Malam itu, disebuah club malam, dengan suara musiknya yang bahkan kelewat keras, sampai harus berteriak kencang-kencang untuk saling berbicara, Fahmi menegak sebotol minuman keras dengan label berwarna hitam, sementara di samping bangkunya, nampak seorang wanita tengah bergelayut manja, sambil membisikkan beberapa kata yang tidak dihiraukannya. Saat botol keduanya telah habis ia tegak, gerakan Fahmi terhenti, bukan karena ia sudah tidak kuat minum lagi, tetapi karena ia menemukan satu sosok yang sangat asing, bahkan terbilang terlalu alim untuk memasuki tempat kotor seperti ini.
Fahmi berdiri perlahan, berjalan mendekati sosok itu, dan mencolek bahunya dengan kasar. “Ngapain Ron di sini?” tanya Fahmi kelewat tidak bersahabat.
“Lagi patah hati,” seseorang di samping lelaki yang dipanggil Fahmi dengan sebutan “Ron” yang memiliki nama lengkap Amron, menjawab pertanyaan Fahmi dengan senyum geli. sementara Amron tetap diam saja sambil menegak segelas kecil minuman berawarna cokelat keemasan.
“Oh, kalau orang alim patah hati bisa ke club juga ya?” sindirnya sambil menepuk-nepuk bahu Amron. Amron masih diam di posisinya, menganggap angin lalu ucapan Fahmi.
“Siapa sih yang bisa bikin dia kaya begini?” tanya Fahmi penasaran kepada teman Amron yang tadi sempat menjawab pertanyaan Fahmi.
“Siapa lagi kalau bukan “Malaikat”?” jawabnya sambil nyengir kuda. “Udah tahu “Malaikat” masih aja nekad nembak,” lanjut teman Amron sambil geleng-geleng kepala nampak prihatin.
“Siapa?! Jawab yang bener!” Printah Fahmi dingin dan garang.
“Waduh, dia enggak tahu “Malaikat” Ron,” ejek sahabat Amron sambil menyenggol bahu sahabatnya. Amron melirik ke arah Fahmi dengan tampang geli kemudian mendengus.
“Emang ya, kalau orang rusak, ketemunya sama orang-orang rusak, jadinya enggak bakal tahu “Malaikat” itu kaya gimana...” ejeknya sukses membuat Fahmi naik pitam, di cekalnya kerah kemeja Amron, dan dilayangkannya tinju ke tulang pipi lelaki itu. Amron tersungkur, tangan kanannya menyeka bibir yang mulai mengalirkan cairan merah pekat.
“FAHMI!” sebuah suara seorang perempuan sukses mengejutkan kedua pihak yang masih berseteru. Fala, kekasih Fahmi yang mendapat sebuah pesan singkat bahwa Fahmi sedang bertikai di club malam dengan sahabatnya, buru-buru menaiki sepeda motornya dan menghampiri keduanya.
“Ada apa sih kalian berdua?” keluh Fala sambil memijit lembut dahinya. Matanya menatap Amron kesal.
“Lagian Ron, mau aku laporin ke orang tuamu? Alim, alim aja. Enggak usah main sampai club tau enggak!” bentak Fala kesal menatap sahabatnya yang biasa sering keluar masuk masjid memilih untuk memasuki tempat yang memiliki label bertentangan itu.
Fahmi yang melihat Amron dimarahi hanya bisa tersenyum keci, enggak salah ia memilih Fala menjadi kekasihnya.
“Lagi patah hati tau enggak!” gerutu Amron, “kaya enggak bisa liat orang bahagia aja. Baru masuk udah dapet pukul,” lanjutnya, sambil berusaha berdiri yang segera dibantu oleh sahabatnya dan Fala.
“Lagian kamu kenapa sih main tonjok Amron!” keluh Fala menatap Fahmi kesal.
“Soalnya ditanya, jawabnya kaya t**!” refleks Fala melototkan matanya begitu mendengar Fahmi menlontarkan kata-kata tidak sopan di hadapannya.
“Siapa juga yang bego sampai enggak kenal sama “Malaikat”?” mendengar makian yang dilontarkan keduanya cukup membuat Fala mengetahui alasan mereka berdua bertikai dengan sengit. Hal itu jugalah yang segera membuat gadis itu diam seribu bahasa. Ditatapnya Fahmi lekat, mendadak ia merasa kahwatir. Entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa setelah ini, bisa saja Fahmi meninggalkannya. Tepat setelah Fahmi mengetahui siapa “Malaikat”, persis seperti peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat ia mendapati Fahmi menggoda seorang wanita yang jauh lebih alim dan cantik darinya. Fala meremas tangannya cemas.
“Kalau masih penasaran, tanya aja sama Fala, siapa “Malaikat” yang dimaksud. Udah males aku buat jelasin!” Amron menendang kursi di dekatnya, berjalan sempoyongan menuju keluar yang segera diikuti oleh sahabatnya. Kini tinggal Fala dan Fahmi saja yang berada di dalam club dengan suasana yang tidak cukup menyenangkan. Fahmi masih diam di tempatnya, menatap Fala lekat-lekat, menunggu penjelasan gadis itu.
“Bener? Ada orang yang namanya “Malaikat”?” tanya Fahmi penasaran.
“Kalau aku cerita, apakah kamu akan pergi lagi?” tanya Fala dengan nada gusarnya, ditatapnya Fahmi takut-takut.
“Siapa Malaikat?” gumam Fahmi dingin, sementara air mata mulai berurai di pipi Fala. Kenyataan Fahmi tidak menjawab dengan jelas pertanyaannya membuat kemungkinan itu semakin nyata dan jelas bisa terjadi. Kemungkinan bila Fahmi akan berpaling kembali, untuk kedua kalinya.
“Fahmi, kalau kamu memang jodoh aku, kalau kamu memang jawaban dari doa-doa sedihku ke Tuhan, kamu pasti bakal tetap di sampingku,”
“Fala, siapa “MALAIKAT”!?” Fahmi menendang kursi emosi, membuat Fala tersentak. Gadis itu menatap Fahmi sedih, sementara benaknya masih keheranan kenapa ia bisa sebegitu jatuh cinta pada lelaki tempramental semacam Fahmi. Padahal banyak lelaki yang mengantri, menanti dirinya.
“Riana,” sebuah nama terlontar dari bibir Fala, matanya menatap sendu Fahmi, berusaha mencari ekspresi wajah yang lelaki itu simpan dengan rapih. Namun lelaki itu hanya menatap balik dengan lekat, sementara sebuah senyum muncul di wajahnya.
“Pulang yuk, nanti kamu kenapa-napa kalau sendirian disini, aku udah mau pulang soalnya,” gumam Fahmi, memecahkan keheningan keduanya didalam hirukpikuk suasana club yang jauh dari kata hening. Fala menghelakan nafasnya lega, entah mengapa ia merasa bahwa mungkin saja, Fahmi tidak akan berpaling darinya, itu semua hanya ketakutannya saja. Namun semua rasa lega dari dalam hatinya, hancur berkeping-keping, saat ia melihat Fahmi lagi, tepatnya setelah beberapa hari kejadian di club. Namun kini Fahmi tidak lagi memandangnya, menyapanya, dan tersenyum padanya, tetapi menyapa, tersenyum, dan memandang lekat seorang gadis cantik yang tidak lain adah Riana.
@SusanSwansh sebelum ada buku itu, cerita saya udah rilis duluan;"
Comment on chapter My Ability