Toksik.
Satu kata yang berhasil menarikku ke dalam jurang seribu pertanyaan setelah kurang lebih satu jam lamanya aku melakukan siklus belajar rutinku; membaca materi-menulis ulang-istirahat-membaca lagi-dan seterusnya.
Kalau dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, aku hanya berpikiran jika hal-hal berbau toksik hanya bisa didapat dari barang-barang yang memang sudah ditakdirkan untuk mendapat stempel merusak. Bisa ular, misalnya. Atau alkohol dan narkoba. Ah, tunggu. Alkohol sebenarnya tidaklah buruk, sebab salah satu jenis alkohol—etanol—bisa didapatkan ketika kau tengah mengonsumsi tape singkong ataupun tape ketan. Meski mereka bisa membuatmu mabuk kepayang, mereka masih dalam batas wajar, sebab kadar alkoholnya tidak setinggi bir atau minuman keras.
Sekarang, aku merasa pemikiranku sedikit terbuka soal toksik. Dari artikel yang kubaca di sini, sesuatu hal atau benda yang digunakan secara berlebihan ternyata bisa menjadi toksik pula. Contoh saja overdosis. Yah, berdasarkan nomenklatur-nya saja, sudah bisa kautebak sendiri. Kelebihan dosis, seperti minum obat melebihi dosis yang dianjurkan.
Spontan, terlintas sebuah pemikiran yang kurasa sedikit agak aneh. Aku bahkan tidak mengerti mengapa aku bisa memikirkan hal semacam itu.
Apakah kelebihan rasa sayang juga merupakan hal yang bersifat toksik?
Aneh, tapi seru untuk dibahas—sepertinya. Ditambah, aku sudah tahu siapa orang yang pantas untuk diajak berdiskusi meski hal yang anti mainstream sekalipun.
*****
“Apa?” tanyanya singkat sambil tetap fokus menonton lelaki dengan roti sobek di layar laptop hitamnya. Sesekali ia menyerukan nama orang-orang itu saat mereka melakukan atraksi tarian di atas panggung sembari menyanyi.
“Tapi ... kamu kayaknya masih sibuk,” ujarku pasrah. “Kalo nggak bisa, aku pulang aja. Kapan-kapan aja aku cerita.”
Aku bangkit dari kasur bersprei klub bola itu, namun Fey sontak menahan lenganku dengan tangan kanannya.
“Yah, kok ngambek,” ujarnya, “sini, duduk dulu. Gue dengerin kok. Ini udah kumatiin.” Ia mengarahkan telunjuk kirinya ke arah layar laptop yang mulai menunjukkan tulisan shutting down. Aku menghembuskan napasku perlahan sebelum akhirnya kembali bersandar di tembok putih, beralaskan ranjang itu lagi.
“Sorry, gue kalo lagi fangirling suka lupa waktu. Lu mau cerita apa?” tanyanya dengan tatapan mata yang intens.
“Menurutmu, bisa nggak rasa sayang yang berlebih itu meracuni diri kita sendiri?” tanyaku tanpa basa-basi.
Cewek berambut coklat itu bungkam sejenak. Raut mukanya mengatakan jika dia terkejut dengan apa yang aku pertanyakan. Mungkin ia tidak pernah menyangka jika hal seperti itu bisa keluar dari mulutku; membayangkan saja tidak.
“Ya, bisa aja, sih. Menurut lu sendiri?” tanyanya balik.
“Bukannya jika rasa sayang itu semakin besar, maka orang itu pun akan semakin merasa disayang?”
Dia tertawa remeh. Sudah jelas ia tidak setuju dengan pernyataanku. Aku melongo, emangnya ada yang salah?
“Lu yakin nggak ngerti maksud gue ketawa?” katanya sembari membuka kotak styrofoam putih berisi seblak ceker pedas yang baru saja diantarkan oleh penghuni kamar sebelah. Aku menggeleng singkat.
Perhatianku beralih pada kepulan asap yang menari-nari di atas makanan khas Sunda itu. Tergambar jelas bahwa ia baru saja selesai dididihkan oleh empunya. Aku memutuskan untuk mengubah arah tariannya dengan sedikit tiupan dari mulutku; berharap aku bisa mengenyahkan asap-asap panas itu dengan segera.
“Sekarang gini, deh. Lu tahu definisi terlalu, kan? Terlalu banyak, terlalu sedikit, terlalu sering, kelebihan, kekurangan, dan semua temen-temennya itu. Yang namanya kelebihan atau kekurangan, itu nggak baik. Kekurangan berat badan, nggak ideal. Kelebihan berat badan, sama aja nggak ideal. Kelebihan berat badan, keliatannya aja dia subur dan makmur. Tapi lu tahu, kan, dampaknya? Hipertensi, diabetes, obesitas, apa lagi?”
Fey meneguk air mineralnya, lalu melanjutkan dongengnya, “Ya sama kayak kelebihan kasih sayang. Di satu sisi dia seneng-seneng aja, lah, disayang sama lu. Tapi buat diri lu sendiri? Belum tentu. Lu rela ngelakuin ini itu cuma gara-gara pingin dia bahagia, tapi seringnya itu bakalan nyakitin diri lu sendiri. Apa lu nggak mikir kebahagiaan buat diri lu sendiri? Kalo lu sampe terlalu sayang, percaya atau enggak, hidup lu pasti sedikit banyak dipengaruhin sama bayangan dia. Dikit-dikit mikirin dia. Dikit-dikit galauin dia. Sedih kalo dia nggak balas chat lu. Cemburu kalo dia jalan sama yang lain, padahal lu nggak tahu pasti dia siapanya. Nangis kalo kangen, padahal dianya mungkin ngerasa biasa aja. Belum lagi kalo dia ujung-ujungnya nolak lu, gimana? Apa lu suka kalo lu hidup dikekang terus sama bayangannya dia? Enggak, kan?”
“Tapi, Fey, bukannya ada orang yang bahagianya karena liat orang lain bahagia?”
“Bullshit. Gue cuma tahu satu jenis manusia yang ngelakuin itu. Orang tua, sisanya nggak bakal. Kalaupun ada, berarti kadar masokisnya udah ketinggian, tuh,” balasnya sambil sesekali menyeruput kuah seblak ceker. “Kok lu tumben tanya soal ginian? Heran gue. Gue kira anak pinter itu otaknya cuma isi rumus sama hapalan doang.”
“Aku tahu ini agak aneh, tapi aku ngerasain sesuatu yang beda dari biasanya akhir-akhir ini. Antara aku sama dia. Kadang aku ngerasa sepi kalo dia nggak ada. Kadang aku agak sakit hati kalo dia cuma menganggapku tokoh figuran di drama hidupnya. Yang orang tahu, dia itu cuek dan pemalas. Tapi, aku barusan melihat sisi lain dari dirinya beberapa waktu lalu. Sisi yang nyaris nggak pernah dia buka di khalayak umum.”
Aku menerawang jauh, memutar kembali segelintir gulungan film berisi kisah yang telah lalu.
“Dia kadang bikin guyonan receh kalo ketemu aku. Atau kalo nggak gitu, nyeritain segala hal yang dia tahu. Aku kagum sama semua pengetahuannya. Aku sadar, jiwanya masih hangat meski di luar ia terasa dingin; dan dia berhasil memberikan sedikit kehangatannya padaku.”
“Anjir puitis amat,” balasnya. “Emang siapa, sih?”
“Partner hari Senin-ku.”
Ia bukan ombak, tapi ia mampu dengan mudahnya terombang-ambing
Ia pun bukan angin, tapi ia mampu menerbangkan sekaligus menjatuhkan.
Maka hati-hati dengan hati,
sebab ia bisa berbalik meracuni setelah ia mengobati.
Terima kasih apresiasinya :) @dede_pratiwi @YouRa_muriz
Comment on chapter 07: One Night To Remember