan mereka yang sama-sama kalah, yang menang dengan yang sama-sama menang, Kalau kalian penasaran mengapa bukan kami yang memilih pasangannya sendiri, itu karena Vita bermaksud memasangkan kami dengan lawan yang memiliki kemampuan setara. Dengan begini, orang-orang dengan skill tinggi tidak akan berkumpul dalam satu tim saja, begitu juga dengan skill menengah maupun dasar.

            Aku tidak tahu apakah ini memang suatu kebetulan atau Tuhan telah mendengar harapanku yang terdalam, sebab kali ini aku dipasangkan dengannya. Seharusnya, cewek berpasangan dengan cewek, cowok dengan cowok, tetapi berhubung jumlah anggota cewek yang hadir berjumlah ganjil, jadi salah satu dari mereka harus rela dipasangkan dengan cowok. Dan hari ini, aku yang kena. Ya, aku ditunjuk berpasangan dengan Jihan.

            Kalau orang lain yang menjadi aku, kemungkinan besar mereka ingin untuk berlama-lama dalam kondisi seperti ini. Menginginkan detik berhenti seketika dan menikmati kilauan bola matanya, layaknya di acara sinetron atau novel-novel fiksi remaja lainnya. Tapi, aku tidak seperti itu, kawan.

            Aku terlalu gugup, bahkan jantungku takikardi tak terkendali. Sebab itu, aku justru ingin melewati detik itu cepat-cepat, bukannya malah dihentikan.

            Kumohon, cepatlah kelar wahai adu suit. Tenang, Kir, tenang, detik ini saja, lalu selesai sudah. Kalo gugup, entar suitnya nggak selesai-selesai....

            “Ayo,” ajak Jihan, “Batu gunting kertas apa suit biasa?”

            “Biasa aja,” jawabku agak cepat. Sedetik kemudian, aku berpikir, Jihan denger jelas nggak, ya, omonganku? Duh, kebiasaan sih, kalo gugup ngomongnya jadi cepet.

            Adu suit dimulai. Sepertinya ia paham ucapanku, terbukti dengan ia menunjukkan jari kelingking—bukannya membentuk batu, gunting, maupun kertas. Dari hasil suit satu kali itu, aku kalah. Sudah jelas bukan aku menunjukkan jari apa?

            “Anu ... yang kalah di grup sebelah sana, Han,” ujarku sembari menunjuk kerumunan di sisi kanan Vita. Ia pergi tanpa berkata apapun lagi. Aku menghela nafas lega sebab adu suit akhirnya selesai.

            Meskipun adu suit telah selesai, bukan berarti permainan detak jantung ini serta merta ikut berhenti. Selain karena perasaan takut dan cemas kalau-kalau aku gagal melakukan peranku sebagai defender, penyebab utamanya adalah karena aku khawatir tidak bisa bermain secara maksimal di depannya. Entah apa yang akan ia pikirkan kalau tahu seorang Kirana gagal menunjukkan bakatnya sebagai seorang pemain basket. Bisa hancur reputasiku!

            Jadi, sebagai salah satu penggemar beratnya, aku harus membuktikan bahwa Kirana bukan hanya orang yang jago di bidang akademis. Siapa tahu, Jihan akan kagum denganku dan mulai melihatku. Tidak mungkin tidak ada orang yang tertarik dengan sosok yang multi-talent, bukan?

            Peluit dibunyikan, kami mulai bermain. Mataku menyusuri setiap pergerakan lawan dan kemana bola itu melaju. Selain itu, mau tak mau aku juga harus mengingat rekan-rekan anggota yang kali ini setim denganku, baik itu nama maupun kaus apa yang mereka kenakan. Pada latihan-latihan sebelumnya, aku terus menjadi sasaran omelan hanya karena kasus salah passing bola ke tim lawan.

            Pada awal permainan, aku masih mampu mengendalikan rasa takutku. Namun, semakin lama rasa takut itu malah semakin menjadi-jadi. Beginilah risikonya jika cewek dan cowok bermain bersamaan; permainan menjadi liar adanya. Selain karena lemparan bola yang mereka suguhkan terlalu kuat, langkah mereka terlalu gesit hingga sulit untuk ditahan pergerakannya.

            Astaga, aku udah nggak kuat lagi.

            Kuputuskan untuk berhenti dan bersandar di bawah tiang ring sembari memijit dahiku yang berangsur-angsur terasa panas. Pandanganku mulai membiru, ototku mulai terasa lemas, namun aku masih berusaha mempertahankan posisi berdiriku. Kalaupun bisa, aku ingin posisiku segera ditukar dengan pemain lain, tetapi masalahnya coach bahkan tidak melihat sekalipun ke arahku. Mau duduk pun juga tidak mungkin. Mana ada seorang pemain basket yang duduk saat permainan berlangsung?

            Aku bisa melihat tim lawan mengarah ke arah ring yang kujadikan sandaran sekarang ini. Harusnya aku kembali ke posisi defend-ku, tapi untuk melangkah rasanya begitu berat. Untungnya, Kak Sofyan—anggota timku—berinisiatif mem-backup posisiku. Kemudian, aku mendengar teriakan teman-temanku yang menyuruhku enyah dari sana, namun aku masih tetap terpaku di sana.

             Ah, palingan bolanya masuk. Aku kan di tiangnya. Kalo masuk, nggak bakal kena kepalaku langsung, kan?

             Namun, teriakan itu terus saja menggelora tanpa henti. Aku masih tetap kukuh bertahan pada feeling-ku, hingga sedetik kemudian sebuah insiden membalikkan tebakanku.

            “Bug!”

            Rasa pusing akibat hipotensi yang belum usai tadi semakin diperparah dengan bola basket yang menghantam tepat di atas kepalaku. Meski sempoyongan, untungnya aku sigap berpengangan pada jaring-jaring pagar pembatas lapangan sebelum benar-benar jatuh.

            “Kir, lu nggak apa-apa?!” teriak Dela sembari berlari dari tengah lapangan menuju keberadaanku.

            “Ng-nggak apa-apa, kok,” ujarku sembari menggosok-gosok puncak kepalaku. Dela sempat memegangi tubuhku yang agak lemas, namun aku melepaskannya perlahan dengan dalih geli.

            Salah seorang kakak tingkat datang dengan terengah-engah ke hadapanku, sesaat setelah aku berhasil duduk di bangku. Kedua telapak tangannya disatukan sebagai simbol permohonan maaf. “Dek, maaf ya! Aduh nggak sengaja, maaf-maaf.”

            Aku hanya menggeleng perlahan sembari tersenyum kecil. Memang diluar aku tak mengapa, tetapi di dalam diriku yang ada apa-apa: malu setengah mati! Maksud hati ingin unjuk kebolehan, namun apa daya malah ketimpa bola.

 

            Aku tahu, kamu tak dilihat matanya.

            Aku mengerti, kamu hanya angin lalu baginya.

            Rileks saja,

            ini hanya bukan waktu baginya menganggapmu ada.

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • ayundaauras

    Terima kasih apresiasinya :) @dede_pratiwi @YouRa_muriz

    Comment on chapter 07: One Night To Remember
  • dede_pratiwi

    i love the cover, so cute

    Comment on chapter 01: How I Met Him
  • you

    Like this. Bahasanya enak dibaca. alurnya juga bagus.

    kalau berkenan mampir diceritaku ya...

    Comment on chapter 01: How I Met Him
Similar Tags
KATUMBIRI
429      351     4     
Short Story
Aku yang buta akan kesungguhan dan keegoisan. Antara mimpi dan kenyataan, akankah aku melepas salah satunya? Ini kisahku, Si Pemimpi dalam tirai hujan. Aku yang berhutang pada hujan. Hujan yang telah melukis pelangi menjadi lebih indah.
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
94      67     0     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
Lost In Auto
58      41     0     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Princess Harzel
393      253     0     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Renafkar
189      127     0     
Romance
Kisah seorang gadis dan seorang lelaki, yakni Rena dan Afkar yang sama-sama saling menyukai dalam diam sejak mereka pertama kali duduk di bangku SMA. Rena, gadis ini seringkali salah tingkah dan gampang baper oleh Afkar yang selalu mempermainkan hatinya dengan kalimat-kalimat puitis dan perlakuan-perlakuan tak biasa. Ternyata bener ya? Cewek tuh nggak pernah mau jujur sama perasaannya sendiri....
Returned Flawed
9      9     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
Samantha
9      9     0     
Short Story
Sesosok perempuan bernama Samantha yang terlalu percaya atas apa yang telah dia lihat di parkiran sekolah, membuatnya mengambil keputusaan untuk menjauhi sosok laki-laki yang dia cintai.
the invisible prince
1229      709     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
11      11     0     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Special
76      56     0     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.